Harga Lada dan Karet di Kalbar Cenderung Masih Rendah
Harga komoditas perkebunan rakyat, khususnya lada, di wilayah tertentu di Kalimantan Barat, masih relatif rendah. Untuk harga karet, masih berfluktuasi dan cenderung turun pada Juni.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·4 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Harga komoditas perkebunan rakyat, khususnya lada, di wilayah tertentu di Kalimantan Barat masih relatif rendah. Untuk harga karet, masih berfluktuasi dan cenderung turun pada Juni. Pemerintah pun diminta segera membenahi tata niaga komoditas tersebut, yang dinilai menjadi salah satu akar permasalahan.
Liset (50), petani lada di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kabupaten Sanggau, Kalbar, Rabu (24/6/2020), menuturkan, harga lada masih rendah. Pada 2015, harga lada hitam Rp 100.000 per kilogram, sekarang Rp 24.000 per kilogram. Adapun lada putih dari Rp 200.000 per kilogram pada 2015, sekarang Rp 43.000-Rp 44.000 per kilogram.
”Jika dibandingkan awal 2020, sebetulnya harga lada pada Juni agak naik. Pada Januari, lada hitam Rp 20.000 per kilogram. Kemudian, lada putih di awal tahun Rp 35.000-Rp 36.000 per kilogram. Namun, secara umum, harga masih rendah, tidak bisa menutup biaya perawatan,” kata Liset.
Untuk menyiasati itu, saya dan petani lainnya lebih banyak tidak menggunakan pupuk.
Liset memiliki sekitar 1.000 batang lada yang dipanen setahun sekali. Jika diolah jadi lada hitam, sekali panen pendapatan kotornya sekitar Rp 20 juta. Namun, itu tidak bisa menutupi biaya pemeliharaan yang terdiri dari biaya pestisida, pupuk, dan membayar tenaga kerja.
”Untuk menyiasati itu, saya dan petani lainnya lebih banyak tidak menggunakan pupuk. Kemudian, membersihkan lahan sendiri tidak mengajak orang lain seperti biasanya. Konsekuensinya, jika tidak dipupuk, produksi akan turun sekitar 50 persen,” ujarnya.
Menurut Liset, banyak kebun lada petani lainnya yang juga tidak dipupuk karena pertimbangan menekan ongkos produksi itu.
Lada hasil panen petani dijual ke penampung di kampung, kemudian diteruskan lagi ke penampung di Kecamatan Entikong. Meskipun harga masih rendah, petani tetap bertahan dengan komoditas tersebut. ”Mau bagaimana lagi, tidak ada lagi yang lain,” ujarnya.
Komoditas karet juga demikian. Sejak beberapa tahun terakhir, harganya berfluktuasi. Bahkan, kini kecenderungannya harga menurun. Petani karet dari Kabupaten Kapuas Hulu, Simu’ (40), menuturkan, harga karet hanya Rp 5.000 per kilogram pada Juni ini.
”Petani karet sulit beberapa tahun terakhir. Pernah awal tahun harga menyentuh Rp 6.000-Rp 7.000 per kilogram, tetapi tidak bertahan lama. Harga cenderung berfluktuasi. Meskipun harga masih rendah, karet tetap disadap karena salah satu penghasilan penting,” kata Simu’.
Berdasarkan pengamatan Kompas saat beberapa kali ke pedalaman, harga karet yang tak kunjung membaik membuat petani ada yang meninggalkan kebun karet. Kebun karet bahkan ada yang ditebang dan digantikan dengan komoditas lain.
Penurunan ekspor
Ketua Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Kalimantan Barat Jusdar Sutan menuturkan, industri saat ini menghadapi penurunan ekspor karet. Pada Mei 2019, ekspor karet sebanyak 20.937 ton, sedangkan pada Mei 2020 turun menjadi 11.043 ton.
”Ekspor menurun karena negara-negara tujuan ekspor, seperti di Eropa, India, dan AS lockdown saat pandemi Covid-19 merebak,” ujar Jusdar.
Belum lagi masalah kekurangan bahan baku bokar yang dialami industri sejak lama. Kapasitas terpasang di pabrik untuk 540.000 ton per tahun. Namun, rata-rata hanya sekitar 50 persen yang bisa dipenuhi dari kapasitas tersebut.
Sebagai perbandingan, produktivitas lahan karet Thailand dan Vietnam rata-rata 1.800 kilogram per hektar per tahun.
Industri pun harus mendatangkan bahan baku dari Kalimantan Tengah, Lampung, dan Bangka Belitung. Akibat kondisi itu, dari semula 16 pabrik, saat ini tinggal 12 pabrik yang beroperasi di Kalbar.
Jusdar menambahkan, kurangnya bahan baku di tingkat pabrik juga tidak terlepas dari rendahnya produktivitas karet Kalbar, yakni rata-rata 700 kilogram per hektar per tahun. Usia tanaman karet petani juga di atas 30 tahun. Sebagai perbandingan, produktivitas lahan karet Thailand dan Vietnam rata-rata 1.800 kilogram per hektar per tahun.
Untuk harga, di tingkat pabrik di Kalbar, kadar karet kering (K3) 100 persen pada April Rp 14.500 per kilogram. Pada Juni, karet K3 100 persen sebesar Rp 13.500 per kilogram. Hal itu lebih dipengaruhi nilai tukar (kurs).
Tata niaga
Namun, Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura, Pontianak, Eddy Suratman menilai, harga komoditas rakyat yang masih rendah karena tata niaga belum dibenahi. Rantai niaga komoditas perkebunan rakyat masih cenderung panjang, yakni melewati banyak jenjang perantara perdagangan dari petani sebelum ke pembeli akhir di pabrik.
Untuk mengatasi masalah tersebut, Eddy menilai, sebetulnya bisa melalui program desa mandiri yang digencarkan Pemerintah Provinsi Kalbar saat ini. Badan usaha milik desa (BUMDes) diharapkan bisa membeli komoditas pertanian rakyat dengan harga yang layak sehingga menjaga harga pada kondisi stabil.
Namun, hal itu bisa dilakukan jika jalur untuk menjual komoditas secara langsung ke tingkat yang lebih tinggi dibenahi. BUMDes bisa berfungsi secara optimal jika sistem secara keseluruhan berjalan dengan baik. Pimpinan daerah dapat berperan memperbaiki rantai pemasaran dari daerah hingga ke tingkat nasional.
Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Provinsi Kalbar Samuel menuturkan, beberapa waktu lalu, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Kalbar beserta dinas terkait se-Kalbar dan asosiasi pengusaha karet sudah menggelar pertemuan secara daring membahas produktivitas dan tata niaga komoditas, khususnya karet. Namun, hasilnya masih dirumuskan oleh Bappeda.