Keselamatan dan Kesehatan Penumpang, Tantangan Baru Bisnis Penerbangan
Perilaku penumpang angkutan udara berubah akibat pandemi Covid-19. Pelaku industri penerbangan dituntut menerapkan model bisnis baru yang mengedepankan visi menjaga keselamatan dan kesehatan manusia.
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 mengubah lanskap dunia usaha. Tak terkecuali industri penerbangan yang menjadi salah satu sektor bisnis yang paling terguncang oleh kebijakan pembatasan pergerakan orang dan perubahan perilaku konsumen. Pelaku industri dihadapkan pada tantangan baru yang tidak mudah, yakni model bisnis yang memuat visi keselamatan dan kesehatan penumpang.
Demikian salah satu poin yang mengemuka dalam seminar bertajuk ”Kolaborasi Merespons Dampak Pandemi Covid-19 dan Strategi Pemulihan pada Tatanan Normal Baru di Sektor Transportasi” yang digelar secara virtual, Selasa (2/6/2020).
Seminar diselenggarakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan Kementerian Perhubungan dan bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Direktur Inovasi dan Science Techno Park UI Ahmad Gamal menyatakan, Covid-19 telah menyebar di 34 provinsi di Indonesia dan membutuhkan penanganan serius. Khusus di sektor transportasi udara, ada setidaknya empat regulasi yang menjadi kerangka pembatasan sosial berskala besar (PSBB) terkait upaya mencegah penularan virus.
Akan tetapi, ada kendala dalam pelaksanaannya. ”Ada beberapa masalah teknis, kepatuhan, dan karakter penumpang yang menyebabkan pelaksanaan PSBB menjadi terkendala,” kata Ahmad.
Kendala teknis itu antara lain soal ruang tunggu dan dalam pesawat yang tidak memungkinkan melakukan anjuran jaga jarak. Di sisi kepatuhan, misalnya, penumpang sering kali tidak menjaga jarak di ruang tunggu, keluarga tidak mau duduk terpisah, berdesakan saat masuk dan keluar pesawat, pemalsuan surat kesehatan, dan tidak mengenakan masker. ”Kami melihat ada keterbatasan akses teknologi dan literasi tentang bahaya Covid-19. Ada juga permasalahan budaya,” kata Ahmad.
Ada pula penumpang yang menggunakan jasa penerbangan untuk mengurus keperluan selain yang sudah diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020, seperti mengurus sekolah anak, mudik, bahkan berlibur.
Terlepas dari semua permasalahan itu, kata Ahmad, PSBB sudah mengurangi jumlah penumpang dari hampir 1 juta orang pada periode I sebelum ada larangan mudik (1-23 April 2020) menjadi di bawah 100.000 penumpang di periode II awal pemberlakuan larangan mudik (antara 24 April dan 6 Mei 2020).
Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana situasi di periode III, yakni saat pemberlakuan perjalanan orang dengan pengecualian (7-28 Mei 2020) dan periode selanjutnya. ”Bagaimana cara kita tetap mendukung orang untuk bisa bepergian dengan transportasi udara tanpa meningkatkan risiko infeksi virus korona?” ujar Ahmad.
Sektor pariwisata dan industri, termasuk bisnis penerbangan atau sektor jasa angkutan udara, merupakan aktivitas ekonomi yang paling merasakan dampak Covid-19.
Secara global, merujuk data Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) tahun 2020, telah terjadi pengurangan kursi penumpang hingga 35 persen oleh berbagai maskapai penerbangan. ”Sudah terjadi pengurangan penumpang 800 juta orang lebih dari lalu lintas penumpang internasional. Potensi kerugiannya diperkirakan mencapai 150 miliar dollar AS lebih,” ujar Ahmad.
UI memprediksi akan ada perubahan perilaku pengguna angkutan udara yang dipengaruhi sikap terhadap perilaku, norma subyektif, dan kontrol terhadap tingkah laku yang dipersepsi. Perubahan perilaku itu, antara lain, mereka yang sebelum Covid-19 melakukan perjalanan secara reguler dengan angkutan udara hanya akan bertransportasi udara pada saat mendesak setelah Covid-19.
”Banyak yang sebelumnya menganggap penggunaan transportasi udara itu cepat, rasional, bergaya, membanggakan, memudahkan, dan aman. Dan sekarang kemudian akan mengasosiasikan penggunaan transportasi udara dengan tertular virus korona,” kata Ahmad.
Dia menuturkan, pemulihan kepercayaan pelanggan membutuhkan waktu. Upaya pemulihan dimungkinkan apabila ada skenario pemulihan permintaan dan skenario struktur pasar.
”Terkait strategi bisnis penerbangan dalam normal baru mungkin bisa dilakukan optimalisasi atau restrukturisasi jaringan dan armada,” kata Ahmad.
Strategi lainnya adalah transformasi strategi menyeluruh dari maskapai penerbangan, aktivitas merger dan akuisisi, restrukturisasi keuangan, aktivitas industri yang lebih luas lagi. ”Juga visi bisnis baru maskapai penerbangan dalam menghadapi normal baru,” ujarnya.
UI memberikan catatan bahwa semua hal itu hanya dapat dilakukan dengan mengutamakan keselamatan manusia melalui penerapan standar kesehatan yang ketat. ”Kami merekomendasikan ada kesepakatan, dalam bentuk dokumen, oleh semua pemangku kebijakan terkait standar kesehatan prasarana dan sarana transportasi udara,” kata Ahmad.
Rekomendasi berikutnya, antara lain, melalui modifikasi alur penumpang untuk mengurangi kepadatan penumpang sebelum terbang. Verifikasi penyaringan kesehatan terkait Covid-19 untuk kru dan penumpang disarankan sebelum mereka datang ke bandara. Standar kesehatan pun perlu dibuat secara terperinci.
Terdampak
Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Irfan Setiaputra mengatakan, industri penerbangan adalah yang pertama terdampak Covid-19. Hal ini karena mobilitas, sebagai bagian fundamental industri penerbangan, sangat dibatasi di tengah pandemi Covid-19. Dampak di sektor ini berpengaruh ke bidang lain, termasuk pariwisata, hotel, restoran, dan lainnya. Bali, Manado, dan Bintan bisa menjadi contoh daerah yang terdampak ketika China pertama kali terimbas Covid-19.
”Garuda sendiri, saya pikir enggak unik dibandingkan maskapai lain, pendapatan kami menurun hampir di level 90 persen. Pesawat kami 70 persen parkir. Mayoritas penerbangan itu load factor-nya ada di bawah 50 persen,” ujar Irfan.
Lebih berat lagi, industri penerbangan adalah industri padat modal dengan margin digit tunggal. Begitu ada ”goyangan” seperti saat ini, industri terdampak. Namun, beda dengan maskapai lain yang berhenti operasi untuk sementara, Garuda Indonesia tidak demikian. Garuda adalah national flag carrier yang memiliki mandat untuk memastikan konektivitas dan menyambungkan antarbangsa.
”Oleh karena itu, dari pertama diumumkan ada Covid-19 di Indonesia, Garuda tetap terbang dan melayani rute-rute yang selama ini dilayani, baik itu Amsterdam, Australia, Jepang, Hong Kong, Korea (Selatan), dan negara lain. Termasuk kota-kota di Indonesia,” kata Irfan.
Frekuensi penerbangan disesuaikan dinamika perkembangan tingkat keterisian di rute-rute tersebut. Situasi Covid-19 membuka peluang bagi pelaku industri penerbangan untuk memahami perilaku pelanggan.
Menurut Irfan, riset kecil terhadap pelanggan menunjukkan mayoritas pelanggan berkeinginan untuk pergi. Namun, 65 persen responden menyatakan dalam posisi menunggu dan melihat perkembangan situasi sampai mereka merasa aman dan nyaman bepergian.
”Dulu interpretasi terhadap kata ’aman’ adalah apakah pesawat jatuh atau tidak. Namun, hari ini kami mesti memastikan, khususnya kepada pelanggan Garuda, bahwa mereka yakin tidak akan tertular dan dan tidak akan menularkan,” kata Irfan.
Staf ahli Indonesia National Air Carrier Association (INACA), Dharmadi, menambahkan, kehidupan normal baru tergantung bagaimana semua pihak melihat secara ekonomi, kesehatan, dan teknologi.