Ada berbagai ketidakkonsistenan dalam kebijakan pemerintah di sektor energi. Hal ini bisa membuat investasi di sektor energi menjadi tak menarik.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan sektor energi di Indonesia dipandang tidak konsisten. Akibatnya, iklim investasi sektor energi dibayangi ketidakpastian. Ketidakkonsistenan kebijakan tersebut juga berdampak pada kemampuan fiskal BUMN yang bergerak di sektor energi.
Hal itu mengemuka dalam peluncuran dan diskusi buku berjudul Arah Bisnis Energi, Jumat (21/2/2020), di Jakarta. Buku setebal 182 halaman itu ditulis Ibrahim Hasyim, mantan komisioner Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). Adapun sebagai pembedah adalah Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto dan pengajar Universitas Indonesia, Faisal Basri.
Sugeng mencontohkan, ketidakkonsistenan kebijakan pemerintah antara lain dalam hal bagi hasil kontrak hulu minyak dan gas bumi (migas). Semula, skema bagi hasil dikenal dengan istilah biaya produksi yang dipulihkan (cost recovery). Pada 2017, pemerintah mengenalkan konsep bagi hasil yang baru dengan skema bagi hasil berdasarkan produksi bruto (gross split).
”Bisnis hulu migas, sejak harga minyak dunia jeblok menjadi 30 dollar AS per barel, dianggap tak menarik lagi. Apalagi ada kebijakan yang tak konsisten, yaitu perubahan dari cost recovery menjadi gross split. Sudah harga aktual minyak tidak menarik, ditambah lagi tak ada insentif fiskal di dalam negeri. Hal itu membuat masalah di hulu migas kita menjadi sangat serius,” tutur Sugeng.
Sugeng menggambarkan kondisi hulu migas di Indonesia yang suram. Target produksi siap jual (lifting) minyak pada 2019 tak memenuhi target APBN. Cadangan minyak mentah Indonesia tak beranjak dari 3 miliar barel, yang diperkirakan habis dalam 10 tahun mendatang jika tak ditemukan sumber cadangan baru. Nilai investasi hulu migas turun.
Di sektor ketenagalistrikan, Faisal Basri menyinggung kebijakan pemerintah mengenai tarif listrik. Menurut aturan, tarif listrik bisa dievaluasi setiap tiga bulan berdasarkan acuan nilai inflasi, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, dan harga minyak mentah dunia. Namun, sejak 2014, pemerintah tak pernah mengubah tarif listrik kendati ada dinamika pada acuan tersebut. Hal serupa terjadi pada harga solar bersubsidi dan premium.
”Pemerintah sebaiknya tidak bersandiwara. Kasihan badan usaha (Pertamina dan PLN) karena mereka perlu modal yang cukup,” kata Faisal.
Menurut dia, harga energi yang murah, tanpa mempertimbangkan faktor penentu harga, hanya menguntungkan secara politik. Kebijakan itu menimbulkan beban finansial yang berat bagi Pertamina dan PLN. Padahal, lanjutnya, 70-80 persen masalah finansial BUMN di Indonesia ada pada Pertamina dan PLN.
Harga energi yang murah, tanpa mempertimbangkan faktor penentu harga, hanya menguntungkan secara politik.
Data tarif listrik PLN menyebutkan, sejak 2015 tidak ada kenaikan tarif listrik. Yang terjadi justru tarif listrik turun. Per Juli 2015, tarif listrik tegangan rendah Rp 1.548 per kilowatt jam (kWh), yang turun menjadi Rp 1.467 per kWh. Pada periode yang sama, tarif tegangan menengah turun dari Rp 1.219 per kWh menjadi Rp 1.115 per kWh, sedangkan tegangan tinggi turun dari Rp 1.087 per kWh menjadi Rp 997 per kWh.
Dalam bukunya, Ibrahim juga menyinggung pergulatan antara kebijakan pemerintah dan badan usaha di sektor energi. Menurut dia, aturan yang tak dikelola dengan baik bisa berdampak buruk terhadap badan usaha dalam hal penyediaan energi. Kegagalan menyediakan satu jenis energi dapat memengaruhi penyediaan pada jenis energi yang lain.
”Misalnya, kita gagal merealisasikan capaian energi terbarukan, maka ujung-ujungnya kita akan kembali bergantung pada minyak dan gas bumi. Ujung-ujungnya juga timbul defisit pada neraca perdagangan,” ucap Ibrahim.