Pembatasan pergerakan masyarakat di tengah pandemi Covid-19 berdampak serius terhadap sektor pangan. Stimulus yang tepat diperlukan untuk menyelamatkan petani.
Oleh
M Paschalia Judith J/Aris Prasetyo
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah indikator ekonomi pertanian, seperti penyerapan tenaga kerja, hasil produksi, dan pendapatan rumah tangga petani, menunjukkan kecenderungan yang bersifat negatif seiring dengan pembatasan pergerakan masyarakat di tengah pandemi. Kajian sejumlah peneliti IPB University soal dampak pandemi Covid-19 terhadap ekonomi pangan menunjukkan gejala itu.
Tim peneliti, yakni Widyastutik, R Dikky Indrawan, Syarifah Amaliah, dan Heti Mulyati, menggunakan pendekatan computable general equlibrium (CGE) recursive dynamic. Mereka menyampaikan empat skenario, yaitu skenario berat, sangat berat, sangat berat dengan dampak pesimistis dari pemberian stimulus ekonomi, dan sangat berat dengan dampak optimistis dari pemberian stimulus ekonomi.
Hasil simulasi mengungkapkan, ada guncangan di sisi penawaran dan permintaan yang mencakup sektor pertanian, manufaktur dan jasa, stimulus jaring pengaman sosial, risiko iklim ekstrem, dan fenomena ruralisasi (perpindahan penduduk dari kota ke desa).
Lebih jauh, hasil simulasi menunjukkan potensi penurunan ekonomi yang cukup berat dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya. Kebijakan memprioritaskan logistik bahan pangan sangat mendesak selain jaminan ketersediaan input pertanian, seperti pupuk, obat-obatan, dan sarana pertanian.
Penelitian itu menyebutkan, hasil produksi padi bisa negatif 4,92-10,4 persen akibat pandemi Covid-19 dalam skenario tanpa stimulus. Apabila ada stimulus, hasil produksi dapat tertahan di posisi negatif 2,84 persen hingga negatif 2,86 persen.
Dari sisi sumber daya manusia yang berorientasi pada komoditas padi, penurunan penyerapan tenaga kerja dapat mencapai 7,89-17,78 persen tanpa stimulus. Sebaliknya, kehadiran stimulus dapat menumbuhkan penyerapan tenaga kerja 3,05-7,75 persen.
Stimulus di perdesaan
Stimulus juga berpengaruh pada aspek pendapatan rumah tangga buruh tani dan pengusaha pertanian di perdesaan. Tanpa stimulus, pendapatan rumah tangga kelompok masyarakat itu bisa turun 5,67-10,55 persen. Dengan stimulus yang tepat, penurunan pendapatan maksimal 3,9 persen, bahkan bisa tumbuh 0,63 persen.
Dalam riset itu, tim peneliti menyebutkan, stimulus ekonomi di perdesaan sangat krusial untuk menyelamatkan sektor pertanian, khususnya pangan. Stimulus ekonomi dari pemerintah bisa berupa bantuan sosial yang ditujukan khusus bagi masyarakat di perdesaan.
Selain berperan dalam memenuhi kebutuhan akhir rumah tangga, sektor pangan juga menjadi masukan (input) atau hulu bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang bergerak di bidang makanan olahan.
Kebijakan memprioritaskan logistik bahan pangan dinilai sangat mendesak selain jaminan ketersediaan input pertanian, seperti pupuk, obat-obatan, dan sarana pertanian.
Rektor IPB University Arif Satria menilai, kebijakan pemerintah mesti berbasis sains dan penelitian agar akurat, tepat, efektif, dan bisa jadi solusi atas problem masyarakat. ”Efektivitas stimulus ekonomi akan menjadi kunci sejauh mana Indonesia dapat pulih atau tidak dari krisis ini,” ujarnya.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa, yang turut hadir dalam pemaparan riset pekan lalu, menyatakan, kebijakan stimulus diberikan untuk mengurangi dampak ekonomi, terutama kepada kelompok rentan dan dunia usaha, agar tidak bangkrut dan kehilangan kesejahteraan yang berdampak kepada masyarakat.