LPS Waspadai Risiko Penempatan Dana di Bank Bermasalah
Kewenangan baru LPS bukan tanpa risiko. Risiko pertama yang mesti diantisipasi terkait aspek hukum. Penempatan dana di bank juga berisiko sehingga akan diantisipasi dengan penyertaan agunan dalam setiap penempatan itu.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lembaga Penjamin Simpanan mewaspadai beberapa risiko yang berpotensi terjadi dalam melakukan penyelamatan terhadap bank bermasalah. Selain aspek hukum, risiko paling besar yang perlu diantisipasi adalah terkait penempatan dan pemanfaatan dana oleh bank.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Wewenang Lembaga Penjamin Simpanan, LPS diberi kewenangan menempatkan dana pada bank yang mengalami permasalahan solvabilitas. Solvabilitas berarti kemampuan perusahaan dalam memenuhi segala kewajiban atau utang yang harus dibayarkan.
LPS telah menerbitkan Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan (PLPS) Nomor 3 Tahun 2020 tentang pelaksanaan PP No 33/2020 pada 20 Juli 2020. Regulasi dalam PLPS No 3/2020 mencakup tata cara pemeriksaan bersama Otoritas Jasa Keuangan, mekanisme dan tata cara penempatan dana oleh LPS pada bank, serta tata cara penanganan bank selain bank sistemik yang dinyatakan sebagai bank gagal.
Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah menyatakan, tujuan utama penempatan dana LPS pada bank untuk mengelola dan meningkatkan likuiditas LPS, serta mengantisipasi dan melakukan penanganan stabilitas sistem keuangan yang dapat menyebabkan kegagalan bank. Ketentuan penempatan dana melingkupi persyaratan, analisis kelayakan, plafon dan periode, suku bunga, jaminan, penggunaan dana, pelunasan, dan pengawasan.
LPS melalui PLPS No 3/2020 juga mengatur kriteria pemilihan metode penanganan bank selain bank sistemik di luar perkiraan biaya paling rendah (least cost test). Beberapa kriteria mencakup kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan bank, kebutuhan waktu penanganan, ketersediaan investor, dan efektivitas penanganan permasalahan bank.
”Penempatan dana LPS pada bank dilakukan untuk menyelamatkan sistem perbankan. Kebijakan ini bukan atas inisiatif LPS, melainkan permohonan bank kepada Otoritas Jasa Keuangan,” kata Halim dalam telekonferensi di Jakarta, Jumat (24/7/2020).
Penempatan dana LPS pada bank dilakukan untuk menyelamatkan sistem perbankan. Kebijakan ini bukan atas inisiatif LPS, tetapi permohonan bank kupada Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan ini berbeda dari fungsi awal LPS, yakni untuk menyelamatkan atau menutup bank yang sudah dinyatakan sebagai bank gagal. Landasan berdirinya LPS diatur dalam Undang-Undang (UU) No 24/2004. Adapun PP No 33/2020 berlandaskan pada UU No 2/2020 yang mengatur tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19.
Menanggapi hal tersebut, Halim mengakui, kewenangan menempatkan dana pada bank memang tidak sesuai dengan UU LPS No 24/2020. Namun, langkah ini perlu diambil karena Indonesia menghadapi kondisi kegentingan yang memaksa akibat Covid-19. LPS telah menyiapkan argumen jika terjadi pengajuan pengujian yudisial.
”Kewenangan baru LPS bukan tanpa risiko, tentu risiko pertama yang mesti diantisipasi terkait aspek hukum,” kata Halim.
Sebelumnya, ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Dradjad Wibowo, mengingatkan, wewenang baru LPS telah menabrak prinsip-prinsip tata kelola dari segi pengawasan, transparansi, akuntabilitas, kehati-hatian, dan penegakan hukum. LPS harus super hati-hati dalam melakukan penyelamatan terhadap bank gagal.
Risiko di bank
Selain dari aspek hukum, lanjut Halim, risiko berpotensi terjadi dalam penempatan dana di bank. Risiko ini akan diantisipasi dengan penyertaan agunan dalam setiap penempatan dana. Agunan harus aset milik pemegang saham, bukan aset bank. Jika bank gagal, aset dan kewajiban bank akan dikuasai LPS.
”Penyertaan agunan juga untuk mendorong sikap tanggung jawab bank agar mengelola penempatan dana LPS dengan baik,” ujarnya.
Risiko berpotensi terjadi dalam penempatan dana di bank. Risiko ini akan diantisipasi dengan penyertaan agunan dalam setiap penempatan dana. Agunan harus aset milik pemegang saham, bukan aset bank.
Halim menambahkan, risiko terakhir yang mesti dimitigasi LPS terkait pemanfaatan dana oleh bank. LPS tidak bertanggung jawab mengawasi bank secara langsung. Wewenang LPS sebatas perumusan aturan bahwa dana harus digunakan dalam konteks penanggulangan masalah likuiditas bank, bukan untuk kepentingan pribadi pemilik ataupun pihak-pihak yang terafiliasi.
Halim menambahkan, kebijakan penempatan dana pada bank adalah langkah sementara. Tujuan jangka panjang LPS adalah menggerakkan roda ekonomi agar berputar lebih cepat dengan perbankan sebagai lembaga intermediasi. Bank tetap berfungsi mengambil dana dari masyarakat dan menyalurkan ke lapisan yang membutuhkan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menambahkan, Indonesia menghadapi kondisi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dampak Covid-19 bukan hanya menyasar ekonomi, melainkan juga krisis kesehatan dan sosial. Kondisi ini harus diantisiapasi dengan langkah-langkah luar biasa di anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan.
“Semua anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan memiliki wewenang baru. Bukan hanya LPS, melainkan juga Kemenkeu, OJK, dan Bank Indonesia,” kata Sri Mulyani.
Pemberian wewenang baru diharapkan dapat menahan efek domino Covid-19 di sektor keuangan Indonesia. Jangan sampai kontraksi ekonomi semakin dalam yang merembet ke gejolak sistem keuangan yang berujung krisis sosial dan politik. Pemerintah dihadapkan pada kondisi mendesak yang membutuhkan respons cepat dan akurat.