Harga Masih Anjlok, Garam Petani di Cirebon Menumpuk
Memasuki musim kemarau, nasib petani garam di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, kian terpukul. Selain harga garam yang anjlok hingga menyentuh Rp 250 per kg, produksi garam petani juga belum sepenuhnya terserap.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Memasuki musim kemarau, nasib petani garam di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, kian terpukul. Selain harga garam yang anjlok hingga menyentuh Rp 250 per kilogram, produksi garam petani juga belum sepenuhnya terserap.
Pantauan Kompas di sentra produksi garam di Kecamatan Pangenan, Selasa (30/6/2020), harga garam di tingkat petani berkisar Rp 250-Rp 270 per kg. Garam tersebut diproduksi secara tradisional, lahannya masih beralaskan tanah.
”Padahal, biasanya, harga garam Rp 500 per kg. Apalagi, kami baru mulai menggarap, belum panen,” ujar Carka (40), petani garam di Desa Rawaurip, Pangenan. Anjloknya harga sudah berlangsung beberapa bulan terakhir. Februari lalu, harganya sekitar Rp 220 per kg.
Bahkan, pada Desember 2019, harga garam menyentuh Rp 100 per kg di tingkat petani. Dalam catatan Kompas, harga itu terendah dalam empat tahun terakhir. Ketika kemarau panjang 2015, harga garam anjlok hingga Rp 200 per kg. Sebaliknya, ketika stok menipis pada pertengahan 2017, harga garam mencapai Rp 3.000 per kg.
Sebagai petani penggarap lahan 0,7 hektar, harga garam Rp 250 per kg sangat merugikan Carka. Ketika awal panen, setelah 10 hari menggarap lahan, ia bisa memproduksi 2,5 kuintal garam. Dengan harga Rp 250, uang yang dihasilkan Rp 62.500. Setelah dibagi dengan pemilik lahan, ia hanya menerima Rp 31.250.
”Lebih baik jadi kuli bangunan, dapat 75.000 per hari,” kata bapak tiga anak ini. Itu sebabnya, meskipun harga rendah, ia terpaksa menjual 25 ton produksi garam musim lalu. Ia tidak punya tabungan untuk menunggu harga garam membaik.
Sebaliknya, bagi petani yang punya simpanan uang, hasil panen musim lalu masih disimpan di gudang, bahkan di pinggir jalur pantura Cirebon bagian timur. Garam yang terbungkus karung biru itu menumpuk hingga setinggi 2,5 meter. Garam juga menumpuk di pinggir tambak dengan alas anyaman bambu dan berlapis spanduk.
”Di gudang saya masih ada 150 ton garam hasil produksi 2019. Bahkan, ada yang dari 2018. Saya menunggu harga bagus. Namun, kalau ada impor garam, harga pasti tetap anjlok,” kata Ismail (33), petani lainnya. Petani yang menggarap lahan 1,4 hektar itu memastikan, produksinya bakal susut sekitar 10 persen.
Kepala Bidang Pemberdayaan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Cirebon Yanto mengatakan, stok garam sampai Mei 2020 tercatat 63.497,14 ton. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan stok garam di Cirebon pada Juni tahun lalu, yakni 35.666 ton garam.
Dalam setahun, Cirebon mampu memproduksi hingga lebih dari 400.000 ton garam, salah satu yang tertinggi secara nasional. Sebelumnya, pemerintah menaikkan target penyerapan garam dari petambak rakyat untuk kebutuhan industri menjadi 1,5 juta ton selama periode Juni 2020-Juli 2021.
Pada periode sebelumnya, yakni hingga Juni 2020, penyerapan garam rakyat ditargetkan 1,1 juta ton. Rendahnya mutu garam rakyat menjadi alasan rendahnya penyerapan untuk kebutuhan industri (Kompas, 7/3/2020).