Impor Gula Belum Berdampak, Pemerintah Perlu Pantau Proses dan Peredarannya
Impor gula dan intervensi pemerintah belum mampu menekan harga gula di pasaran. Pemerintah perlu meminta pertanggungjawaban proses dan distribusi gula impor.
Oleh
M Paschalia Judith J / Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengadaan gula dengan cara impor belum berdampak signifikan pada harga gula di tingkat konsumen. Oleh karena itu, pemerintah dinilai perlu mengetatkan pengawasan impor berdasarkan tenggat.
Kementerian Perdagangan telah menerbitkan izin impor gula mentah (raw sugar) 268.172 ton untuk pengadaan hingga April 2020 dan 265.800 ton untuk pengadaan hingga Juni 2020. Gula mentah itu akan diolah menjadi gula kristal putih (GKP) untuk konsumsi rumah tangga.
Pemerintah juga mengeluarkan instruksi untuk mengalihkan 250.000 ton gula mentah impor yang ditujukan untuk gula kristal rafinasi (industri) menjadi GKP. Selain itu, Kementerian Perdagangan juga meloloskan impor 150.000 ton GKP oleh badan usaha milik negara (BUMN) masing-masing 50.000 ton untuk PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero), PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero), dan Perum Bulog.
Dengan beragamnya sumber pengadaan gula untuk konsumsi rumah tangga itu, harga gula diharapkan terkendali. Namun, harga gula konsisten naik lima bulan terakhir. Pada Senin (27/4/2020), harga rata-rata gula pasir menurut data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional Rp 18.250 per kilogram (kg), jauh di atas acuannya yang Rp 12.500 per kg.
Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Budi Hidayat menilai, pemerintah perlu memperketat pemantauan terhadap alur pemrosesan dan distribusi gula impor itu. ”Kementerian Perdagangan mesti memantau jumlah gula yang sedang dikirim, diproses, hingga diedarkan ke pasar dalam jangka waktu tertentu,” ujarnya saat dihubungi, Senin (27/4/2020).
Jangka waktu yang dimaksud berdasarkan tingkat kewajaran pemrosesan gula dan alur logistiknya. Menurut Budi, tata niaga gula yang pengadaannya berasal dari impor mesti diselesaikan sebelum awal musim giling tebu dalam negeri tiba.
Desakan senada disampaikan Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen. Menurut dia, selain belum signifikan memengaruhi harga di pasar, keterlambatan realisasi impor berpotensi menekan harga gula petani menjelang musim giling tebu Mei-Juni 2020.
Lindungi petani
Selain memastikan gula impor tidak merusak harga di tingkat petani, pemerintah dinilai perlu menetapkan harga pokok pembelian (HPP). HPP yang berlaku saat ini, yakni Rp 9.100 per kg, dinilai jauh dari ongkos produksi yang dikeluarkan petani yang diperkirakan telah lebih dari Rp 12.000 per kg.
Sekretaris Jenderal APTRI, M Nur Khabsyin, menyatakan, petani tebu rakyat membutuhkan penetapan HPP paling lambat akhir April 2020. Jika terlambat, HPP baru tidak akan berdampak pada harga gula petani. APTRI mengusulkan HPP gula di tingkat petani setidaknya Rp 14.000 per kg.
Menurut Soemitro, dampak pandemi Covid-19 di sektor pertanian memberikan pelajaran berharga. Ketika arus perdagangan global terganggu, kemandirian pangan negara diuji dan kunci mengejar kemandirian adalah dengan memastikan petani sejahtera. ”Jika petani sejahtera, lahan (penanaman) akan bertambah, produksi akan naik,” ujarnya.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Suhanto, Senin (27/4/2020), mengatakan, kenaikan harga gula sejak akhir 2019 antara lain disebabkan berkurangnya pasokan gula ke pasar dalam negeri. Di tengah pandemi Covid-19, pemenuhan gula lebih menantang karena rantai perdagangan global terganggu.
Salah satu cara yang ditempuh pemerintah adalah menugaskan industri gula rafinasi untuk mengolah stok gula mentah mereka menjadi gula kristal putih yang siap konsumsi. Targetnya 250.000 ton gula rafinasi yang akan dikonversi jadi gula konsumsi. Namun, hal itu tidak mudah, karena pabrik rafinasi juga memasok gula untuk bahan baku industri makanan dan minuman.
Suhanto mengatakan, sampai Senin (27/4/2020) ini, sebanyak 83.959 ton gula pasir sudah diproduksi dan terdistribusi ke pasar. Pabrik mengolah dengan kapasitas produksi 5.000 ton per hari. Namun, jumlah itu belum cukup untuk memenuhi kebutuhan gula di tengah pandemi dan Ramadhan yang diperkirakan 230.000 ton dalam sebulan.
Pemerintah pun meminta produksi gula ditambah untuk mengejar kebutuhan itu. ”Kami sudah meminta para produsen yang ditugasi untuk menaikkan kapasitasnya menjadi 8.000 ton per hari agar bisa segera mengisi pasar. Mereka sanggup untuk menaikkan,” kata Suhanto.
Impor gula
Suhanto meyakini, kebutuhan gula tetap bisa dipenuhi dan harga akan kembali normal. Selain menambah produksi gula dalam negeri, impor gula konsumsi atau gula kristal putih diperkirakan masuk pada awal Mei ini. Impor itu dilakukan oleh tiga perusahaan pelat merah, yakni Perum Bulog, PT Rajawali Nusantara Indonesia (PT RNI), dan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI).
Direktur Pengembangan dan Pengendalian Usaha RNI, Febriyanto, mengatakan, gula diharapkan sudah masuk pada minggu pertama Ramadhan untuk mengimbangi lonjakan permintaan. Gula kristal putih yang tiba akan langsung disalurkan ke pasar konsumsi. Sementara untuk gula kristal mentah akan diolah lagi menjadi gula konsumsi di pabrik anak perusahaan PT RNI, yakni PT Pabrik Gula Rajawali II.
Suhanto mengatakan, pemerintah sudah berkoordinasi dengan para produsen dan distributor gula untuk menyalurkan dan mendistribusikan langsung hasil produksi ke ritel modern atau pasar rakyat dengan mengacu pada harga eceran tertingg. ”Kami juga meminta distributor untuk tidak menahan stok gula yang dimiliki dan berkoordinasi dengan pemerintah jika mendapat pasokan gula dari produsen dengan harga di atas yang disepakati,” katanya.
Langkah penyaluran gula pasir ke pasar itu akan diawasi juga oleh tim pengawas Kementerian Perdagangan dan Satuan Tugas Pangan. ”Kami yakin dalam waktu tidak terlalu lama harga gula akan mulai turun seiring bertambahnya jumlah pasokan gula di pasar,” kata Suhanto.