Sejak Januari 2020-15 Juni 2020, Nusa Tenggara Timur telah mengirim 26.692 ternak ke luar daerah. Jumlah 30 pengusaha ternak, sisa sekitar 15 pengusaha yang aktif mengantarpulaukan ternak.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Sejak Januari 2020-15 Juni 2020, Nusa Tenggara Timur telah mengirim 26.692 ternak ke luar daerah. Jumlah 30 pengusaha ternak, sisa sekitar 15 pengusaha yang aktif mengantarpulaukan ternak. Sejumlah peraturan Pemprov NTT dinilai membebani peternak. Pemda harus bangun pakan ternak untuk menaikkan bobot ternak di NTT.
Kepala Bidang Agrobisnis Dinas Peternakan Nusa Tenggara Timur (NTT) Tay Renggi di Kupang, Selasa (16/6/2020), mengatakan tidak ada penghentian pengiriman ternak sapi dari NTT ke luar daerah selama masa pandemi Covid-19. Pengiriman ternak tidak butuh pekerja dalam jumlah besar, tetapi hanya 2-3 orang.
Menurut Renggi, jumlah ternak sapi yang telah terkirim 25.505 ekor ke DKI Jakarta, Banjarmasin, dan Pontianak. Kerbau sebanyak 684 ke Toraja, Sulawesi Selatan, dan 503 kuda ke Jeneponto, Sulawesi Selatan. Total ternak yang telah dikirim dari NTT 26.692 ekor. ”Kuda dan kerbau diangkut dari Pulau Sumba dan bagian utara Pulau Flores, sementara ternak sapi sebagian besar dari Pulau Timor, Pulau Sumba, dan sebagian kecil dari Flores,” katanya.
Selama ini tidak ada masalah dalam pengiriman ternak terkait penyebaran Covid-19 ini. Kleder yang bertugas menjaga dan merawat sapi selama perjalanan di dalam kapal ternak Camara Nusantara pun tetap bekerja seperti biasa. Dari Kupang sampai Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, atau pelabuhan lain, mereka tidak pernah turun di pelabuhan itu. Setelah menurunkan ternak, mereka langsung pulang ke Kupang.
Ia mengatakan, kuota pengiriman ternak dari NTT keluar daerah sebanyak 54.000 ekor. Sementara populasi ternak sapi di NTT 1.036.000 ekor, kuda 60.000 ekor, dan kerbau 300.000 ekor. Meski jumlah ternak cukup memadai, pengiriman ke luar NTT hanya 54.000 ekor karena menjaga stok ternak di NTT.
Baca juga: Program Asuransi Ternak di NTT Belum Optimal
Jenis ternak yang dikirim pun sebagian besar ternak jantan, 10 persen jenis betina yang tidak berproduktif lagi. Ternak betina usia produktif, sesuai Perda NTT, tidak boleh dipotong atau dijual keluar daerah. Pemprov menjaga agar stok ternak di tangan petani tetap terjaga sehingga tidak terjadi kekosongan.
Ketua Himpunan Pedagang Peternakan Sapi dan Kerbau NTT Dicky Budianto mengatakan, jumlah pengusaha ternak di NTT sekitar 30 orang, tetapi yang aktif melakukan jual-beli ternak sekitar 15 orang. Pengusaha lain tidak terlibat karena kondisi pandemi Covid-19, dan sejumlah persyaratan yang diterbitkan Pemprov NTT dinilai membebani pengusaha ternak.
Semisal ada ketentuan harus ada tempat tampung sapi atau holding ground yang dimiliki pengusaha dengan luas areal 10-20 hektar untuk mengikat sekitar 500 ternak sapi di dalamnya. Dulu sapi-sapi hanya masuk karantina, sekarang harus ada penampungan khusus, untuk setiap pengusaha.
”Ketentuan lain harus ada ternak betina sebanyak 10 persen dari jumlah ternak yang dikirim, sementara sapi yang diperoleh pengusaha dari peternak sebagian besar jenis jantan,” kata Dicky.
Peraturan ini membuat sejumlah pengusaha merasa kesulitan sehingga berhenti beraktivitas. Selain itu, pandemi Covid-9 menyebabkan pengusaha NTT sulit bekerja sama dengan pengusaha ternak dari luar NTT, antara lain karena tidak ada penerbangan.
Masalah lain, soal harga sapi yang ditetapkan pemerintah, di tingkat petani Rp 34.000-Rp 35.000 per kg (hidup). Namun, di lapangan kebanyakan peternak lebih suka menjual langsung per ekor. Mereka menjual dengan harga Rp 34.000-Rp 35.000 per ekor jika sangat membutuhkan uang untuk biaya pendidikan anak, membangun rumah, dan urusan lain.
Peternak merasa rugi jika menjual per kilogram karena kebanyakan bobot sapi di bawah 250 kg pada musim kemarau seperti sekarang. Mereka langsung mematok, seekor sapi dengan bobot sekitar 175 kg seharga Rp 7 juta, atau 100 kg dihargai Rp 6 juta per ekor.
Persoalan yang dihadapii pengusaha ternak NTT, saat berhadapan dengan pengusaha dari luar, adalah mereka tetap mematok harga sesuai ketentuan pemerintah, bukan permintaan petani. ”Bisa saja karena kondisi ini, pemprov mewajibkan pengusaha harus memiliki holding ground untuk penggemukan sapi lagi. Rugi pengusaha,” katanya.
Kecuali pemerintah daerah menyediakan pakan ternak dalam jumlah memadai untuk kebutuhan ternak saat musim kemarau seperti sekarang. Pakan itu harus dijual dengan harga yang terjangkau sehingga tidak membebani petani.
Jika pakan cukup tersedia, bobot sapi bisa berkisar 250 kg-300 kg, bahkan sampai 1,2 ton per ekor, seperti jenis sapi limosin yang dikembangkan petani di Desa Manusak, Kabupaten Kupang.