Akibat Covid-19, upaya penyaluran bansos tunai untuk menjaga daya beli warga masih terhambat. Hingga Mei, realisasi masih minimalis. Presiden Jokowi pun minta dipercepat, tetapi data terpadu di daerah belum di-”update”.
Oleh
FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyaluran bantuan sosial tunai dari pemerintah guna menjaga daya beli masyarakat bawah berlangsung sangat lambat. Hingga pertengahan Mei, realisasinya masih minimalis. Perlu percepatan penyaluran dana bansos, mengingat warga terdampak Covid-19 saat ini sangat membutuhkan.
”Sampai saat ini saya melihat di masyarakat masih terjadi riuh rendah karena tidak mendapatkan BLT (bantuan langsung tunai) desa dan bansos tunai. Perlu saya sampaikan bahwa sampai hari ini, BLT desa yang tersalurkan ke masyarakat baru 15 persen. Artinya, masih ada 85 persen yang belum diterima oleh masyarakat. Kemudian juga untuk bansos tunai ini baru lebih kurang 25 persen yang diterima oleh masyarakat sehingga masih ada 75 persen yang belum diterima,” kata Presiden Joko Widodo, di Istana Bogor, Jawa Barat, Sabtu (16/5/2020), sebagaimana dikutip dari siaran pers Sekretariat Presiden.
Bantuan sosial tunai (BST) dan BLT desa adalah bagian dari program jaring pengaman sosial menanggulangi krisis Covid-19. Kedua bantuan ini berupa transfer senilai Rp 600.000 per bulan per keluarga sasaran selama tiga bulan berturut-turut.
Sampai saat ini saya melihat di masyarakat masih terjadi riuh rendah karena tidak mendapatkan BLT (bantuan langsung tunai) desa dan bansos tunai. Perlu saya sampaikan bahwa sampai hari ini, BLT desa yang tersalurkan ke masyarakat baru 15 persen. Artinya, masih ada 85 persen yang belum diterima.
Guna mengatasi lambatnya penyaluran BST dan BLat Desa, Presiden Jokowi pada Sabtu pagi langsung memerintahkan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Menteri Sosial Juliari P Batubara, serta Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar untuk segera mengambil langkah yang diperlukan. Salah satunya menyederhanakan prosedur penyaluran bantuan sosial.
”Dengan cara menyederhanakan prosedurnya, memotong prosedurnya, sehingga masyarakat segera menerima bantuan sosial ini, baik itu BLT desa maupun bansos tunai. Masyarakat saya harapkan juga menanyakan terus kepada RT, RW, atau kepala desa,” kata Presiden Jokowi.
Sementara itu, Menteri Sosial Juliari P Batubara mengakui, salah satu penyebab keterlambatan penyaluran bansos di antaranya karena data terpadu dari daerah banyak yang belum diperbarui dan masih lama sehingga masih harus di-update kembali sebelum bansos benar-benar disalurkan. ”Datanya ada di KPK, silakan ditanyakan di KPK,” ujar Juliari saat dihubungi Kompas, sore tadi.
Desain penyaluran dinilai rumit
Anggota Ombudsman, Alamsyah Saragih, yang dihubungi di tempat terpisah, menilai, desain kebijakan penanggulangan Covid-19 rumit. Alasannya, sebagian besar program adalah program reguler yang ditambah skalanya, bukan berangkat dari kebutuhan konkret di lapangan. Akibatnya, program banyak dan daya ungkitnya kecil-kecil sehingga efek penanggulangan Covid-19 tidak akan efektif.
”Sekarang programnya rumit sehingga akuntabilitasnya juga rumit. Akibatnya, outcome-nya bisa saja tidak akan tercapai,” kata Alamsyah memprediksi.
Sebaiknya, ujar Alamsyah, merekomendasikan berbagai program penanggulangan Covid-19 dilebur menjadi skema yang lebih sederhana dengan arus utama adalah transfer tunai ke keluarga miskin dan rentan miskin. Targetnya adalah membuat kelompok masyarakat tersebut tinggal di rumah sehingga kurva penyebaran kasus Covid-19 secepatnya turun.
”Kuncinya adalah melebur atau mengonsolidasikan berbagai program yang kecil-kecil ke dalam skema yang lebih sederhana, tetapi memberikan dampak yang lebih besar kepada masyarakat dan dunia usaha. Ini soal kemauan politik sebenarnya. Tentu tantangannya adalah tiap-tiap kementerian dan lembaga negara yang cenderung mempertahankan program-program regulernya,” kata Alamsyah.
Guna mengatasi dampak sosial-ekonomi akibat krisis Covid-19, pemerintah telah menetapkan program jaring pengaman sosial untuk masyarakat miskin dan rentan miskin di kota dan desa. Total anggaran yang dialokasikan mencapai Rp 482,5 triliun. Jumlah ini terdiri dari Rp 372,5 triliun anggaran yang telah dialokasikan dalam APBN 2020 dan Rp 110 triliun anggaran hasil realokasi program lain.
Kuncinya adalah melebur atau mengonsolidasikan berbagai program yang kecil-kecil ke dalam skema yang lebih sederhana, tetapi memberikan dampak yang lebih besar kepada masyarakat dan dunia usaha. Ini soal kemauan politik sebenarnya. Tentu tantangannya adalah tiap-tiap kementerian dan lembaga negara yang cenderung mempertahankan program-program regulernya.
Untuk beberapa program reguler, pemerintah menambah nilainya berikut jumlah penerimanya pada tahun ini. Misalnya adalah Program Keluarga Harapan (PKH) dan bantuan pangan nontunai. Untuk PKH nilainya ditingkatkan 25 persen dan sasarannya ditambah dari 9,2 juta keluarga menjadi 10 juta keluarga. Total anggarannya Rp 37,4 triliun.
Sementara untuk bantuan pangan nontunai sasarannya ditambah dari 15 juta keluarga menjadi 20 juta keluarga dengan nilai Rp 200.000 per bulan per orang. Total anggaran Rp 43,6 triliun. Sementara Kartu Prakerja disiapkan untuk 5,6 juta orang dengan insentif setelah pelatihan Rp 600.000 selama empat bulan. Total anggaran Rp 20 triliun.
Bantuan lainnya adalah menggratiskan listrik untuk pelanggan 450VA dan diskon 50 persen untuk pelanggan 900VA bersubsidi.