Penerimaan Pajak Membaik, Indikasi Perbaikan Ekonomi
Indikasi perbaikan ekonomi domestik mulai terlihat kendati masih sangat lemah. Tecermin dari kontraksi penerimaan pajak yang mereda di seluruh sektor pada Juni 2020. Momentum perbaikan diharapkan terjaga.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indikasi perbaikan ekonomi domestik mulai terlihat kendati masih sangat lemah. Perbaikan tecermin dari kontraksi penerimaan pajak yang mereda di seluruh sektor pada Juni 2020. Momentum perbaikan ekonomi diharapkan terjaga sampai akhir tahun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, realisasi penerimaan pajak acap kali digunakan sebagai parameter kondisi ekonomi suatu negara. Sejak awal tahun ini, kontraksi ekonomi terjadi, paling dalam pada Mei 2020. Situasi itu terefleksi dalam realisasi penerimaan pajak yang merosot tajam.
Pada Juni 2020, penerimaan pajak menunjukkan perbaikan di hampir semua sektor kendati umumnya masih tumbuh negatif. Pertumbuhan pajak dari sektor manufaktur, misalnya, membaik dari negatif 45,2 persen pada Mei menjadi negatif 38,4 persen pada Juni. Penerimaan di sektor perdagangan juga membaik dari negatif 40,7 persen menjadi negatif 21,2 persen.
Pertumbuhan pajak sektor konstruksi dan real estat membaik dari negatif 20,9 persen menjadi negatif 12,8 persen, sementara di sektor jasa keuangan dan asuransi membaik dari negatif 32,4 persen menjadi negatif 11,3 persen. Satu-satunya sektor yang tumbuh positif adalah transportasi dan pergudangan, yakni dari negatif 23,1 persen menjadi 9,3 persen.
”Hampir semua sektor mengalami kontraksi luar biasa pada April-Mei. Namun, pada Juni membaik kendati masih sangat lemah. Pertumbuhan pajak akan terus dimonitor untuk menentukan respons kebijakan ke depan,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran DPR di Jakarta, Kamis (9/7/2020).
Menurut Sri Mulyani, indikasi perbaikan ekonomi di banyak negara berbeda, sejalan dengan pembukaan kegiatan ekonomi yang ditempuh secara bertahap. Namun, indikasi perbaikan ekonomi tetap diwaspadai karena risiko pandemi Covid-19 masih menghantui. Ketidakpastian kondisi ekonomi tetap tinggi sampai vaksin ditemukan.
Penerimaan perpajakan pada Januari-Juni 2020 masih tumbuh negatif 9,4 persen dibandingkan dengan periode sama 2019. Realisasi penerimaan pajak Rp 531,7 triliun atau tumbuh negatif 12 persen, sementara penerimaan kepabeanan dan cukai Rp 93,2 triliun atau tumbuh 8,8 persen. Kontraksi penerimaan pajak juga dipengaruhi pemanfaatan insentif fiskal.
Mayoritas sektor usaha memanfaatkan insentif pajak yang diterbitkan pemerintah. Insentif yang paling banyak dimanfaatkan dunia usaha adalah pajak penghasilan (PPh) 21 ditanggung pemerintah total Rp 688 miliar, PPh 22 impor Rp 2,95 triliun, pengurangan angsuran PPh Pasal 25 senilai Rp 3,44 triliun, dan restitusi PPN dipercepat Rp 3,59 triliun.
Sri Mulyani menuturkan, dampak perlambatan ekonomi dan pemanfaatan insentif pajak menyebabkan pertumbuhan negatif di hampir seluruh jenis penerimaan pajak selama Januari-Juni 2020, antara lain PPh 21, PPh 22 impor, PPh badan, PPh final, PPN dalam negeri, dan PPN impor. Kontraksi penerimaan pajak karena aktivitas usaha tertekan pembatasan sosial.
”Memasuki bulan Juni seiring dengan pelaksanaan kenormalan baru, peningkatan aktivitas ekonomi domestik mendorong kinerja penerimaan pajak menuju arah yang lebih baik,” kata Sri Mulyani.
Kontraksi penerimaan pajak memengaruhi pertumbuhan ekonomi pada triwulan II-2020 yang diproyeksikan minus 3,8 persen. Adapun proyeksi pertumbuhan ekonomi pada Januari-Juni 2020 kisaran minus 0,4 persen hingga minus 1,1 persen.
Pemulihan ekonomi
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menambahkan, fokus jangka pendek BI dan pemerintah adalah percepatan pemulihan ekonomi. BI akan membantu pendanaan penanganan Covid-19, sementara pemerintah fokus pada penyerapan anggaran. Harapannya, pertumbuhan ekonomi pada triwulan III dan IV-2020 kembali positif.
Di sisi moneter, percepatan pemulihan ekonomi dilakukan dengan menjaga stabilitas kurs rupiah dan penurunan tingkat bunga surat berharga negara (SBN) tenor 10 tahun. Ruang penurunan suku bunga acuan atau BI 7-Day Repo Rate juga masih terbuka. Sejauh ini, BI telah melakukan pelonggaran kuantitatif melalui perbankan Rp 614,8 triliun. ”Fokus BI saat ini bagaimana mempercepat pemulihan ekonomi,” kata Perry.
Secara terpisah, Menteri Keuangan periode 2013-2014 M Chatib Basri berpendapat, ekspansi fiskal sangat dibutuhkan untuk mendorong produksi dan menumbuhkan daya beli masyarakat. Namun, ekspansi fiskal ke depan akan terkendala kebijakan defisit 3 persen PDB dan risiko penurunan pendapatan seiring rendahnya rasio pajak akibat perlemahan harga komoditas.
Pemerintah disarankan mengkaji ulang kebijakan pengembalian defisit APBN ke level 3 persen pada 2023. Indonesia masih membutuhkan ruang fiskal yang besar untuk mempercepat pemulihan ekonomi. Terlebih kemungkinan pola pemulihan ekonomi membentuk huruf V semakin sulit dan menantang.
”Dengan ekspansi fiskal, mungkin pemulihan ekonomi seperti huruf U. Jangan sampai pemulihan ekonomi membentuk pola huruf L sehingga kebijakan fiskal memainkan peran penting,” kata Chatib.