Pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar di Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik di Jawa Timur belum mampu meredakan wabah penyakit akibat virus korona jenis baru atau coronavirus disease 2019 (Covid-19).
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB di Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik di Jawa Timur belum mampu meredakan wabah penyakit akibat virus korona jenis baru atau coronavirus disease 2019 (Covid-19).
Secara khusus, di Surabaya, kenaikan kasus harian tetap tinggi. Kurun 11 hari pelaksanaan PSBB di Surabaya, rerata harian penambahan kasus baru mencapai 20 kasus.
PSBB berlaku sejak Selasa (28/4/2020) sampai dengan Senin (11/5/2020). Dengan demikian, pemberlakuan salah satu upaya pelambatan penularan wabah virus korona tersisa tiga hari. Namun, pagebluk tidak melamban, apalagi turun. Kenaikan jumlah pasien positif Covid-19 di Surabaya begitu drastis setelah munculnya kluster PT HM Sampoerna dan kluster pasar tradisional.
Kemunculan kluster baru berarti timbul risiko baru penularan yang memerlukan upaya ekstra dalam penelusuran sekaligus penanganannya. (Kohar Hari Santoso)
Data sehari sebelum PSBB atau Senin (27/4/2020), di Surabaya tercatat 372 warga positif Covid-19 yang 51 jiwa di antaranya meninggal dan 73 orang dinyatakan sembuh. Situasi pada Jumat (8/5/2020) atau hari ke-11 PSBB, di Surabaya tercatat 592 warga positif yang 78 orang di antaranya meninggal dan 91 orang dinyatakan sembuh.
Dengan kata lain, dalam 11 hari ada peningkatan 220 kasus atau rerata harian 20 kasus baru. Untuk jiwa yang meninggal, terjadi kenaikan 27 orang atau rerata harian 2-3 pasien Covid-19 yang merupakan warga ibu kota Jatim ini meninggal.
Wabah virus korona di Jatim pertama kali diumumkan pada Selasa (17/3/2020). Waktu itu, diketahui virus korona menjangkiti 6 warga Surabaya dan 2 warga Malang (kota dan kabupaten). Sejak pengumuman sampai dengan saat ini, Surabaya tetap menjadi episentrum atau wilayah terparah akibat wabah virus korona.
Wakil Gubernur Jatim Emil Elestianto Dardak mengatakan, masih terlalu dini menilai hasil PSBB secara epidemiologi. Data memperlihatkan kenaikan kasus, tetapi belum bisa diklaim bahwa pemberlakuan PSBB Surabaya Raya gagal.
Data sebelum PSBB, di Jatim tercatat 796 warga positif dengan rincian 89 jiwa meninggal, 563 pasien dirawat, dan 144 orang dinyatakan sembuh. Situasi pada Jumat ini, ada 1.265 warga positif dengan rincian 137 jiwa meninggal, 918 pasien dirawat, dan 210 warga dinyatakan sembuh. Data jelas memperlihatkan, di wilayah provinsi berpenduduk 40 juta jiwa ini, wabah tidak mereda.
Berjeda waktu
Emil mengatakan, data yang diumumkan tidak menggambarkan kondisi riil terkini. Gejala dan penularan setiap orang berjeda waktu. ”Ada jeda waktu antara pemberlakuan pembatasan sosial dan dampak epidemiologi,” katanya. Untuk itu, masih terlalu dini jika disimpulkan PSBB Surabaya Raya gagal atau tidak berdampak terhadap penanganan wabah.
Ketua Gugus Tracing Satuan Tugas Covid-19 Jatim Kohar Hari Santoso mengatakan, peningkatan kasus di Jatim terus terjadi terkait dengan kemunculan kluster-kluster penularan baru. Kluster itu antara lain pabrik rokok di Surabaya dan Tulungagung serta pondok pesantren di Magetan. Kemunculan gugus baru menambah signifikansi kasus secara umum. Setiap kluster bisa menambah lebih dari 100 kasus baru.
”Kemunculan kluster baru berarti timbul risiko baru penularan yang memerlukan upaya ekstra dalam penelusuran sekaligus penanganannya,” kata Kohar, Direktur RSUD Dr Saiful Anwar, Malang, satu dari tiga RS rujukan utama di Jatim untuk penanganan pasien Covid-19. Dua lainnya adalah RSUD dr Soetomo, Surabaya, dan RSUD Dr Soedono, Madiun.
Ketua Gugus Kuratif Satgas Covid-19 Jatim Joni Wahyuhadi mengatakan, penambahan kasus berkonsekuensi terhadap ketersediaan ruang perawatan dan isolasi bagi pasien. Hotel, gedung, atau bangunan besar lainnya sudah banyak yang terpaksa dialihfungsikan untuk tempat karantina, isolasi, bahkan penanganan pasien.
Anggota Tim Kajian Epidemiologi Universitas Airlangga, Surabaya, Windhu Purnomo, menilai, efektivitas PSBB belum bisa dinilai dari pemberlakuan selama dua pekan. Penilaian bisa didapat jika jangka waktu PSBB ditambah dua pekan lagi atau digenapi menjadi 30 hari.
Menurut Windhu, pola penularan Covid-19 secara global lebih dari dua minggu. Tak sampai 30 persen warga positif Covid-19 memiliki masa penularan 14 hari. Selebihnya, pasien yang bergejala dan tidak bergejala bisa menularkan virus korona dalam masa 21-30 hari. ”Dengan begitu, penurunan atau perlambatan belum bisa terlihat dalam dua pekan,” katanya.
Windhu menyarankan, PSBB Surabaya diperpanjang dua pekan. Jika dilaksanakan, pemberlakuannya perlu lebih tegas, termasuk sanksi terhadap pelanggar aturan PSBB. Wabah diyakini bisa diredakan dengan mencegah penularan antarindividu.
Pemakaian masker, menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat, jaga jarak, pembatasan aktivitas, karantina, dan asupan bergizi dan bervitamin merupakan upaya yang patut dijalankan secara simultan oleh publik.