Proses revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ditengarai tidak transparan dan mengabaikan aspirasi publik. Ada kekhawatiran kepentingan elite diutamakan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Publik diminta mewaspadai pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang berlangsung di tengah pandemi Covid-19. Ada sejumlah pasal yang ditengarai bakal menguntungkan sejumlah perusahaan pemegang konsesi tambang tanpa melalui proses yang transparan. Salah satunya adalah sektor batubara yang mendapat sorotan.
Demikian yang mengemuka dalam diskusi daring bertema ”Menggali Beleid Krusial RUU Minerba” yang diselenggarakan Intitute for Development of Economics and Finance (Indef), Rabu (15/4/2020), di Jakarta. Ekonom senior Indef Faisal Basri, Direktur Riset Indef Berly Martawardaya, dan peneliti bidang pangan, energi, dan pembangunan berkelanjutan Indef Imaduddin Abdullah menjadi narasumber.
Beberapa hal yang disoroti narasumber dalam revisi UU Nomor 4/2009 adalah pasal yang mengatur tentang kewajiban pemurnian mineral di dalam negeri dan perpanjangan kontrak. Dalam pasal yang mengatur perpanjangan kontrak, pemegang kontrak karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) diberi jaminan perpanjangan menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) operasi produksi. Perpanjangan diberikan apabila memenuhi persyaratan dengan mempertimbangkan peningkatan penerimaan negara.
”Ada enam perusahaan pemegang PKP2B yang kontraknya bakal habis tahun ini sampai 2025. Dengan menggunakan pasal dalam revisi tersebut, bahwa perusahaan dapat mengajukan perpanjangan operasi paling cepat 5 tahun sebelum kontrak habis, maka bisa saja mereka mendapat perpanjangan tanpa proses yang transparan,” kata Faisal.
Perpanjangan kontrak tanpa melalui prosedur semacam itu akan menimbulkan kecurigaan publik.
Apabila konsisten dengan peraturan yang sudah ada, lanjut Faisal, apabila kontrak tambang sudah habis masa berlakunya, maka wilayah tersebut dikembalikan kepada negara. Kemudian, negara bisa melelang kembali kepada publik dengan proses yang transparan. Perpanjangan kontrak tanpa melalui prosedur semacam itu akan menimbulkan kecurigaan publik.
”Wajar apabila sektor tambang batubara bergitu mendapat perhatian besar karena nilai bisnis rantai pasok batubara luar biasa besar. Nilai ekspor batubara adalah yang terbesar. Tahun lalu nilainya 18,8 miliar dollar AS atau jauh melampaui ekspor minyak kelapa sawit yang sebesar 15,5 miliar dollar AS,” kata Faisal.
Sementara itu, Imaduddin berpendapat, sektor pertambangan dengan segala kontroversinya masih berperan besar bagi perekonomian nasional. Apalagi, ketergantungan dari sektor tersebut masih tinggi. Bahkan, tambang mineral jenis nikel akan memainkan peranan penting di masa depan seiring kian maraknya produksi kendaraan listrik. Nikel adalah salah satu bahan baku utama baterai pada kendaraan listrik.
”Yang disayangkan adalah manfaat ekonomi tambang hanya dinikmati segelintir elite saja. Manfaat ekonomi tambang akan benar-benar optimal apabila usaha peningkatan nilai tambah di dalam negeri benar-benar diwujudkan,” ujar Imaduddin.
Sektor pertambangan yang padat modal sangat rawan menimbulkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme di Indonesia.
Berly juga menyoroti masih tingginya angka kemiskinan di wilayah penghasil tambang di Indonesia. Hal itu disebabkan amanat hilirisasi sektor mineral dan batubara tak berjalan dengan baik. Selain itu, sektor pertambangan yang padat modal sangat rawan menimbulkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme di Indonesia.
”Oleh karena itu, pasal yang membahas tentang perpanjangan secara otomatis harus ditolak karena tidak melalui proses transparan atau lelang,” ujar Berly.
Saat ini, proses pembahasan revisi UU No 4/2009 sedang dalam tahap pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM). Komisi VII DPR, yang menjadi mitra pemerintah dalam pembahasan revisi ini, sudah membentuk panitia kerja bersama unsur dari pemerintah. DPR optimistis proses tersebut bisa rampung tahun ini.