Pengelola angkutan umum akan menghadapi masalah terkait penerapan protokol kesehatan di era normal baru. Kapasitasnya tak akan cukup dengan pembatasan jumlah penumpang. Pengaturan sisi permintaan jadi kunci.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Transportasi umum di perkotaan akan menghadapi masalah ketika kapasitasnya tidak mampu mengimbangi jumlah penumpang yang harus dilayani dengan protokol kesehatan di tengah pandemi Covid-19. Pengaturan di sisi permintaan dinilai menjadi salah satu cara menyikapi permasalahan tersebut.
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno berpendapat, sumber permasalahan transportasi umum di perkotaan berkaitan dengan jumlah permintaan. Apabila mengikuti protokol kesehatan, kapasitas maksimal transportasi umum di perkotaan harus dibatasi, tidak bisa sepenuh seperti saat sebelum pandemi Covid-19.
”Ini soal pasokan dan permintaan,” kata Djoko dalam diskusi publik MTI bertema ”Evaluasi Mudik di Masa Pandemik dan Normal Baru di Bidang Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas”, Sabtu (6/6/2020).
Menurut Djoko, permintaan harus diatur ketika pasokan sudah tidak mencukupi, antara lain akibat pembatasan maksimal kapasitas transportasi umum demi memenuhi protokol kesehatan.
Ketua Umum Organisasi Angkutan Darat (Organda) Adrianto Djokosoetono mengatakan, Organda mengusulkan jumlah angkutan umum diperbanyak agar penumpang dapat tetap naik dengan tetap memenuhi prinsip jaga jarak yang aman sesuai protokol kesehatan.
Menurut Adrianto, kebijakan transportasi dan penerapannya harus menjamin masyarakat percaya bahwa kapasitas transportasi umum yang ada mampu menjaga pemenuhan jarak aman tersebut, minimal dalam masa transisi PSBB saat ini. ”Kami usul jumlah angkutan, contohnya bus, diperbanyak. Jumlah bus ditambah, tetapi jumlah penumpang dibatasi,” ujarnya.
Organda mengusulkan jumlah angkutan umum diperbanyak agar penumpang dapat tetap naik dengan tetap memenuhi prinsip jaga jarak.
Menurut Adrianto, kapasitas yang dimiliki anggota Organda akan cukup mengisi kebutuhan untuk penambahan tersebut. Dia mencontohkan, saat ini cukup banyak bus pariwisata yang tidak beroperasi di tengah pandemi Covid-19 dan dapat dialihfungsikan.
”Kami belum melihat pariwisata akan bangkit dalam enam bulan ke depan. Kenapa kita tidak menggunakan bus ini untuk mengangkut kebutuhan dalam kota atau antarkota yang memerlukan kapasitas ekstra?” kata Adrianto.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi Deddy Herlambang mengatakan akan ada kebutuhan jumlah sarana dua kali lipat apabila jumlah penumpang tetap, sementara kapasitas angkutan umum dibatasi maksimal 50 persen demi mematuhi anjuran jaga jarak.
Terkait hal itu, terbuka pula peluang rekayasa nonteknis untuk menghindarkan penumpukan penumpang angkutan massal, terutama pada jam sibuk saat berangkat dan pulang kerja. Salah satu caranya, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 meminta para kepala daerah membagi tiga kelompok pekerja, baik pegawai negeri sipil maupun swasta.
Misalnya, kelompok pertama masuk kerja pukul 07.00, kelompok kedua masuk kerja pukul 08.00, dan kelompok ketiga masuk kerja pukul 09.00. ”Waktu pulang tiap kelompok pekerja disesuaikan dengan jam masuk kerja tersebut,” kata Deddy.
Terkait pencegahan penyebaran Covid-19, penyesuaian sistem kerja pun dilakukan di kantor pemerintah. Di lingkungan Kementerian Perindustrian, misalnya, hal ini diatur melalui Surat Edaran Menteri Perindustrian Nomor 10 Tahun 2020.
Penyesuaian sistem kerja pegawai di Kementerian Perindustrian antara lain diwujudkan dengan mengatur pejabat eselon I, II, III, dan kepala unit pelaksana teknis bekerja dari kantor. Sebanyak 50 persen pegawai bekerja dari rumah dan 50 persen lainnya bekerja dari kantor. Semua pegawai wajib memperhatikan protokol kesehatan.