Konfirmasi Indonesia Positif Korona Benamkan Pasar Modal
Kepanikan melanda pasar modal setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan dua warga negara Indonesia terinfeksi Covid-19. Indeks Harga Saham Gabungan merosot lagi.
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia mengonfirmasi dua warganya positif menderita Covid-19 atau penyakit yang sebabkan virus korona jenis baru. Konfirmasi ini menimbulkan kepanikan di pasar modal domestik. Akibatnya, kendati memulai perdagangan di zona hijau, Indeks Harga Saham Gabungan kembali anjlok akibat investor melepas saham.
Pada penutupan perdagangan Senin (2/3/2020), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 91,46 poin atau 1,68 persen ke posisi 5.361,25. Pada perdagangan fase pertama, IHSG sempat berada di zona hijau hingga level tertinggi 5.491,13. Namun, setelah pukul 11.30 hingga penutupan, IHSG anjlok dan bertahan di zona merah.
Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat, investor asing pada perdagangan Senin ini membukukan jual bersih Rp 291,24 miliar. Adapun sejak awal Januari hingga hari perdagangan terakhir, investor asing telah mencatatkan jual bersih Rp 5,01 triliun.
Analis Binaartha Sekuritas, Nafan Aji Gusta, mengatakan, pada perdagangan sesi pertama, IHSG sempat menguat akibat sentimen positif dari data Purchasing Managers Index manufaktur yang positif dan data inflasi Februari 2020 yang tidak terlalu tinggi.
Akan tetapi, setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan dua warga Indonesia terinfeksi Covid-19, terjadi penjualan panik oleh investor. Langkah investor ini menyeret IHSG.
”Ada panic selling yang luar biasa sehingga menyebabkan pelemahan pada IHSG. Hal ini merespons pengumuman pemerintah mengenai dua pasien Covid-19,” ujar Nafan.
Secara sektoral, sembilan sektor terkoreksi. Dari sektor-sektor itu, sektor keuangan turun paling dalam, yaitu minus 3,05 persen. Berikutnya, sektor pertambangan dan sektor infrastruktur masing-masing minus 1,58 persen dan minus 1,54 persen. Adapun sektor aneka industri naik 2,23 persen.
Audiensi
Direktur Utama BEI Inarno Djajadi mengatakan, pihaknya bersama Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah melakukan audiensi bersama Presiden untuk mengantisipasi dampak virus korona terhadap pasar modal Indonesia.
Salah satu inisiatif otoritas pasar modal yang diterapkan per 2 Maret 2020 adalah mencabut daftar efek yang dapat ditransaksikan secara jual kosong atau short selling hingga batas waktu yang tidak ditentukan. ”Dengan adanya pencabutan daftar efek short selling, diharapkan pasar lebih stabil,” katanya.
Transaksi jual kosong adalah transaksi penjualan efek, tetapi efek tersebut tidak dimiliki penjual pada saat transaksi dilakukan. Mekanisme transaksi ini disebut jual kosong karena transaksi dilakukan tanpa ketersediaan efek.
Saat ini, otoritas dinilai belum perlu melakukan pelonggaran atau kebijakan lain untuk memitigasi pelemahan IHSG lebih dalam. Meski begitu, lanjut Inarno, BEI memiliki sejumlah prosedur operasional standar (SOP) yang dapat dilakukan jika indeks terus turun secara drastis.
”Instrumen SOP ini bisa berubah, sesuai dengan dinamika dan kondisi pasar terkini, tentunya juga akan dikoordinasikan dengan OJK,” ujarnya.
Hal lain yang akan dilakukan BEI untuk menjaga stabilitas adalah dengan melakukan market signaling, yakni menyampaikan kondisi aktual dari kinerja emiten yang masih sangat positif kepada para pelaku pasar.
BEI juga mengakomodasi emiten-emiten untuk menggelar paparan publik insidental sebagai sarana meyakinkan investor terkait kinerja dan rencana korporasi ke depan. ”Kami mengimbau pelaku pasar agar tidak panik dan tetap melakukan investasi berdasarkan analisis yang mendalam,” kata Inarno.
Kami mengimbau pelaku pasar agar tidak panik.
Sesuai rencana
Direktur Penilai Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna mengatakan, di tengah berbagai sentimen negatif yang membebani pasar modal, sejauh ini proses penawaran umum masih berjalan normal.
BEI mencatat, 24 perusahaan telah mendaftarkan dokumen untuk rencana penerbitan ekuitas pada tahun ini. Nyoman mengklaim, dari semua perusahaan tersebut, belum satu pun yang meminta penundaan penerbitan.
”Belum ada sama sekali penundaan penerbitan efek dari pelaksana penjamin emisi,” ujarnya.
Adapun terkait penerbitan obligasi, Nyoman mengatakan, 13 emisi masih sesuai dengan jadwal penerbitan. Para calon emiten tersebut menggunakan laporan atau buku September 2019, Oktober 2019, dan Desember 2019. BEI belum akan mengoreksi target pencatatan saham perdana sepanjang 2020, yakni 57 perusahaan.