Kebutuhan Baju APD yang Aman Belum Terpenuhi
Pengadaan baju alat pelindung diri (APD) medis kerja sama pemerintah dan industri tekstil belum mencapai tahap distribusi. Sementara baju APD hasil konveksi rumahan belum sepenuhnya aman.
JAKARTA, KOMPAS — Hampir dua bulan wabah Covid-19 melanda Indonesia, kalangan tenaga medis masih kesulitan memperoleh baju alat pelindung diri yang aman dari penularan. Di tengah pandemi Covid-19 ini, baju APD sekali pakai diperebutkan banyak negara, termasuk bahan bakunya.
Awal April lalu, pemerintah optimistis dapat menyediakan 18 juta potong APD per bulan, tetapi hingga kini baju itu belum didistribusi. Spesifikasi baju APD standar medis pun sempat membingungkan. Sebaliknya, produksi baju APD marak di konveksi-konveksi berbasis rumah tangga. Hasil produksinya diserap kelompok pemberi donasi, pedagang, dan pencari imbalan.
Hampir dua bulan wabah Covid-19 melanda negeri ini, kalangan tenaga medis masih kesulitan memperoleh baju APD. Di tengah pandemi Covid-19 ini, baju APD sekali pakai ini pun diperebutkan oleh seluruh negara, termasuk bahan bakunya. Tak terkecuali Indonesia mengeluarkan larangan ekspor sementara perlengkapan APD lewat Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2020 guna memenuhi kebutuhan perlengkapan APD di dalam negeri.
Untuk mengatasi kelangkaan, sejak awal Maret sejumlah kelompok masyarakat secara mandiri menyediakan baju APD model coverall dengan mengerahkan konveksi kecil. Satu konveksi rumah tangga dapat memproduksi 700 hingga 1.000 potong baju APD coverall per minggu.
Kementerian Kesehatan pun memberikan relaksasi sehingga baju APD hasil produksi konveksi dapat didistribusikan meski tanpa izin edar. Padahal, sebelumnya, seperti diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 62 Tahun 2017 tentang izin edar alat kesehatan, baju APD sebagai bagian alat kesehatan diawasi secara ketat produksi dan distribusinya.
RSUD Tarakan, Jakarta, contohnya, setiap hari membutuhkan 200 potong baju APD. Untuk memenuhinya, rumah sakit ini mengandalkan donasi baju APD dari kelompok-kelompok masyarakat karena yang disediakan pemerintah terbatas. Jika alami kekurangan, mereka saling meminjam cadangan baju APD dengan rumah sakit lain di Jakarta.
Baca juga: Industri Kecil Menengah Bersiap Produksi Alat Pelindung Diri Berstandar Medis
Kepala Bidang Penunjang Medis RSUD Tarakan Florida Kurniasari mengungkapkan, saling meminjam cadangan baju APD sudah kerap dilakukan RSUD Tarakan, salah satunya dengan RSUD Pasar Minggu yang sama-sama menangani pasien Covid-19.
”RSUD Pasar Minggu, contohnya, butuh 50 potong baju APD, saya kasih 25 potong. Giliran stok kami tinggal 10, kami tagih ke RSUD Pasar Minggu. Jadi, tarik-tarikan kayak gitu,” ujarnya.
Hingga akhir 2019, sebelum wabah Covid-19 merebak, menurut data Gabungan Perusahaan Alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab), hanya ada lima perusahaan produsen baju APD. Sebanyak dua di antara produsen itu berada di kawasan berikat sehingga hampir 90 persen hasil produksinya untuk ekspor.
Berdasarkan hasil pemetaan Kementerian Perindustrian, lima produsen APD yang ada selama ini adalah PT Meditech Manufacture dengan kapasitas produksi 30.000 potong per bulan, PT Lestari Dini Tunggal sebanyak 10.000 potong per bulan, dan PT Maesindo sebanyak 80.000 per bulan. Sementara dua produsen lagi berada di kawasan berikat adalah PT Dae Dong International sebanyak 315.000 potong per bulan, dan PT GA Indonesia sebanyak 420.000 potong per bulan.
Tanpa memperhitungkan jumlah produksi yang ekspor, menurut data Gakeslab, produksi untuk kebutuhan dalam negeri hanya sekitar 20.000 sampai 30.000 potong per bulan. Untuk bahan bakunya pun baru 50 persen yang dipenuhi dari dalam negeri.
Padahal, menurut Kepala Dinas Kesehatan DKI Widiastuti, kebutuhan baju APD untuk tenaga kesehatan di DKI Jakarta di masa wabah Covid1-19 saat ini saja sudah mencapai 10.000 potong per hari.
Hingga awal April, pemerintah pusat baru selesai memetakan kebutuhan dan sumber daya untuk memproduksi baju APD dalam skala besar. Berdasarkan data yang dihimpun Kementerian Perindustrian, setidaknya dibutuhkan 16,5 juta potong baju APD per bulan untuk seluruh Indonesia. Perhitungan itu berangkat dari data kebutuhan APD yang diperhitungkan oleh Kementerian Dalam negeri yang berasal dari asumsi 850.000 potong per minggu untuk setiap 7 provinsi dari 34 provinsi yang ada di Indonesia.
Baca juga: Dilema di Tengah Pandemi
Hasil rapat Kemenperin bersama Gugus Tugas Penanganan Covid-19 dan Kemenkes, disepakati target produksi baju APD setiap bulan sebesar 18 juta potong. Namun, menurut Direktur Jenderal Industri Kimia Farmasi dan Tekstil, Kemenperin Muhammad Khayam, hanya 1 juta potong yang dapat diproduksi sesuai standar medis dengan menggunakan bahan spunbond non-woven berupa serat sintetis polypropylene tanpa tenun, dan selebihnya baju APD non-medis.
”Biarin saja dulu selebihnya non-medical. Yang non-medical ini juga sangat banyak digunakan misalnya petugas kebersihan, pengantar makanan. Ini campur katun,” jelasnya saat dihubungi, 3 April lalu.
Untuk memenuhi produksi 1 juta baju APD standar medis, menurut Khayam, pihaknya menemukan ada 14 produsen spunbond di Indonesia yang dapat memasok kebutuhan bahan baku. Menurut dia, 14 produsen spunbond itu memiliki kapasitas produksi 5.000 ton per bulan. Namun, permasalahannya selama ini hasil produksinya lebih banyak dipasok untuk produksi filter bensin, karpet, tas, kemasan sandal, dan topi. Sementara 5 produsen baju APD medis yang ada lebih banyak menggunakan bahan baku impor.
Oleh karena itu, untuk memperbesar jumlah produksi baju APD standar medis, Khayam mengatakan pihaknya menggandeng 36 industri tekstil, termasuk 5 produsen baju APD medis yang sudah ada sebelumnya. Perusahaan-perusahaan ini yang akan didorong untuk menghasilkan baju APD kelas premium standar medis, untuk memenuhi kebutuhan tenaga medis yang ada di garda depan. ”Kita ngejar minimum 3 juta potong per bulan, atau 750.000 potong per minggu,” ucapnya.
Namun, hingga pertengahan April ini, baju APD berstandar medis yang diupayakan produksi dalam negeri itu belum didistribusi. Banyak tenaga kesehatan akhirnya mengandalkan baju APD hasil donasi dari masyarakat, termasuk menggunakan jas hujan.
Sementara itu, mulai banyak pula tenaga kesehatan yang bertumbangan. Hingga April, ada 19 dokter meninggal tertular penyakit ini. Sementara menurut data Persatuan Perawat Nasional Indonesia, ada 10 perawat meninggal karena positif Covid-19. Belum lama ini, 46 tenaga medis di RSUP Kariadi Semarang pun positif Covid-19.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Daeng M Faqih menyampaikan, berdasarkan pengamatan IDI, banyak dokter tertular ketika merawat pasien dengan gejala awal dan belum kelihatan terinfeksi Covid-19. Sebaliknya, dokter yang di kamar isolasi malah tidak banyak yang tertular karena sudah mengenakan baju APD lengkap. Oleh karena itu, IDI pun telah mengimbau agar para dokter sudah memakai baju APD ketika menangani pasien.
Baca juga: Berperang Tanpa Senjata Lengkap
”Kami tidak mau dokter banyak tumbang karena mencetak tenaga seperti dokter itu butuh waktu panjang. Jika banyak yang tumbang, nanti Indonesia akan banyak kehilangan para dokter ahli. Kami sarankan, apa pun pasiennya, kelihatan atau tidak kelihatan Covid, kawan-kawan harus menggunakan APD,” jelasnya.
Dalam Webinar Isu Strategis Nasional Pandemi Covid-19 yang dihadiri pihak Kemenkes, Ikatan Dokter Indonesia, dan Gakeslab, Selasa, 7 April 2020, Sekretaris Direktorat Jenderal Farmasi dan Alat Kesehatan, Kemenkes, Ade Arianti Anaya mengungkapkan, satu isu penting yang kita temui akhir-akhir ini adalah banyak tenaga medis yang meninggal karena terpapar Covid-19.
”Kalau kita lihat nakes (tenaga kesehatan) yang banyak terpapar Covid-19, maka kita berpikir bahwa ada yang salah dari pelindung diri yang digunakan oleh nakes dalam penanganan pasien covid,” kata Ade.
Untuk mengatasi kelangkaan, Ade yang kembali dihubungi Kompas menyampaikan, Kemenkes telah membagikan 500.000 baju APD ke seluruh wilayah Indonesia. Masing-masing wilayah diberikan 5.000 baju APD dan yang paling banyak untuk DKI Jakarta sebesar 40.000 potong. Sebagian baju APD itu ada yang dibeli dari 100.000 unit baju APD hasil pembatalan ekspor karena adanya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2020 tentang larangan sementara ekspor baju APD.
Sekarang, lanjut Ade, juga ada banyak perusahaan tekstil memproduksi baju APD. Namun, baju-baju itu harus diklasifikasikan menurut standar baju APD untuk tenaga kesehatan di tingkat 3 dan tingkat 2.
Jika tak memenuhi standar medis yang tahan terhadap penetrasi cairan, darah, virus, termasuk aerosol, baju APD itu dapat digunakan tenaga kesehatan tingkat 2 yang tak menangani pasien Covid-19. Sementara tenaga kesehatan tingkat 3 yang langsung menangani pasien Covid-19 harus menggunakan baju APD yang memperoleh izin edar dari Kemenkes.
”Baju APD untuk tenaga kesehatan tingkat 2 tidak perlu ada izin edar, tetapi tidak boleh diklaim sebagai APD medis. Yang harus mendapat izin edar adalah gaun yang digunakan untuk tenaga kesehatan tingkat 3. Dengan adanya relaksasi, penerbitan izinnya pun dipercepat,” tutur Ade.
Rekomendasi berbeda
Namun, hingga akhir Maret saja, ditemukan spesifikasi baju APD standar medis yang saling bertentangan antara yang diterbitkan Gugus Tugas Penanganan Covid-19 dan Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes. Spesifikasi baju APD yang ditetapkan Gugus Tugas Penanganan Covid-19 harus menggunakan bahan berstandar EN 14126, standar baju APD yang diterapkan pada wabah Ebola. Sementara standar yang diterbitkan Ditjen Pelayanan Kesehatan, Kemenkes, pada 26 Maret, hanya menyebutkan serat sintetis, dengan spesifikasi baju APD sekali pakai dan dipakai ulang.
Berdasarkan Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 yang diterbitkan Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes, pun disebutkan bahwa Covid-19 merupakan penyakit pernapasan yang berbeda dengan penyakit virus Ebola yang ditularkan melalui cairan tubuh. Perbedaan ini bisa menjadi pertimbangan saat memilih penggunaan baju APD.
Impor sudah tidak mungkin. Teman-teman importir sudah tidak mendapatkan barang (bahan baku dan perlengkapan APD). Kami menggunakan yang ada di dalam negeri.
Hal ini cukup membingungkan bagi produsen. Torch, salah satu produsen yang sejak 23 Maret lalu menyiapkan produksi baju APD berstandar medis, sempat kesulitan untuk menguji bahan sesuai standar EN 14126. CEO Torch Ben Wirawan Sudarmadji mengatakan, untuk menguji bahan sesuai standar itu hanya dapat dilakukan di laboratorium tekstil di Shanghai dan, dalam kondisi normal, pengujian itu bisa memakan waktu 2-4 minggu.
”Saat meeting bersama 200 produsen pada Selasa (7 April), saya protes standar ini sulit dipenuhi. Hingga akhirnya pada 10 April, standar bahan diturunkan menjadi ANSI/AAMI PB70 dengan pengujian AATCC42. Dengan pengujian ini, bahan diuji terkait ketahanan terhadap penetrasi cairan dan dapat dilakukan di Balai Besar Tekstil Bandung. Kalau seperti ini kami bisa penuhi,” ujarnya.
Hingga kini, diakui Ben, pihaknya baru menjalankan proses produksi, tetapi pemesanan sudah mencapai 5.000 potong baju APD. Ia menargetkan dapat memproduksi 10.000 potong per bulan. ”Masih produksi, belum ada yang didistribusikan,” ucapnya.
Sementara lima produsen baju APD yang ada selama ini, masing-masing meningkatkan kapasitas produksi. Sekretaris Jenderal Gakeslab Randy Hendrarto menyampaikan, untuk satu perusahaan, contohnya, dari semula produksi 100-200 potong, sekarang menjadi 1.000-2.000 potong per minggu. Menurut dia, untuk produksi menggunakan bahan baku yang ada di dalam negeri, yakni spunbond. Satu level di atasnya adalah serat sintetis 3 lapis spunbond-melt blown-spunbond yang ada di luar negeri.
”Impor sudah tidak mungkin. Teman-teman importir sudah tidak mendapatkan barang (bahan baku dan perlengkapan APD). Kami menggunakan yang ada di dalam negeri,” ucapnya.
Hanya sekali pakai
Dalam pengadaan baju APD ini Randy menyayangkan adanya koordinasi yang tak harmonis antara Kemenperin dan Kemenkes. Sebagai salah satu produsen baju APD medis, Randy mengungkapkan, ada standar yang harus dipenuhi supaya baju APD yang dihasilkan benar-benar dapat melindungi tenaga kesehatan sehingga persyaratan yang harus dipenuhi bukan sekadar bahan baku.
Hal ini pun diungkapkan Randy saat diskusi dalam webinar bersama Kemenkes dan IDI. Randy menyampaikan sejauh ini belum ada standar baju APD yang dapat digunakan ulang sehingga perlu berhati-hati jika ada baju APD yang dinyatakan dapat digunakan ulang. ”Semua alat kesehatan yang reuse ada standarnya sehingga harus mengikuti standar bagaimana melakukan reuse tersebut,” jelasnya.
Hal itu pun diamini Ketua Komite Pencegahan dan Pengendali Infeksi RSUP dr Sardjito Yogyakarta Andaru Dahesihdewi, yang ikut dalam diskusi di webinar itu. Menurut Andaru, tenaga medis harus tetap menghindari penggunaan APD medis secara berulang. Jika memang alami kekurangan baju APD dan terpaksa menggunakan jas hujan, menurut dia, sebaiknya tidak perlu menggunakan baju APD kemudian dilapis jas hujan.
”Untuk menghindari penularan, sebaiknya gunakan saja jas hujan. Setelah dipakai, langsung dibuang. Sementara pakaian yang dikenakan tenaga medis itu direndam air panas dengan deterjen khusus, terpisah dari pakaian lainnya. Kemudian (tenaga medis) mandi,” jelasnya.
Rawan incaran imbalan
Saat ini mulai muncul indikasi permintaan imbalan dari kalangan pemerintah dalam pengadaan baju APD kepada pengusaha konveksi kecil. TM, pemilik konveksi di Cileungsi, Bogor mengaku, baru memperoleh pesanan 200.000 potong dari pemerintah melalui rekan usahanya ED. Pemesan meminta bagian keuntungan atau imbalan sebesar Rp 5.000 per potong, separuh dari keuntungan yang biasa TM peroleh dari setiap potong baju APD. Jika ditotal, imbalan yang bakal diterima pemesan itu pun tak kurang dari Rp 1 miliar.
Karena Kompas datang sebagai calon pembeli, TM pun mengungkapkan, pesanan 200.000 potong itu diajukan oleh tiga orang yang mengaku dari Kemenkes. Ketiganya kemudian memintanya memberikan bagian Rp 5.000 untuk setiap potong, dan TM menyanggupinya. Semula setiap potong harganya Rp 80.000, akhirnya TM berikan harga Rp 75.000.
”Karena dia kan (pesannya) gede, jadi harganya Rp 75.000 per piece. Jadi, Rp 80.000 ke sana (yang dilaporkan), dia minta Rp 5.000 dari saya. Kan, dia ambilnya sampai ratusan ribu. Jadi, saya bilang enggak apa-apa,” tutur TM.
Baca juga: Gugurnya Pejuang Covid-19 di Garda Depan
Saat dihubungi secara terpisah, ED mengakui, pihaknya memperoleh pesanan baju APD dari pihak yang mengaku dari Kemenkes. Jumlahnya mencapai 1 juta potong dan pekerjaannya dibagikan ke sejumlah konveksi, salah satunya TM. ”Nah rencananya mau kontrak sama kita. Belum diproses, sih, tetapi pembicaraan sudah deal kemarin untuk 1 juta potong APD,” katanya.
Saat dikonfirmasi terkait permintaan imbalan itu, Ade selaku Sesditjen Farmasi dan Alkes di Kemenkes mengaku tidak mengerti. ”Maaf, kalau ini, saya tidak mengerti,” ucapnya.
”Spunbond” diperebutkan
Spunbond yang menjadi salah satu jenis bahan baku baju APD medis ini telah banyak terserap ke industri-industri kecil menengah yang sebagian besar mengalihkan produksinya ke pembuatan baju APD sejak wabah Covid-19 terjadi. Industri kecil itu tak hanya memproduksi baju APD untuk kepentingan donasi, tetapi juga komersial. Spunbond yang menjadi bahan bakunya semakin diperebutkan dan harganya merangkak naik.
Abdul Ghoni, produsen suvenir yang kini mengalihkan seluruh produksinya ke pembuatan baju APD, harus berjuang keras memperoleh pasokan spunbond. Perajin di Perumahan Industri Kecil Penggilingan, Jakarta Timur, ini mengatakan pernah memperoleh nomor antrean 50 untuk membeli bahan spunbond di Toko Tri Jaya, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Namun, belum sampai gilirannya, stok spunbond di toko itu sudah habis. ”Belum sampai giliran saya, bahan sudah habis,” ucap Ghoni yang mengaku mampu memproduksi 200 potong baju APD per hari.
Akibat tingginya permintaan, harga spunbond kini melonjak. Awal Maret, Ghoni masih bisa memperoleh bahan itu seharga Rp 5.500 per meter sehingga ia bisa menjual baju APD seharga Rp 46.000 per potong. Kini, harga bahan tersebut sudah mencapai Rp 14.000 per meter sehingga harga baju APD yang dibuatnya ia naikkan menjadi Rp 80.000 per potong.
Baju APD buatan Ghoni ini tak hanya diserap oleh kelompok masyarakat yang memiliki misi mendonasikan baju APD itu untuk tenaga kesehatan. Namun, Ghoni mengaku, pembeli yang datang kepadanya juga ada dari kalangan perantara yang akan menjual lagi baju APD itu ke sejumlah pedagang di Pasar Pramuka. ”Ada perantara yang beli ke sini dan dijual di Pasar Pramuka,” ucapnya.
Di Pasar Pramuka, baju-baju APD itu pun dijual dengan harga fantastis. Paling rendah dijual seharga Rp 250.000 per potong dan baju yang dilengkapi dengan penutup di bagian retsliting dijual seharga Rp 600.000 per potong. Harga lebih rendah lagi Rp 200.000 per potong hanya ditemukan di salah satu toko alat kesehatan di sekitar Pasar Pramuka. FZ, pemilik toko itu, mengaku memiliki stok hingga 1.000 potong. ”Mau berapa potong, saya siapkan. Saya ready 1.000 potong,” ujarnya.
Peningkatan produksi terkendala
PT Care Spunbond, salah satu produsen spunbond di Tangerang ini contohnya, selama terjadi wabah pada Maret-April ini memaksimalkan produksi hingga kapasitas terpasang 300-350 ton per bulan karena tingginya permintaan. Commercial Manager PT Care Spunbond Melly Susilo mengungkapkan, sebelum wabah jumlah produksi hanya sekitar 80 persen dari kapasitas terpasang.
Sejak 2011, lanjut Melly, PT Care Spunbond telah memproduksi spunbond untuk memasok kebutuhan produksi tas dan industri non,medis. Dengan kondisi krisis wabah Covid-19 ini, seluruh hasil produksi dialihkan untuk keperluan pembuatan APD, baik baju maupun masker.
Namun, itu semua untuk memenuhi pesanan kelompok donator dan industri, bukan atas permintaan pemerintah. ”Produksi bulan Maret, April, Mei ini hampir sepenuhnya mendukung pembuatan APD. Namun, kalau pemerintah, belum ada yang menggandeng kami,” jelasnya.
Tingginya permintaan spunbond, menurut Melly, mendorong pihak perusahaan menambah kapasitas produksi 10-15 persen dari kapasitas yang ada saat ini. Namun, hal ini masih terkendala oleh izin penambahan daya listrik. ”Kapasitas pabrik kami bisa naik 10-15 persen kalau mendapat tambahan pasokan listrik. Kami pun sudah mendaftar ke PLN untuk menambah daya ini pada 6 April, tetapi penambahan daya itu baru bisa terpasang pada Oktober nanti. Ini, kan, jadi kendala,” jelasnya.
Pengawasan
Di tengah kelangkaan dan tak terkendalinya peredaran baju APD dari konveksi kecil, hingga kini belum tampak ada institusi yang mengawasi kualitas baju APD tersebut. Menanggapi hal itu, Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menyampaikan, pada dasarnya semua perusahaan dapat memproduksi baju APD selama memenuhi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang diterbitkan Gugus Tugas Penanganan Covid-19 dan lulus uji di Kemenperin.
Hingga saat ini, lanjutnya, sudah ada tiga industri yang memproduksi 16.000 baju APD kelas premium standar medis per harinya sejak 13 April kemarin. Namun, dia mengakui, baju itu belum didistribusikan karena membutuhkan proses logistik. ”Logistik, kan, butuh proses,” ucapnya.
Selagi menunggu baju APD itu dapat didistribusikan, Wiku menyampaikan agar masing-masing rumah sakit dapat mengontrol kualitas APD yang diperoleh, baik yang dibeli maupun diperoleh dari donasi. Apalagi, kini seluruh tenaga kesehatan yang berada berdekatan dengan pasien harus menggunakan baju APD, terutama dokter gigi dan dokter THT. ”Rumah sakit yang mengontrol kualitasnya,” ujarnya.
Ketua Ikatan Dokter Keselamatan Kerja Indonesia (IDKI) Eddy MS pun mengingatkan agar ada institusi yang dapat mengendalikan ketersediaan bahan baku baju APD, termasuk kesediaan baju APD itu sendiri. Dengan demikian,” pasokan APD ke rumah sakit dapat terjamin. ”Dengan kondisi saat ini, di mana dibiarkan terbuka, maka harga pasar akan terus naik,” katanya.