Pandemi Covid-19 tak ayal memukul pedagang martabak kaki lima. Meskipun mengalami penurunan jumlah pembeli, mereka bertahan karena sudah menekuni usaha ini selama beberapa tahun.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 yang berlangsung secara maraton di Tanah Air telah memukul perekonomian pedagang martabak kaki lima. Mereka bertahan karena sudah menekuni usaha ini selama beberapa tahun.
Pedagang martabak Bandung di Jalan KH Syahdan, Palmerah, Jakarta Barat, Ece Epul (31), misalnya, sampai terpaksa menghentikan penjualan martabak selama tiga pekan selama Ramadhan lalu.
Hingga saat ini, omzet Ece belum normal. Biasanya tidak sulit mendapat omzet Rp 1 juta per hari. Kini mendapat omzet Rp 500.000 per hari saja sudah sulit. ”Spanduk saja sudah tak mampu ganti sama yang baru,” katanya, sambil memasang spanduk dagangan yang sudah lusuh, Kamis (16/7/2020) sore.
Untuk memperkecil biaya hidup di Jakarta, ayah satu anak ini melakukan efisiensi. Istri dan anaknya untuk sementara tinggal di rumah mertuanya, di Bogor, Jawa Barat. Sementara dia menumpang di tempat saudara di Jakarta.
”Kan, lumayan bisa hemat Rp 1,5 juta per bulan. Jadi, tiap bulan itu sekarang saya tinggal memikirkan sewa lapak saja sebesar Rp 1,3 juta per bulan,” kata pria yang sudah 10 tahun berjualan martabak itu.
Seorang pekerja yang sudah dua tahun bekerja dengannya tidak kembali lagi dari kampung halaman selepas Lebaran. ”Waktu itu, saya pikir, ya, sudahlah, jualan sendiri saja dulu,” ujar Ece yang hingga kini tidak mencari pekerja pengganti.
Ece belum kepikiran untuk membuka usaha lain. Sebab, usaha yang paling ia pahami adalah martabak. ”Kalau buka usaha lain, takutnya malah bangkrut. Apalagi dengan situasi sepi seperti ini,” katanya.
Tidak kembali
Pandemi Covid-19 juga membuat lebih dari separuh rekan sejawat Aryanto (33) tidak kembali ke Jakarta. Pria asal Purbalingga, Jawa Tengah, ini merupakan karyawan Tomang Cakwe, yang juga menjual martabak Bangka. Dia berjualan di dekat Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Menurut Aryanto, Tomang Cakwe sebelum Covid-19 memiliki sembilan cabang dengan 40 karyawan. Semua karyawan tinggal di Tanjung Duren, Jakarta Barat. ”Kini, karyawan yang tersisa tinggal 10 orang. Sisanya pulang kampung dan enggak balik lagi,” ujarnya.
Menyusutnya jumlah karyawan berakibat pada penutupan sejumlah cabang Tomang Cakwe. Menurut dia, kini tinggal lima cabang saja.
Di sisi lain, omzet pun belum sepenuhnya pulih. Biasanya omzet di Tomang Cakwe Kebayoran Lama lebih dari Rp 1 juta per hari. Kini omzetnya sekitar Rp 500.000 per hari.
Berjarak 1 kilometer dari gerobak Tomang Cakwe, pedagang martabak dari Lebaksiu, Tegal, Jawa Tengah, Jul (50), sedang menyiapkan dagangan. Dia tetap bertahan selama pandemi Covid-19. ”Untuk tahun ini tidak pulang dulu, lagi susah,” katanya.
Ayah dua anak ini biasanya bisa menjual hinggal 30 martabak per hari. Kini, pria yang sudah 25 tahun menekuni profesi ini hanya sanggup menjual 10-15 martabak per hari. Waktu jualan dari sore hingga tengah malam.
Jul menyadari bahwa semua pedagang terdampak akibat Covid-19. Oleh sebab itu, ia tidak terlalu berharap ada bantuan dari pemerintah. ”Kalau ada syukur, kalau tidak ya tidak apa-apa,” katanya.
Kemarin, 60 pedagang kecil menerima bantuan modal kerja dari Presiden Joko Widodo. Bantuan sebesar Rp 2,4 juta per orang ini diberikan dalam amplop putih bertuliskan Bantuan Modal Kerja Presiden Republik Indonesia.
Bantuan ini berasal dari Dana Bantuan Kemasyarakatan Presiden. Rencananya, modal kerja ini akan disalurkan kepada 12 juta pedagang di seluruh Indonesia (Kompas, 15/7/2020).