Swasembada Rumah Tangga Bisa Bantu Cegah Krisis Pangan
Krisis pangan yang dipicu pandemi Covid-19 belum belum sepenuhnya terjadi di Indonesia. Apa swasembada pangan di rumah bisa membantu masyarakat Indonesia menghindari sulitnya akses pangan?
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
Berbagai lembaga di dunia, seperti Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), memperingatkan ancaman krisis pangan di tengah pandemi Covid-19. Hal ini terjadi jika biaya produksi pertanian tetap tinggi, sementara distribusi dan penyerapan terhambat pembatasan sosial.
Pembatasan sosial membuat banyak hotel, restoran, dan warung kecil tutup sehingga menambah anjloknya permintaan hasil pertanian di tingkat petani. Badan Pusat Statistik (BPS), Senin (4/5/2020), melaporkan, nilai tukar petani yang menjadi indikator kesejahteraan mereka turun ke level 100,32.
Nilai yang membandingkan biaya produksi dan pendapatan petani itu terus menurun dari level 104,16 pada Januari 2020. Ini artinya pendapatan petani terus menurun mendekati pengeluaran hariannya. Petani yang dimaksud mencakup petani tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, peternak, dan nelayan.
Terhentinya aktivitas ekonomi juga berpengaruh pada daya beli konsumen. Menurunnya daya beli diperparah kenaikan harga komoditas pangan. BPS mencatat, pada April 2020, sejumlah bahan pangan mengalami inflasi, seperti kacang kedelai, bawang merah, jahe, minyak goreng, dan gula pasir.
Jika kondisi ini dibiarkan, prediksi Bank Dunia bahwa 40-60 juta masyarakat dunia, termasuk Indonesia, akan jatuh dalam kemiskinan ekstrem bisa saja terjadi.
Direktur Pelaksana Kebijakan Pembangunan dan Kemitraan Bank Dunia Mari Elka Pangestu baru-baru ini menulis, pengalaman krisis pangan 2007/2008 akibat restriksi ekspor di sepertiga negara di seluruh dunia menambah 150 juta masyarakat miskin.
Swasembada
Sementara pandemi menghambat akses dan daya beli masyarakat pada hasil pangan, pegiat Indonesia Berkebun, Winartania, mengajak masyarakat berkebun tanaman, termasuk sayuran, untuk memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga.
”Bisa mencoba menanam di rumah dengan tanaman simpel, mudah tapi bisa menghasilkan dan mencukupi kebutuhan pangan di rumah,” kata Winartania dalam konferensi video yang bertema ”Urban Farming Saat Pandemi Covid-19” yang diadakan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Kantor Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta, hari ini.
Ia menyarankan masyarakat menanam tanaman sayuran atau kebutuhan dapur yang disuka atau banyak dikonsumsi warga di sekitar. Ia pun merekomendasikan tanaman kangkung, bayam, pepaya jepang, cabe, tomat, dan juga tanaman herbal, seperti basil dan kemangi.
Alternatif memenuhi kebutuhan pangan ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan ruang terbatas di rumah. Paparan sinar matahari yang cukup, sekitar enam jam, lebih diperlukan untuk proses tumbuh kembang tanaman sayuran. Selain itu, nutrisi pada media tanam juga perlu dipastikan dengan menambah pupuk yang dibeli sendiri atau memanfaatkan sampah organik.
Jika ruang terbatas di rumah, warga tetap dapat berkebun dengan membuat pertanian vertikal dengan instalasi hidroponik dengan sistem tetes, dan berkebun di atap. ”Kita bisa menanam ke atas vertikal, tidak perlu lahan yang luas tapi bisa menanam ke atas, bisa di tanam di dinding,” katanya.
Praktisi berkebun di Jakarta, Sita Pujianto, yang dihubungi Kompas, beberapa waktu lalu, mengatakan, jika digarap optimal, kebun di rumah bisa memenuhi setidaknya 30 persen kebutuhan pangan rumah tangga.
”Ini tergantung pola makan. Vegetarian bisa saja memenuhi 100 persen kebutuhan makanannya dari tanaman di kebun rumah. Tapi, setidaknya 30 persen bisa terpenuhi,” katanya.
Belum menopang
Wakil Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bustanul Arifin menilai upaya swasembada pangan di rumah tangga bisa membantu menambah produksi pangan.
Sebagai contoh produksi cabai rawit yang ia perkirakan turun pada Juli-Agustus 2020. Potensi kenaikan harga bisa dicegah dengan alternatif pemanfaatan pekarangan skala rumah tangga.
”Setiap orang bisa menjadi produsen pangan secara subsistem. Produksi sendiri, dimakan sendiri. Mungkin hal itu akan berkembang di beberapa daerah perdesaan atau di perkotaan bagi mereka yang memang hobi berkebun,” katanya, yang dihubungi terpisah.
Sayangnya, gerakan swasembada secara mandiri oleh rumah tangga belum dilakukan secara massal dan menjadi sebuah sistem pertanian baru di Indonesia. Kajiannya pada program Tim Pengendalian Inflasi Daerah, seperti program tanam-cabai oleh pegawai negeri sipil di daerah dan Kawasan Rumah Pangan Lestari, dilihatnya belum mampu mengendalikan harga komoditas.
”Kecuali, hal itu dilaksanakan secara komersial dan mengikuti prinsip-prinsip ekonomi, saya bisa optimistis,” ujarnya.
Oleh karena itu, potensi krisis pangan perlu lebih dicegah dengan solusi kebijakan pemerintah. Bantuan sosial bagi pelaku usaha pertanian dan masyarakat selaku konsumen diperlukan untuk memperbaiki sistem bisnis pertanian.
Begitu juga dengan sistem logistik dan transportasi untuk distribusi pangan. Kemudian mekanisme penyederhanaan impor dan stabilisasi harga antarmusim. Dengan demikian, krisis pangan yang belum sepenuhnya terjadi di Indonesia tidak akan memperparah dampak sosial-ekonomi negara.