Jokowi, Bukit Ainslie, dan Imaji Ibu Kota Baru
Dari Bukit Ainslie, Canberra, Australia, Presiden Jokowi kembali menegaskan komitmen pemerintah memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Timur. Hal baik dari Canberra, ibu kota Australia, akan diambil sebagai contoh.
Dari Bukit Ainslie, Canberra, Australia, tampak menghampar di bawah gedung, jalan, dan jembatan yang tak seberapa jumlahnya. Hanya hijau hutan kota tampak sejauh mata memandang. Di jantungnya, Danau Burley Griffin melintang luas dan terlihat tenang, menyatukan Gedung Parlemen, Australian War Memorial, dan Anzac Parade dalam satu sumbu.
Demikian lebih kurang bayangan yang tertangkap retina mata setiap pengunjung saat berdiri memandang Canberra dari Bukit Ainslie. Demikian kira-kira mata awam melihat lanskap ibu kota negara sekaligus pusat Pemerintah Australia tersebut dari tempat yang lebih tinggi.
Walter Burley Griffin, arsitektur asal Amerika Serikat yang memenangi sayembara internasional desain ibu kota negara Australia pada 1912, mendeskripsikan lanskap Canberra sebagai amphitheatre yang unik atau tidak biasa. Bukit Ainslie, Bukit Pleasant, dan Bukit Hitam membentuk galeri paling atas. Lerengnya yang miring hingga mencapai danau merupakan auditorium.
Sebagai arenanya adalah Lembah Molonglo berikut areal limpasan sungainya. Sementara kawasan sebelah selatan yang meliputi dataran berundak dengan struktur bangunan monumental pemerintah berlapis-lapis hingga mencapai puncak di Bukit Capital, Mugga Mugga, Bukit Merah, dan pegunungan yang tampak biru di kejauhan, secara keseluruhan membentuk latar teater.
Deskripsi Griffin itu puitik sekaligus mengawinkan fakta obyektif dengan mimpi. Itu karena Griffin tidak sekadar memandang lanskap di depan matanya secara wantah, tetapi penuh kedalaman imajinasi.
Maka, imajinasi pulalah yang kiranya menggerakkan kaki Presiden Joko Widodo untuk berdiri di puncak Bukit Ainslie pada Minggu (9/2/2020) sore. Angin kencang menusukkan hawa dingin. Hujan rintik tak kunjung berhenti. Namun, Presiden ke-7 Republik Indonesia itu tetap melangkah hingga mencapai bibir bukit. Pada titik itu, ia berdiri sekitar 30 menit. Sorot matanya merambah ke kota Canberra di bawah. Imajinasinya menelusuri ”amphitheatre Griffin”, lapis demi lapis.
Chief Executive National Capital Authority Sally Barnes berdiri di sampingnya sembari menjelaskan tentang seluk-beluk Canberra. Beberapa kali Presiden Jokowi melayangkan tanya kepada perempuan itu. Mendampingi Presiden saat itu antara lain ada Duta Besar Republik Indonesia untuk Australia Yohanes Kristiarto Soeryo Legowo.
”Kita ingin mendapatkan sebuah bayangan seperti apa sebetulnya kota Canberra. Bagaimana dikelola. Kemudian dimulainya seperti apa. Jadi,(Canberra) ini dibangun di tahun 1913. Sampai sekarang, penduduk 400.000 jiwa. Saya kira, kalau kita lihat tadi, tata kotanya sangat bagus sekali. Yang baik-baik akan kita ambil untuk pembangunan ibu kota Republik Indonesia yang baru, baik manajemennya, baik tata kotanya,” kata Presiden menjawab pertanyaan wartawan di lokasi.
Lawatan Presiden ke Canberra, 9-10 Februari, merupakan kunjungan kenegaraan. Bertepatan dengan 70 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Australia, Presiden melakoni sepuluh agenda. Menggali informasi dan inspirasi tentang model ibu kota negara dan pusat pemerintahan impian adalah salah satunya.
Maka, sebelum berkunjung ke Bukit Ainslie, Presiden sempat bertanya seputar Canberra kepada Gubernur Jenderal Persemakmuran Australia David Hurley dan Perdana Menteri Australia Scott Morrison dalam kesempatan yang terpisah di hari yang sama.
Baca juga: Canberra dan Sayembara Kota
Kepada wartawan, Presiden juga menegaskan komitmennya untuk memindahkan ibu kota negara sekaligus pusat pemerintahan dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Proses awal sudah dimulai dan targetnya 2024 sebagian operasional pemerintah sudah pindah di Kalimantan Timur.
”Sudah dimulai. Sudah dimulai lomba desain setahun lalu. Studinya sudah dimulai lima tahun lalu dan sudah kita memutuskan. Sekarang tinggal menunggu undang-undang dari DPR. Kalau undang-undangnya jadi, langsung kita lakukan land clearing, kemudian pembangunan infrastruktur dasar. Saya kira itu yang akan segera kita lakukan,” kata Presiden.
Sudah lama diwacanakan
Pemindahan ibu kota negara dan pusat pemerintahan Republik Indonesia dari Jakarta sejatinya telah diwacanakan Presiden ke-1 RI Soekarno. Bahkan, wacana ini sudah lahir sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda. Pada zaman Presiden Soekarno tahun 1957, wacana relokasinya adalah Palangkaraya di Kalimantan Tengah. Hal itu belum terealisasi hingga Soekarno tak lagi menjabat sebagai presiden.
Pada era kepemimpinan Presiden Soeharto, wacana pemindahan ibu kota kembali muncul tahun 1980. Pilihan lokasi barunya adalah Jonggol di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Lantas di tahun 2010, saat masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, lagi-lagi wacana itu muncul kembali dengan Jonggol dan Palangkaraya sebagai alternatif daerah relokasinya. Sejarah menunjukkan semuanya tinggal wacana.
Kemudian pada 2015, Presiden Joko Widodo menghidupkan wacana pemindahan ibu kota negara untuk ke sekian kalinya. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) kemudian diperintahkan untuk membuat kajian. Pada akhir 2017, kajian rampung.
Pertimbangan pemindahan ibu kota sebagaimana disebutkan dalam kajian Bappenas adalah menyangkut daya dukung Jakarta sebagai megapolitan multifungsi yang kian lemah. Jakarta adalah megapolitan multifungsi. Selain pusat pemerintahan, Jakarta juga merupakan pusat kegiatan lain, seperti keuangan dan bisnis. Ini membuat daya dukung Jakarta kian lemah. Salah satu buktinya, kemacetan dan penurunan muka tanah yang parah.
Pada saat yang sama, memindahkan ibu kota negara ke wilayah baru akan menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru. Harapannya ini terjadi di wilayah timur Indonesia yang selama ini pembangunannya tertinggal. Lebih jauh, Presiden menginginkan ibu kota baru Republik Indonesia menjadi kolaborasi berbagai inovasi untuk membuat kerja pemerintah menjadi efisien dan efektif, lalu memicu transformasi bangsa Indonesia sekaligus jadi ikon dunia.
”Ini tidak sekadar memindahkan gedung-gedung. Ini memindahkan peradaban,” kata Presiden suatu saat.
Akhirnya, pada Senin (26/8/2019), Presiden mengumumkan pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur dalam konferensi pers di Istana Negara, Jakarta. Konsep besarnya lebih kurang adalah kombinasi antara kota pintar dan hutan kota.
Secara keseluruhan, pemerintah menyiapkan total lahan seluas 180.000 hektar untuk kawasan ibu kota negara yang baru. Kawasan inti yang disebut distrik pemerintahan membutuhkan lahan seluas 4.000-6.000 hektar.
Adapun lahan seluas 40.000 hektar, termasuk kawasan inti, dicadangkan untuk wilayah ibu kota negara secara keseluruhan, termasuk untuk perluasan kota dan berbagai sarana pendukung, seperti kawasan terbuka hijau. Ibu kota baru didesain untuk menampung seluruh aparatur sipil negara (ASN), TNI, dan polisi, berikut keluarganya sebanyak 1,5 juta jiwa.
”Tanah akan kita amankan, 180.000 hektar. Sebagian besar adalah tanah negara. Jadi, pekerjaan tanah relatif mudah. Meskipun konektivitas perlu pembebasan lahan (milik warga),” kata Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofjan Djalil.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menyatakan, Presiden mengarahkan agar orientasi konservasi kawasan hijau di area ibu kota baru tetap jalan. Taman hutan rakyat Bukit Soeharto, misalnya, akan diperbaiki. Demikian pula dengan lubang-lubang bekas galian di Samarinda dan sejumlah daerah lainnya.
”Tugas saya di tim ini menjaga safety belt environment saja. Jadi Kajian Lingkungan Hidup Strategis-nya kami segera lakukan. Kalau sekarang, daya dukung belum terlampaui. Tetapi tetap beberapa safety belt harus kita jaga dan kita perbaiki. Kita akan kembangkan langkah-langkah pengamanannya. Mitigasinya ada,” kata Siti.
Total anggaran yang diperlukan untuk pemindahan ibu kota negara sampai dengan tahap pertama tersebut lebih kurang Rp 466 triliun. Menurut rencana, 19 persen bersumber dari APBN dengan sumber dana dari skema kerja sama pengelolaan aset di ibu kota baru ataupun DKI Jakarta. Sumber dana lainnya akan bersumber dari kerja sama pemerintah dan badan usaha serta investasi langsung swasta dan BUMN.
Tahapan pemindahan
Tahun 2019 sampai dengan 2020 adalah fase persiapan pemindahan ibu kota. Ini antara lain mencakup penyusunan sekaligus penyelesaian rencana induk, desain kawasan, desain bangunan, desain urban, sampai dengan penyelesaian sejumlah produk perundang-undangan yang diperlukan.
Adapun pembangunan infrastruktur tahap pertama, yakni areal inti khusus kompleks perkantoran kementerian dan lembaga negara berikut sarana dan prasarana pendukungnya, akan dimulai akhir 2020. Target selesai adalah 2024. Di tahun 2024 itu juga operasional sebagian kantor pemerintah dan lembaga negara ditarget sudah bisa berjalan.
Kantor Presiden dan Istana Negara ditargetkan sudah pindah pada 2024. Sebagian kantor kementerian dan lembaga negara juga direncanakan sudah akan pindah, termasuk DPR.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono menyatakan, pembangunan infrastruktur ibu kota baru menerapkan sistem tiga kluster. Kluster pertama adalah desain kawasan yang akan diselesaikan tahun ini. Kluter kedua adalah pembangunan prasarana dasar, seperti jalan, saluran air bersih, dan drainase, termasuk bendungan dan sumber baku air untuk melayani kebutuhan ibu kota negara. Kluster ketiga adalah desain dan pembangunan gedung dan perkantoran. Hal ini rencananya akan dimulai pada pertengahan 2020.
Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor menyatakan, masyarakat dan pemerintah daerah siap. Selanjutnya, ia akan berkoordinasi dengan seluruh kepala daerah terkait. ”Tidak ada pilihan lain kecuali siap,” kata Isran.
Dampak pembangunan ibu kota negara di Kalimantan Timur itu, menurut Isran, tidak saja akan dirasakan untuk provinsi setempat. Namun, provinsi lain di seluruh Kalimantan sekaligus daerah lain di Indonesia tengah dan timur akan merasakan dampaknya.
”Saya yakin dampak positifnya banyak. Tidak saja di Kaltim, tetapi juga di Indonesia tengah dan timur karena posisinya di tengah Indonesia,” kata Isran.
Canberra tidak dibangun dalam semalam lalu berhenti. Sejak Griffin memenangi desain kota tersebut, Canberra terus dibangun sampai hari ini, 108 tahun kemudian. Ikhitiar itu tidak berhenti.
Maka, jika kini imajinasi tentang ibu kota negara sekaligus pusat pemerintah baru Republik Indonesia sedang tumbuh, itu sejatinya adalah awal perjalanan sejarah, awal ikhtiar. Dalam kisah apa pun, sejarah bisa selesai dalam buku-buku tua. Tamat! Namun, sejarah juga bisa terus melintasi perubahan dan zaman seperti halnya imajinasi Griffin.
Sore itu di awal Februari, Canberra masih menghampar di bawah Bukit Ainslie. Gedung, jalan, jembatan, dan hutan kota sudah sepi. Di jantungnya, Danau Burley Griffin setia menyatukan sumbu Gedung Parlemen, Australian War Memorial,dan Anzac Parade. Bagi siapa saja yang berani berimajinasi, ”amphitheatre Burley Griffin” akan selalu memberi inspirasi.