Daerah yang perekonomiannya digerakkan sektor jasa, pariwisata, dan manufaktur, terpukul pandemi Covid-19. Mereka mendapatkan prioritas transfer daerah.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keterbatasan anggaran pemerintah daerah akan membuat penanganan Covid-19 tidak optimal. Oleh karena itu, transfer dana dari pemerintah pusat perlu diprioritaskan untuk daerah-daerah yang kondisi fiskalnya paling tertekan akibat pandemi ini.
Kementerian Keuangan memproyeksikan pendapatan asli daerah (PAD) di Jawa dan Bali merosot hingga 40 persen tahun ini. Pukulan pandemi Covid-19 terasa paling keras di daerah-daerah yang roda perekonomiannya digerakkan sektor jasa, pariwisata, dan manufaktur.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng, Selasa (28/4/2020), mengatakan, pajak daerah adalah fungsi dari ekonomi yang bergerak. Adapun retribusi adalah fungsi layanan umum. Kedua sumber PAD itu turun signifikan selama pandemi Covid-19.
”Kondisi fiskal daerah-daerah tertentu akan tertekan sehingga politik anggaran asimetris menjadi penting saat ini. Transfer ke daerah perlu memperhatikan karakteristik. Daerah yang paling terpukul dan rentan terhadap Covid-19 harus didukung,” kata Robert yang dihubungi Kompas di Jakarta.
Setelah APBN 2020 direalokasi dan difokuskan ulang, alokasi anggaran transfer ke daerah mencapai Rp 691,53 triliun. Dana itu terdiri dari dana bagi hasil (DBH) Rp 89,81 triliun, dana alokasi umum (DAU) Rp 384,38 triliun, dana alokasi khusus (DAK) Rp 182,96 triliun, dana insentif daerah (DID) Rp 13,5 triliun, serta dana otonomi khusus dan dana keistimewaan DI Yogyakarta Rp 20,88 triliun.
Besaran anggaran transfer untuk setiap daerah berbeda-beda. Formula baku untuk setiap jenis transfer berbeda. Namun, secara garis besar mempertimbangkan sejumlah hal, seperti lokasi geografis, tingkat kemiskinan, ruang fiskal daerah, luas wilayah, dan arah kebijakan strategis nasional.
Menurut Robert, transfer ke daerah saat ini perlu memprioritaskan daerah-daerah di zona merah Covid-19, terutama DKI Jakarta dan Bali. Di satu sisi, kedua daerah itu harus membiayai program bantuan sosial yang tinggi karena paling rentan. Namun, di sisi lain, PAD tergerus signifikan karena kegiatan ekonomi menurun.
Robert mencontohkan, secara regulasi, DKI Jakarta tidak diizinkan memperoleh DAU karena kapasitas dan kebutuhan fiskalnya seimbang. Namun, DKI kekurangan dana untuk penanganan Covid-19, terutama untuk kesehatan dan bantuan sosial. ”Jangan terkungkung aturan-aturan yang rigid karena anggaran dibutuhkan segera untuk kepentingan kemanusiaan,” kata Robert.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu Astera Primanto Bakti mengatakan, transfer ke daerah dilakukan dengan mempertimbangkan kapasitas fiskal daerah. Kapasitas fiskal daerah dilihat berdasarkan evaluasi terhadap realokasi dan refokus APBD untuk penanganan Covid-19.
Transfer ke daerah dilakukan dengan mempertimbangkan kapasitas fiskal daerah.
Berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan Nomor 119 Tahun 2020, pemerintah daerah harus menyesuaikan postur APBD 2020 di tengah pandemi Covid-19. Belanja yang kurang mendesak harus direalokasi untuk sektor kesehatan, jaring pengaman sosial, dan penguatan sektor ekonomi terdampak.
Dipercepat
Kemenkeu mempercepat pembayaran DBH terutang tahun 2019 untuk membantu keuangan daerah. Kurang bayar DBH seharusnya dibayarkan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah pascaaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sekitar bulan Agustus. Namun, kini 50 persen DBH dibayarkan ke setiap daerah sebelum audit BPK keluar.
Alokasi anggaran kurang bayar DBH mencapai Rp 14,71 triliun untuk 542 daerah.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, percepatan pembayaran DBH terutang untuk membantu pemerintah daerah dalam merealokasi anggaran penanganan Covid-19. DBH diharapkan dapat menambah penerimaan daerah untuk belanja kesehatan, bantuan sosial, dan penyelamatan usaha mikro, kecil, dan menengah. (KRN)