Nilai tukar petani turun tiga bulan terakhir. Tanda bahwa kesejahteraan produsen pangan makin tertekan. Padahal, keberadaannya krusial di tengah situasi menghadapi pandemi.
Oleh
M Paschalia Judith J / Aris Prasetyo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pusat Statistik mencatat, nilai tukar petani atau NTP turun dari 104,16 pada Januari 2020 menjadi 103,35 pada Februari, lalu turun lagi menjadi 102,09 pada Maret. Bulan lalu, penurunan NTP bahkan terjadi di semua subsektor, yakni mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan rakyat, peternakan, dan perikanan.
Situasi itu menjadi tanda bahwa kesejahteraan produsen pangan turun. Sebab, petani mesti membayar barang kebutuhan dengan harga yang lebih tinggi daripada pendapatannya. Kondisi itu kurang menguntungkan di tengah potensi krisis pangan akibat pandemi Covid-19.
Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Indonesia bisa mengatasi ancaman krisis pangan melalui strategi yang memprioritaskan kesejahteraan petani sebagai produsen pangan. Dalam laporan Anticipating The Impacts of Covid-19 in Humanitarian and Food Crisis Contexts, FAO menyebutkan, disrupsi pada produksi dan rantai pasok pangan akibat pandemi Covid-19 bisa menjadi bencana bagi populasi yang tergolong rentan.
FAO merekomendasikan kebijakan aliran dana untuk menyokong produksi pertanian dan menjaga rantai pasok krusial. Bersamaan dengan itu, pemerintah mesti menjamin perlindungan terhadap kelompok masyarakat yang paling rentan, salah satunya melalui perluasan jaring pengaman sosial. Kelompok yang berisiko itu mencakup produsen pangan skala kecil, buruh tani, buruh yang terlibat dalam rantai nilai pangan, serta nelayan dan komunitas perikanan yang rentan.
Menurut Ketua Umum Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia Guntur Subagja, menjaga daya produksi dan daya beli petani menjadi langkah krusial. ”Kesejahteraan petani perlu dijaga melalui kepastian penyerapan (hasil panen dengan harga layak) agar petani memperoleh penghasilan dan tetap memiliki kemampuan memproduksi pangan,” ujarnya, Selasa (14/4/2020).
Terkait potensi krisis pangan dunia akibat pandemi Covid-19, Presiden Joko Widodo, dalam rapat terbatas tentang penanganan Covid-19 melalui telekonferensi dari Istana Merdeka, Jakarta, Senin (13/4/2020), meminta jajarannya untuk mendorong produksi pangan dalam negeri.
Presiden memberi perhatian pada peringatan FAO soal potensi gangguan pangan di banyak negara akibat pandemi. Dalam rapat, Presiden mendorong kementerian menyiapkan strategi untuk meningkatkan produksi pangan sekaligus melepas ketergantungan pada pangan impor.
Gangguan produksi
Di tengah pandemi, sejumlah produsen pangan justru menghadapi ironi. Para peternak ayam rakyat, misalnya, justru memangkas produksinya untuk menyesuaikan penurunan permintaan.
Ketua Umum Pengurus Pusat Pehimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Indonesia Singgih Januratmoko menyebutkan, peternak ayam pedaging memotong 50 persen produksinya seiring dengan turunnya penyerapan.
Turunnya permintaan membuat harga ayam di tingkat peternak di sejumlah sentra anjlok ke Rp 5.000-Rp 8.000 per kilogram (kg). Padahal, rata-rata ongkos produksi yang ditanggung peternak mencapai Rp 17.000 per kg.
Situasi tidak menguntungkan juga dihadapi para petani tebu.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen khawatir harga gula produksi petani tertekan seiring makin gencarnya impor gula. Harga jual gula yang tertekan hingga di bawah ongkos produksi membuat petani enggan menanam tebu.
Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin menyatakan, pemerintah perlu memberikan perhatian pada kesejahteraan petani. Di tengah pandemi, masyarakat berbondong-bondong mencari produk pangan. Kesejahteraan petani mesti jadi perhatian.
Selain fokus pada kesejahteraan produsen pangan, hal lain yang perlu jadi perhatian adalah soal kelancaran distribusi. Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University Dwi Andreas Santosa berpendapat, kelancaran logistik pangan memegang peran kunci. Jika terganggu, produk petani tak terserap, sementara harga di tingkat konsumen naik.
Dana desa
Pemerintah menggelontorkan sejumlah bantuan untuk meredam dampak pandemi. Bantuan untuk warga miskin di antaranya diberikan melalui Program Keluarga Harapan yang dinaikkan sasarannya dari 9,2 juta menjadi 10 juta keluarga, kartu sembako dari 15,2 juta menjadi 20 juta keluarga, serta membebaskan biaya listrik selama tiga bulan untuk pelanggan 450 VA dan potongan 50 persen bagi pelanggan 900 VA.
Pemerintah juga mengarahkan dana desa untuk bantuan tunai. Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar menyatakan, dana desa bisa dimanfaatkan untuk bantuan langsung tunai ke masyarakat miskin atau kehilangan pekerjaan akibat pandemi Covid-19.
Alokasi bantuan disesuaikan dengan dana desa yang diterima tiap-tiap desa. Adapun besaran bantuan langsung tunai (BLT) adalah Rp 600.000 per keluarga selama tiga bulan sejak April 2020. Menurut Abdul, payung hukum penggunaan dana desa untuk BLT diatur dalam Peraturan Menteri Desa PDT Nomor 6 Tahun 2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020. Pihaknya memperkirakan alokasi untuk 74.953 desa mencapai Rp 22,4 triliun.
”Pagu dana desa tahun ini Rp 72 triliun. Dengan menggunakan kriteria yang ada, alokasi BLT mencapai Rp 22,4 triliun bagi 12.487.646 keluarga miskin penerima manfaat,” kata Abdul dalam telekonferensi, Selasa (17/4/2020).
Sesuai peraturan itu, alokasi BLT ditetapkan 25 persen bagi desa dengan pagu dana desa kurang dari Rp 800 juta. Sementara untuk pagu Rp 800 juta hingga Rp 1,2 miliar, alokasi BLT 30 persen. Adapun pagu dana desa di atas Rp 1,2 miliar, alokasinya ditetapkan 35 persen.
”Yang berhak menerima BLT dari dana desa ini adalah keluarga miskin, kelompok miskin yang belum terdaftar atau tercatat, lalu mereka yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi Covid-19. Catatan lainnya, mereka belum mendapat kartu prakerja atau bantuan pangan nontunai ataupun Program Keluarga Harapan,” kata Abdul.