Kartu Prakerja akan diluncurkan hari ini. Namun, efektivitasnya di tengah kondisi pandemi Covid-19 dipertanyakan.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berbagai paket stimulus dan imbauan dari pemerintah belum menyentuh pekerja informal yang terdampak pandemi Covid-19 dan berpotensi kehilangan pendapatan. Lewat stimulus ketiga yang akan fokus pada jaring pengaman sosial, pemerintah diminta turut memperhatikan nasib para pekerja sektor informal yang menggantungkan hidupnya dari pemasukan harian.
Untuk mengantisipasi dampak Covid-19 terhadap pasar tenaga kerja, pemerintah meluncurkan Kartu Prakerja, Jumat (20/3/2020) ini. Program yang sedianya diluncurkan pada akhir Maret 2020 itu dikebut untuk mengantisipasi dampak Covid-19 terhadap ekonomi yang lesu dan ancaman gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).
Pemerintah juga sudah meluncurkan stimulus kedua berupa penghapusan Pajak Penghasilan (Pph 21) untuk pekerja di sektor manufaktur. Dengan demikian, pekerja tetap mendapat gaji utuh tanpa dipotong pajak. Di sisi lain, pemerintah juga akan mengeluarkan stimulus jaring pengaman sosial (social safety net) untuk masyarakat miskin.
Meski demikian, Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar di Jakarta, Kamis (19/3/2020), mengatakan, pemerintah belum memperhatikan nasib pekerja informal harian yang paling terdampak pandemi Covid-19. Pekerja informal tidak terlindungi program Kartu Prakerja dan tidak bisa menikmati stimulus lain, seperti penghapusan Pajak Penghasilan.
Mereka tidak secara resmi di-PHK karena bukan pekerja tetap, tetapi mereka tetap berpotensi kehilangan pekerjaan karena terdampak arus kas perusahaan yang macet serta kebijakan bekerja dari rumah.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada Agustus 2019, jumlah pekerja informal mencapai 70,49 juta orang atau 55,72 persen, sedangkan pekerja formal 56,02 juta atau 44,28 persen. Mereka umumnya bergerak di jenis pekerjaan serabutan yang bergantung pada pemasukan harian. Mereka antara lain penarik becak, pedagang kaki lima, buruh pabrik, kuli bangunan, petugas kebersihan, juga pegawai kontrak yang dibayar harian.
Timboel mengatakan, saat ini ada tiga persoalan terkait sektor tenaga kerja yang terdampak Covid-19. Persoalan itu adalah pekerja yang di-PHK di tengah lesunya kinerja industri, pekerja yang tetap dipekerjakan tetapi upahnya tidak lagi utuh, serta pekerja informal harian yang sudah tidak dipekerjakan atau pendapatannya berpotensi hilang karena masyarakat membatasi diri keluar rumah.
Persoalan ini muncul di sektor pariwisata, manufaktur, dan sektor pekerja kasar atau serabutan. Di sektor pariwisata yang didominasi pekerja informal yang dikontrak harian, beberapa orang sudah di-PHK, sebagian lagi diliburkan tanpa dibayar.
”Masalah muncul pada pekerja harian ini karena mereka tidak punya perlindungan. Ketika tidak dipekerjakan lagi atau pembelinya berkurang, ya sudah, pemasukannya sehari-hari ikut hilang,” katanya.
Pemerintah harus memikirkan cara agar daya beli pekerja informal dan kebutuhan hidupnya tetap terpenuhi. Skema program bantuan sosial dapat dikucurkan, salah satunya lewat stimulus jaring pengaman sosial yang segera diluncurkan pemerintah. Namun, perlu dipastikan agar dampaknya ikut dirasakan para pekerja informal.
”Kalau pekerja formal relatif aman karena pasti tetap digaji pokok dan tunjangan meski bekerja dari rumah. Pemerintah pusat bisa berkoordinasi dengan pemerintah daerah mendata para pekerja informal dan mencari skema bantuan untuk membantu mereka, bentuk subsidi seperti apa yang bisa diberi,” katanya.
Direktur Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kementerian Ketenagakerjaan Bambang Satrio Lelono mengatakan, mengacu pada Surat Edaran Kementerian Tenaga Kerja Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19, pekerja harus tetap diupah jika perusahaan melakukan pembatasan usaha.
Namun, pengaturan besaran upah dan cara pembayarannya disepakati terlebih dahulu antara pengusaha dan buruh dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha. ”Yang (pekerja) harian seharusnya tetap dibayar upahnya. Terkait Kartu Prakerja, prinsipnya tetap pekerja yang bisa ikut pelatihan untuk upskilling dan reskilling. Tetapi, nanti kami informasikan lagi, intinya semua didata dan dikumpulkan,” ujarnya.
Efektivitas kartu
Adapun Kartu Prakerja yang akan diluncurkan Jumat ini akan diberikan untuk 2 juta peserta dengan alokasi anggaran Rp 10 triliun. Kartu ini ditujukan untuk calon pekerja yang mencari kerja, korban PHK, dan pekerja yang butuh meningkatkan atau memperluas kompetensi.
Pada tahap awal, program ini akan menyasar tiga wilayah, yakni Bali, Kepulauan Riau, dan Sulawesi Utara, sebagai yang paling terdampak Covid-19, khususnya sektor pariwisata. Tahap kedua ditujukan untuk Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Jawa Barat.
Peserta program mengikuti pelatihan yang dibiayai pemerintah sesuai pilihan dengan dana pelatihan senilai Rp 3 juta-Rp 7 juta. Mereka juga mendapat insentif uang saku Rp 500.000 untuk mengganti biaya transportasi selama pelatihan.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, meragukan efektivitas Kartu Prakerja. Menurut dia, di tengah pandemi, logika Kartu Prakerja tidak tepat digunakan. Sebab, tidak ada jaminan bahwa pekerja yang sudah dilatih bisa mendapat pekerjaan baru, apalagi kondisi ekonomi di mayoritas perusahaan saat ini pun sedang lesu.
”Kalau setelah dilatih, tetapi lapangan kerjanya tidak siap menyerap, itu tidak akan menjawab persoalan utama pengangguran di tengah wabah,” katanya.
Alih-alih melatih tenaga kerja, untuk sementara ini, di tengah pandemi, persoalan utama yang harus dijawab adalah mempertahankan daya beli pekerja untuk mendorong konsumsi domestik dan menggerakkan roda ekonomi. Selain itu, menjamin pemenuhan kebutuhan hidup dan akses kesehatan dasar untuk pekerja.