Keseriusan Penanganan Covid-19 Tentukan Respons Pasar
Keputusan pemerintah menetapkan pandemi Covid-19 sebagai bencana nasional akan memengaruhi sentimen pasar. Respons pasar akan sangat bergantung pada keseriusan dan kecepatan pemerintah dalam menangani Covid-19.
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan Presiden Joko Widodo menetapkan pandemi Covid-19 sebagai bencana nasional akan memengaruhi sentimen pasar ke depan. Arus modal masuk ke pasar domestik ditentukan oleh keseriusan dan kecepatan pemerintah dalam menangani Covid-19.
Presiden Joko Widodo menetapkan bencana non-alam penyebaran Covid-19 sebagai bencana nasional, Senin (13/4/2020). Penetapan status bencana nasional tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-alam Penyebaran Covid-19 sebagai Bencana Nasional.
Dalam Keppres Nomor 12/2020 disebutkan, penanggulangan bencana nasional akibat Covid-19 dilaksanakan Gugus Tugas Covid-19 melalui sinergi antar-kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Sementara itu, gubernur, bupati, dan wali kota sebagai ketua Gugus Tugas Covid-19 di daerah dalam menetapkan kebijakan di daerah diharuskan memperhatikan kebijakan pusat.
Ekonom Makroekonomi dan Sektor Keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Teuku Riefky, berpendapat, pemerintah harus menetapkan status bencana nasional agar penanganan Covid-19 optimal. Namun, penetapan status bencana nasional akan menimbulkan sentimen pasar.
Pasar akan merespons positif apabila pemerintah terbukti tegas dan serius dalam menangani Covid-19. Respons positif pasar akan menggerakan arus modal masuk dan membantu pemulihan ekonomi lebih cepat. Sebaliknya, pasar akan bereaksi negatif apabila penetapan status bencana nasional tidak direspons serius hingga tingkat daerah.
”Adanya risiko sentimen pasar membuat pemerintah pusat dan daerah harus tegas dalam pelaksanaan penanganan Covid-19,” ujar Riefky, yang dihubungi Selasa (14/4/2020), di Jakarta.
Di sisi lain, penetapan Covid-19 sebagai bencana nasional akan menimbulkan konsekuensi fiskal berupa pelebaran defisit APBN dan perubahan. Penanggulangan atas konsekuensi fiskal ini sudah direspons pemerintah melalui berbagai kebijakan dan paket stimulus yang terbit. Konsekuensi fiskal relatif terkontrol karena Covid-19 tergolong bencana non-alam.
Indonesia tercatat hanya tiga kali menetapkan status bencana nasional. Selain pandemi Covid-19, status bencana nasional ditetapkan ketika gempa dan tsunami Flores 1992 dan tsunami Aceh 2004.
Menurut Riefky, penetapan status bencana nasional saat ini berbeda dengan sebelumnya karena Covid-19 bersifat non-alam. Pada 2004, misalnya, bantuan internasional berbondong-bondong datang yang bentuknya berupa donor atau hibah. Adapun saat ini bantuan yang ditawarkan berupa pinjaman langsung atau penerbitan obligasi.
”Motif bantuan adalah investasi yang dasar keputusannya menimbang potensi dan imbal hasil, termasuk pengelolaan anggaran pemerintah, defisit transaksi berjalan, dan disiplin fiskal,” kata Riefky.
Konsekuensi fiskal
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah masih harus mendalami konsekuensi atas penetapan status Covid-19 sebagai bencana nasional. Namun, di sisi fiskal, defisit APBN dipastikan melebar ke kisaran 5 persen produk domestik bruto pada 2020. Pelebaran defisit akibat kontraksi penerimaan dan peningkatan belanja.
”Defisit APBN akan berangsur menurun, pada 2021, diperkirakan pada kisaran 3,5-4 persen PDB. Pemerintah akan tetap menjaga disiplin fiskal,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers secara virtual seusai rapat kabinet.
Dalam proyeksi terbaru, Kementerian Keuangan memperkirakan realisasi pendapatan negara tahun 2020 mencapai Rp 1.760,9 triliun atau menurun 10 persen dari realisasi tahun 2019. Adapun belanja negara diperkirakan meningkat sekitar Rp 102,9 triliun dari pagu APBN 2020, yakni Rp 2.540,4 triliun.
Dengan demikian, defisit APBN 2020 diproyeksikan melebar dari Rp 307,2 triliun menjadi Rp 853 triliun.
Sri Mulyani Indrawati mengatakan, penurunan pendapatan negara dihitung berdasarkan proyeksi perekonomian Indonesia yang hanya tumbuh 2,3 persen pada 2020. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan II-2020 diproyeksikan mendekati 0 persen, sementara triwulan III-2020 negatif 2,6 persen. Pemulihan ekonomi mulai triwulan IV-2020.
Menteri Keuangan 2013-2014 M Chatib Basri menambahkan, respons kebijakan jangka pendek tetap harus difokuskan untuk sektor kesehatan, jaring pengaman sosial, dan membantu dunia usaha. Insentif dan relaksasi pajak dalam kondisi saat ini sebaiknya ditahan karena tidak memberikan dampak bagi pemulihan ekonomi dan sosial.
Setelah pandemi Covid-19 berakhir respons kebijakan diarahkan kembali untuk kontra siklus. Tujuannya meningkatkan konsumsi rumah tangga dan investasi. Kebijakan fiskal yang kontra siklus harus dibarengi ekspansi kebijakan moneter. Indonesia juga bisa mengambil peluang terlibat dalam rantai pasok global.