Inflasi Rendah Patut Diwaspadai sebab Cerminkan Pelemahan Daya Beli
Biasanya pada Ramadhan dan Idul Fitri selalu ada kenaikan inflasi karena permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa meningkat. Namun, tahun ini memang situasi tak biasa akibat pandemi Covid-19, pola inflasi berubah.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rendahnya inflasi pada April 2020 sebesar 0,08 persen pada bulan Ramadhan perlu diwaspadai. Hal itu karena inflasi tersebut antara lain dipicu melemahnya daya beli masyarakat dan penurunan permintaan.
Berdasarkan pantauan Badan Pusat Statistik (BPS) di 90 kota, inflasi April 2020 sebesar 0,08 persen. Inflasi tahun kalender (Januari-April 2020) tercatat 0,84 persen dan inflasi tahunan 2,67 persen. Adapun inflasi inti April 0,17 persen atau tumbuh 2,85 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dari 90 kota yang dipantau, sebanyak 39 kota mengalami inflasi, sedangkan 51 kota mengalami deflasi.
Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto menyebutkan, pergerakan inflasi bulan April 2020 melambat jika dibandingkan dengan pola-pola tahun sebelumnya. Pada Ramadhan 2019 yang berlangsung pada Mei, inflasinya sebesar 0,68 persen.
”Pola ini tidak biasa. Biasanya bulan Ramadhan dan Idul Fitri selalu ada kenaikan inflasi karena permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa meningkat, tetapi tahun ini memang situasi tidak biasa akibat pandemi Covid-19, pola inflasi berubah,” katanya dalam konferensi virtual di Jakarta, Senin (4/5/2020).
Biasanya bulan Ramadhan dan Idul Fitri selalu ada kenaikan inflasi karena permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa meningkat, tetapi tahun ini memang situasi tidak biasa akibat pandemi Covid-19, pola inflasi berubah.
Dari kelompok pengeluaran, penyebab utama inflasi April 2020 adalah naiknya harga bawang merah dengan andil inflasi 0.08 persen, emas perhiasan (0,06 persen), dan gula pasir (0,02 persen). Sementara komoditas yang mengalami penurunan harga sehingga memengaruhi deflasi adalah cabai merah dengan andil deflasi -0,08 persen, tarif angkutan udara (-0,05 persen), daging ayam ras (-0,05 persen), dan bawang putih (-0,02 persen).
Suhariyanto menilai, melambatnya inflasi bulan April 2020 disebabkan beberapa faktor, yakni penurunan inflasi inti yang disebabkan pelemahan daya beli rumah tangga, penurunan permintaan barang dan jasa dari masyarakat karena implementasi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di sejumlah wilayah. Selain itu, juga terjaganya pasokan pangan.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif CORE Mohammad Faisal mengemukakan, permintaan yang turun di segala sektor sangat erat berkaitan dengan penurunan daya beli. Selama pandemi Covid-19, penghasilan masyarakat menurun, bahkan kehilangan mata pencarian, sehingga daya beli anjlok, terutama masyarakat kelas menengah ke bawah.
Selama pandemi Covid-19, penghasilan masyarakat menurun, bahkan kehilangan mata pencarian, sehingga daya beli anjlok, terutama masyarakat kelas menengah ke bawah.
Saat ini, permintaan bahan pangan masih sedikit tertolong karena dorongan bulan Ramadhan. Akan tetapi, dorongan hanya untuk permintaan kebutuhan pokok, sedangkan komponen inflasi beragam. Hampir semua komponen di luar bahan pangan mengalami penurunan permintaan.
”Faktor penurunan permintaan berpengaruh besar terhadap (pelemahan) inflasi. Inflasi akan jauh lebih tidak biasa dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya,” kata Faisal.
Ia menambahkan, pelemahan inflasi diprediksi akan berlanjut. Permintaan anjlok untuk bahan pangan dipastikan diikuti penurunan lebih tajam untuk pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersier. Anjloknya permintaan perlu diwaspadai karena akan berimbas pada sisi produksi, yakni terjadi penurunan pesanan yang tidak menguntungkan sektor bisnis.
”Perputaran uang dan pertumbuhan ekonomi bisa mengalami kontraksi,” katanya.
Core memprediksi, kontraksi ekonomi berpeluang terjadi pada triwulan II (April-Juni) 2020. Hingga akhir 2020, kisaran pertumbuhan ekonomi diprediksi berkisar -2 hingga 2 persen. Indikatornya terlihat bahkan sejak awal 2020, yakni bisnis ritel yang menurun tajam. Dengan pandemi Covid-19, bisnis ritel mengalami kontraksi.
Sementara itu, kinerja industri manufaktur April 2020 berdasarkan indeks manajer pembelian (PMI) manufaktur terjun ke 27,5. Posisi ini merosot tajam dibandingkan dengan bulan Maret 2020 sebesar 43,5. Indeks PMI di bawah 50 sudah menunjukkan terjadi kontraksi ekonomi.
Belanja daring
Faisal menambahkan, kenaikan belanja secara dalam jaringan (daring) bisa turut mendorong permintaan meskipun didominasi oleh permintaan bahan pangan. Namun, permintaan barang yang naik terbatas pada segmen masyarakat menengah ke atas yang memiliki daya beli dan akses daring. Peningkatan pembelian daring tidak bisa mengimbangi penurunan pembelian secara total.
Pelemahan ekonomi harus disikapi dengan pemberian stimulus ekonomi dan bantuan. Dalam kondisi darurat, pemerintah harus mengalokasikan dana tunai kepada masyarakat menengah ke bawah yang paling terdampak pandemi Covid-19.
”Adapun pemberian stimulus ke dunia usaha diperlukan untuk bertahan. Sementara stimulus investasi dinilai tidak akan efektif di tengah pandemi Covid-19,” kata Faisal.
Hal senada dikemukakan peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, kontributor utama pertumbuhan ekonomi nasional adalah konsumsi rumah tangga. Daya beli masyarakat yang turun sedemikian kuat akan berdampak signifikan terhadap sisi produksi dan pertumbuhan ekonomi.
”Kalau konsumsi merosot, sudah bisa dipastikan pertumbuhan investasi (juga) akan turun. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan II-2020 dikhawatirkan anjlok,” katanya.
Pemerintah perlu berupaya melindungi daya beli 40 persen masyarakat pendapatan terbawah agar tidak semakin terpuruk melalui skema perlindungan sosial yang jelas dan transparan. Sebanyak 40 persen penduduk Indonesia dengan penghasilan terbawah terancam minus konsumsi jika daya beli kian tergerus, dan dikhawatirkan merembet ke masyarakat menengah ke bawah yang rentan miskin.