Meyakinkan Masyarakat agar Berzakat secara Digital
Para lembaga amil zakat kini bersiap menghadapi era digital. Namun, siap saja tidak cukup. Mereka memiliki tantangan untuk meyakinkan masyarakat agar beralih dari pembayaran zakat konvensional menuju digital.
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian besar lembaga amil zakat di tingkat nasional, provinsi, ataupun kabupaten/kota mengaku siap beradaptasi dengan era digital. Namun, lembaga amil zakat masih memiliki pekerjaan rumah, yakni meyakinkan masyarakat agar beralih pada pembayaran zakat digital.
Forum Zakat dan Filantropi Indonesia merilis hasil penelitian tentang kesiapan lembaga amil zakat dalam menghadapi era digital. Penelitian yang melibatkan 104 lembaga amil zakat anggota Forum Zakat ini diselenggarakan pada 12 Juli-15 Oktober 2019. Lembaga amil zakat dipilih dari tingkat nasional, provinsi, hingga kabupaten/kota.
Ketua Umum Forum Zakat Bambang Suherman menilai, digitalisasi pada proses pelayanan lembaga amil zakat dapat memperkaya strategi dan metode penghimpunan zakat. Terbukti, dari 104 lembaga yang diteliti, 76 lembaga mendapatkan kemudahan penghimpunan dana, sedangkan 42 lembaga merasakan kemudahan pengoperasian dari digitalisasi.
”Dengan digitalisasi, para amil zakat bisa lebih mudah untuk mengajak masyarakat berzakat,” katanya dalam konferensi pers ”Diseminasi Riset: Kesiapan Amil Zakat dalam Menghadapi Era Digital”, di Jakarta, Senin (29/6/2020).
Menurut Bambang, para lembaga amil zakat secara umum siap beradaptasi di era digital. Hal ini diukur berdasarkan lima komponen, yakni kesiapan informasi, kesiapan lembaga, kesiapan sumber daya manusia (SDM), kesiapan infrastruktur, dan kesiapan lingkungan eksternal.
Dari sisi kesiapan informasi, mayoritas lembaga telah memiliki standar operasional prosedur (SOP) dalam pelayanan zakat. Ketersediaan SOP ini dinilai dapat memudahkan proses peralihan dari konvensional ke ranah digital.
Baca juga: Zakat Digital Mempermudah Ibadah di Kala Pandemi
Sebanyak 89 lembaga telah memiliki SOP penghimpunan, sedangkan 95 lembaga juga telah memiliki SOP penyaluran. Adapun lembaga yang memiliki SOP administratif sebanyak 87 lembaga.
”Dengan ini, proses pergeseran ke digital lebih sederhana. Hanya saja, 34 persen lembaga masih mengalami hambatan dalam mengakses internet,” kata Bambang.
Kesiapan lembaga amil zakat salah satunya bisa diukur berdasarkan persepsi dari lembaga tersebut terhadap penggunaan teknologi. Sebanyak 87 lembaga menganggap pemaanfaatan teknologi sangat penting, 7 lembaga menganggap penting, 2 lembaga menilai tidak penting, dan 6 lembaga menganggap sangat tidak penting.
”Dari hasil pengolahan data tersebut, 92 lembaga mendukung digitalisasi lembaga amil zakat. Sementara 78 lembaga juga mengaku siap,” ucap Bambang.
Dari sisi kesiapan SDM, latar belakang pendidikan amil zakat didominasi oleh lulusan sarjana, yakni 87 orang. Sisanya merupakan lulusan SMA 12 orang, diploma 4 orang, dan master atau doktor 1 orang. ”Sebanyak 97 persen amil mampu menggunakan kanal digital. Hanya 2 persen yang tidak mampu,” ujar Bambang.
Penggunaan platform digital seharusnya bisa memfasilitasi lembaga amil zakat untuk melibatkan dan berkontribusi pada kelompok rentan dan kelompok dari daerah terluar, terjauh, serta terpinggir.
Sementara itu, sebanyak 63 lembaga amil zakat telah memiliki divisi teknologi informasi (TI) di lembaganya. Sebanyak 34 lembaga belum memiliki divisi ini, sedangkan dua lainnya tidak menjawab. Sebanyak 34 persen lembaga bahkan sudah memiliki divisi digital marketing.
”Ini mewakili kesadaran lembaga amil zakat untuk mengikuti dinamika perkembangan digital dari masyarakat,” katanya.
Kesiapan pengelolaan zakat berbasis digital juga bisa dilihat dari ketersediaan database mustahik (penerima zakat) dan muzaki (pembayar zakat). Ketersediaan database mustahik ini menjadi hal yang penting dalam penyaluran zakat yang diterima dari muzaki.
Dari 104 lembaga amil zakat, sebanyak 27 lembaga belum memiliki data mustahik dalam tiga tahun terakhir, sedangkan 4 lembaga tidak menjawab. Selain itu, 24 lembaga juga belum memiliki data mustahik dalam tiga tahun terakhir. Adapun 5 lembaga tidak menjawab.
”Yang tidak punya relatif sedikit. Sudah cukup banyak lembaga amil zakat yang mengelola database mustahik dan muzaki,” kata Bambang.
Co-Chair Badan Pengarah Filantropi Indonesia Erna Witoelar berharap pemanfaatan platform digital di kalangan lembaga amil zakat bisa mendorong program-program penyaluran dan pendayagunaan zakat, infak, dan sedekah lebih berkembang. Sebab, saat ini program-program tersebut kurang terobosan.
”Penggunaan platform digital seharusnya bisa memfasilitasi lembaga amil zakat untuk melibatkan dan berkontribusi kepada kelompok rentan dan kelompok dari daerah terluar, terjauh, serta terpinggir,” katanya.
Pekerjaan rumah
Menurut Bambang, lembaga amil zakat tengah menghadapi pekerjaan rumah yang cukup berat dalam penghimpunan zakat. Terutama untuk meyakinkan publik bahwa tidak ada penumpukan zakat atau penyaluran zakat yang tidak merata di lembaganya.
Tantangan penghimpunan zakat di daerah juga tidak kalah sulitnya. Sebab, masih banyak masyarakat di daerah yang enggan menunaikan zakat melalui kanal digital karena adanya pengaruh kearifan lokal yang kuat. Untuk itu, edukasi masih harus digalakkan.
”Misalnya, masih banyak muzaki yang menganggap zakat tidak afdal jika tidak salaman dengan amil zakat. Mereka juga didoakan lewat proses itu,” katanya.
Menurut Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia Hamid Abidin, jumlah dana zakat yang digalang melalui kanal digital selama ini belum sebesar yang dikumpulkan secara konvensional. Hasil analisis tim peneliti terhadap 104 lembaga amil zakat periode 2016-2018 menunjukkan bahwa perolehan dana zakat, infak, sedekah dan wakaf (ziswaf) masih didominasi oleh pengumpulan secara konvensional.
Sebagai perbandingan, hasil penggalangan ziswaf secara konvensional mencapai Rp 2,15 triliun, sementara yang tergalang melalui metode digital hanya Rp 155 miliar. Artinya, baru 6,74 persen yang tergalang melalui kanal digital.
”Kondisi ini disebabkan belum terbiasanya masyarakat menyalurkan zakat secara digital. Selain itu, pegiat lembaga amil zakat juga belum sepenuhnya optimal dalam memanfaatkan platform digital dalam kegiatan pengumpulan,” katanya.
Pandemi covid-19 secara tidak langsung telah mendorong masyarakat untuk beralih menunaikan zakat dari konvensional ke digital. Hal itu dilakukan oleh salah satu karyawan swasta asal Bekasi, Jawa Barat, Muhammad Nur Aditya (29).
Ia mulai beralih menunaikan zakat fitrah melalui kanal digital saat Ramadhan 1441 Hijriah. Jika pada tahun-tahun sebelumnya ia selalu membayar zakat di masjid dekat rumahnya, tahun ini ia membayar melalui situs resmi Badan Amil Zakat Nasional.
”Lebih mudah dan cepat juga karena pembayaran bisa melalui transfer bank atau dompet digital,” katanya.
Pandemi covid-19 membuatnya khawatir untuk bertatap muka secara langsung dengan amil zakat di masjid. Terlebih, saat itu, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) juga masih diterapkan. Meski begitu, ia tetap merasakan kekhusyukan menunaikan zakat fitrah.
”Memang tidak ada proses tatap muka dengan amil zakat. Namun, saat membayar lewat digital, tetap membaca niat yang tercantum di situs Baznas,” katanya.
Berbeda dengan Aditya, wiraswasta asal Jepara, Jawa Tengah, Fildaz Raeditya, mengaku belum familiar dengan zakat digital. Selama ini, ia masih menyalurkan zakat melalui amil zakat di masjid dekat rumahnya.
Ia menilai pembayaran zakat secara digital lebih cocok dilakukan oleh kelompok masyarakat yang berada di kawasan perkotaan. Ia menduga masyarakat perkotaan cenderung tidak memiliki waktu luang untuk mengurus zakat.
Di sisi lain, ia memilih tetap berzakat di kawasan rumahnya karena beranggapan masih banyak mustahik yang membutuhkan uluran tangan di sana. Jika membayar secara daring, belum tentu disalurkan untuk mustahik di wilayahnya.
”Kalau saya memang sudah terbiasa di masjid. Pandemi covid-19 kemarin juga masih disediakan pembayaran zakat fitrah,” katanya.