Meski Minim Dampak, Ancaman Kontraksi Ekonomi Indonesia Nyata
Selama fungsi Singapura sebagai negara ”hub” perdagangan dan pusat keuangan global masih berjalan baik, resesi Singapura tidak akan berdampak signifikan bagi Indonesia.
Oleh
Dimas Waraditya Indonesia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Resesi yang terjadi di Singapura diyakini tidak berdampak secara langsung pada Indonesia selama fungsi Singapura sebagai titik hubung atau hub perdagangan global tidak terganggu. Meski begitu, bayangan kontraksi tetap menghantui ekonomi Indonesia di tengah ancaman kejatuhan konsumsi dan investasi akibat pandemi Covid-19 yang berkepanjangan.
Pada triwulan II-2020, ekonomi Singapura mengalami resesi dengan penyusutan mencapai 41,2 persen dibanding triwulan sebelumnya dan minus 12,6 persen dibanding triwulan II-2019. Sektor ritel mengalami tekanan penjualan akibat kebijakan penutupan wilayah Pemerintah Singapura sejak 7 April hingga 1 Juni 2020.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Kebijakan Fiskal dan Makro Ekonomi Masyita Crystallin dalam DBS Indonesia Asian Insight Conference 2020, Kamis (16/7/2020), mengatakan, ekonomi Indonesia baru akan terdampak jika resesi terjadi pada negara mitra dagang utama, seperti China dan Amerika Serikat (AS).
”Resesi di Singapura tidak serta-merta berdampak terhadap perekonomian dalam negeri selama fungsi sebagai titik hubung perdagangan dan pusat keuangan dunia tidak terganggu,” ujarnya.
Resesi di Singapura tidak serta-merta berdampak terhadap perekonomian dalam negeri selama fungsi sebagai hub perdagangan dan pusat keuangan dunia tidak terganggu.
Data Badan Pusat Statistik (BSP) menunjukkan, per Juni 2020, neraca perdagangan non-migas Indonesia dengan Singapura surplus 8,1 juta dollar AS. Dari sisi, ekspor non-migas ke Singapura terjadi peningkatan 137,3 juta dollar AS. Adapun di periode sama impor non-migas dari Singapura meningkat 129,2 juta dollar AS.
Masyita mengatakan, neraca perdagangan Indonesia dengan Singapura masih mencatatkan surplus karena fungsi Singapura sebagai negara titik hubung perdagangan. Barang dan komoditas yang masuk atau keluar dari Indonesia kebanyakan berasal atau menuju negara lain. Adapun Singapura berfungsi sebagai perantara.
Hubungan ekonomi antara Indonesia-Singapura juga mencakup investasi. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), pada triwulan I-2020, realisasi penanaman modal asing (PMA) dari Singapura 2,7 juta dollar AS atau setara 40 persen total PMA pada periode tersebut senilai 6,8 juta dollar AS.
Menurut Masyita, fungsi Singapura sebagai salah satu negara pusat keuangan global di Asia membuat banyak dana investasi yang berasal dari negara lain tercatat sebagai investasi dari Singapura. Hal ini membuat biaya investasi global menuju negara berkembang sedang turun akan terefleksikan juga dari data aliran modal dari Singapura.
”Saya rasa Singapura tidak mungkin mengurangi fungsinya sebagai titik hubung perdagangan dan pusat keuangan, justru di masa krisis ini mereka lebih membutuhkan nilai tambah dari fungsinya tersebut,” kata Masyita.
Saya rasa Singapura tidak mungkin mengurangi fungsinya sebagai titik hubung perdagangan dan pusat keuangan, justru di masa krisis ini mereka lebih membutuhkan nilai tambah dari fungsinya tersebut.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan, komponen utama pembentuk produk domestik bruto (PDB) sebagai alat ukur pertumbuhan ekonomi antara Indonesia dan Singapura berbeda.
Perlambatan ekonomi global secara langsung secara otomatis akan berdampak pada ekonomi negara yang sangat bergantung pada ekspor seperti Singapura. Sementara perekonomian Indonesia lebih bergantung kepada konsumsi rumah tangga yang telah mengalami penurunan selama periode pandemi meski tidak terlalu besar.
”Sejak awal pandemi sebenarnya ekspor dan PMA dari Singapura ke Indonesia sudah alami penurunan sehingga yang saat ini sudah terefleksikan dalam bentuk resesi di Singapura, tidak terlalu terdampak bagi Indonesia,” ujarnya.
Walau dampak resesi Singapura tidak signifikan, Piter mengingatkan, ancaman kontraksi ekonomi di dalam negeri tetap akan membayangi pada triwulan II-2020 hingga triwulan III-2020. Pasalnya, sepanjang pandemi Covid-19 belum berakhir, tingkat pasokan dan permintaan konsumsi Indonesia juga akan terganggu.
”Sekarang ini semua negara diambang resesi, utamanya karena wabah. Indonesia juga diambang resesi akibat jatuhnya konsumsi dan investasi” kata Piter.
Presiden Direktur PT Bank DBS Indonesia Paulus Sutisna mengemukakan, perekonomian Indonesia bakal pulih lebih cepat ditopang oleh permintaan domestik yang kuat. Selain itu, koordinasi antara pemerintah, Bank Indonesa (BI), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga dinilai positif dalam mengeluarkan berbagai paket stimulus untuk menahan perlambatan ekonomi dan menjaga stabilitas sektor keuangan.
Pertumbuhan pasar domestik akan terbantu dengan aktivitas e-dagang yang sejak 10 tahun terakhir tumbuh pesat di Indonesia. Besarnya pangsa pasar e-dagang dan tenaga kerja muda diperkirakan membuat perekonomian Indonesia dapat pulih lebih cepat di tengah pandemi ini.
”Namun, kita tetap tidak boleh gegabah karena masa pandemi memberikan tantangan dan dampak yang tak terduga secara ekonomi dan politik. Apalagi perlambatan ekonomi otomatis berpengaruh pada peta politik Indonesia,” ujarnya.
Sementara itu, DBS Chief Economist Taimur Baig menilai, negara dengan bekal permintaan domestik yang kuat seperti Indonesia justru membuat negara ini tidak perlu fokus pada aktivitas ekspor di tengah perlambatan ekonomi global. ”Negara-negara seperti Indonesia yang bergantung pada permintaan domestik berpotensi untuk bertahan lebih baik,” ujarnya.
Masyita Crystallin optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia di semester II-2020 akan lebih baik daripada kondisi di semester I-2020. Optimisme ini berlandaskan pada potensi peningkatan konsumsi masyarakat karena pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Di sisi lain, berbagai stimulus untuk penanggulangan dampak Covid-19 sudah lebih berjalan di triwulan III-2020 dibandingkan dengan triwulan II-2020. Sebagai catatan, per 24 Juni 2020 anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) baru terealisasi Rp 117,91 triliun atau setara 16,9 persen dari total anggaran Rp 695,2 triliun.