Industri Tas Koper Tanggulangin Rumahkan Ribuan Karyawan
Pandemi Covid-19 berdampak pada sektor usaha mikro kecil dan menengah di Sidoarjo, Jawa Timur. Salah satunya sentra industri tas dan koper di Kecamatan Tanggulangin yang saat ini telah merumahkan ribuan karyawannya.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Sentra industri tas dan koper di Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur, merumahkan ribuan karyawannya dan menutup sebagian besar gerainya akibat pandemi Covid-19. Covid-19 telah membuat perajin kesulitan bahan baku dan kesulitan pemasaran.
Ketua Koperasi Industri Tas dan Koper (Intako) Tanggulangin Mahbub Junaedi mengatakan, koperasinya beranggotakan sekitar 350 unit usaha. Setiap unit usaha mempekerjakan 10 hingga 100 karyawan. Mayoritas unit usaha itu bahkan 90 persen kini sudah berhenti memproduksi tas, koper, dan produk kerajinan lainnya.
”Ada dua persoalan besar yang dihadapi perajin. Pertama, sulitnya mendapatkan bahan baku penolong atau bahan baku penunjang, seperti aksesori dan bahan kulit sintetis. Hal itu karena mayoritas bahan diimpor dari China,” ujar Mahbub, Minggu (12/4/2020).
Kalaupun ada barangnya, jumlahnya terbatas, variasinya juga minim, akan tetapi harganya tinggi. Hal itu menyebabkan biaya produksi tinggi sehingga perajin kesulitan menentukan harga jual produk. Daripada memproduksi tas, tetapi tidak mendapat keuntungan, perajin memilih menunda aktivitasnya.
Selama masa penundaan produksi tersebut, tepatnya sejak pertengahan April, pemilik unit usaha sudah merumahkan para karyawannya. Ada yang memberikan honor sebagian gaji, sebagai bekal selama mereka berada di rumah, ada yang tanpa uang saku sama sekali. Hal itu sangat bergantung kemampuan pengusaha.
Alasannya, tidak semua pengusaha memiliki dana cadangan yang besar. Bahkan, mayoritas pengusaha meminjam modal usahanya pada lembaga keuangan perbankan. Pengusaha ini juga wajib mengangsur pinjamannya. Hingga saat ini program restrukturisasi pinjaman perbankan belum terealisasi dengan baik di tingkat bawah.
Hingga saat ini program restrukturisasi pinjaman perbankan belum terealisasi dengan baik di tingkat bawah.
Persoalan krusial kedua adalah pemasaran. Mahbub mengatakan, dampak ekonomi Covid-19 pada pelaku industri tas dan koper kulit Tanggulangin ini lebih dahsyat dibanding saat terjadi semburan lumpur Lapindo pada 2006. Saat itu yang terdampak hanya akses menuju sentra penjualan, sedangkan produksi tidak terkendala karena pasokan bahan baku lancar.
”Saat itu pelaku usaha masih bisa bersiasat. Ketika tidak ada pengunjung yang datang ke gerai atau toko, pengusaha putar haluan menjemput bola. Mereka membawa barang ke sejumlah kota untuk dipasarkan di sana dan mengadakan pameran,” kata Mahbub.
Kondisi saat ini sangat berbeda karena penjualan hanya bisa dilakukan melalui daring. Itu pun pemesanannya sangat minim. Di gerai Koperasi Intako, penjualan konvensional hanya dibuka pada akhir pekan. Awal pekan hingga Kamis, karyawan libur.
Omzet yang biasanya pada akhir pekan tembus Rp 50 juta per hari, turun drastis tinggal Rp 300.000 sampai Rp 500.000. Bahkan, libur panjang akhir pekan ini hanya dapat Rp 750.000 per hari. Nilai itu setara dengan satu unit produk, seperti dompet kulit atau tas kulit biasa.
Produksi Masker
Untuk bertahan hidup atau sekadar mempertahankan agar dapur para karyawannya tetap mengepul, sejumlah perajin banting setir memproduksi masker untuk masyarakat, tetapi bukan masker bedah. Penjualan dilakukan secara konvensional dan daring. Sejumlah perajin pun saling berjejaring untuk memasarkannya.
”Bayangkan perajin yang biasanya memproduksi tas kulit seharga Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta per produknya, sekarang memproduksi masker seharga Rp 30.000 per lusin (12 lembar),” ucap Mahbub.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sidoarjo Tjarda mengatakan, selain sentra industri tas kulit Tanggulangin, sentra industri logam di Desa Ngingas juga terdampak pandemi Covid-19. Hal itu karena bahan baku logam mengandalkan impor dari China.
”Ribuan pekerja di sentra industri logam Ngingas juga sudah dirumahkan karena proses produksi berhenti sementara. Selama dirumahkan, ada yang mendapat uang saku ala kadarnya ada yang masih mendapat gaji tetapi tidak penuh,” kata Tjarda.
Dia mengatakan, Pemkab Sidoarjo sudah menyiapkan jaring pengaman sosial berupa paket sembako senilai Rp 150.000 per paket untuk para pekerja yang terdampak Covid-19. Namun, pihaknya hanya mampu menyiapkan 12.300 paket untuk dua bulan atau 24.600 paket karena keterbatasan anggaran.
Tjarda mengaku kesulitan menentukan kriteria penerima program jaring pengaman sosial karena terbatasnya paket sementara pekerja yang dirumahkan saat ini jumlahnya sudah mencapai belasan ribu orang. Seleksi ketat sangat diperlukan supaya program jaring pengaman bisa tepat sasaran dan tidak tumpang tindih dengan jaring pengaman sosial untuk masyarakat berpenghasilan rendah yang dikelola oleh Dinas Sosial Sidoarjo sebanyak 135.000 paket bahan pokok.