Ancaman resesi ekonomi kian dekat. Indonesia bisa mendorong konsumsi masyarakat agar tidak terperosok pada jurang resesi.
Oleh
Agnes Theodora
·3 menit baca
Indonesia diprediksi sulit menghindar dari ancaman resesi ekonomi yang mulai menghantam sejumlah negara. Untuk mencegah resesi terlalu dalam dan panjang, konsumsi rumah tangga kembali menjadi andalan.
Perlu ada perubahan signifikan dalam kebijakan serta implementasi stimulus nonfiskal bagi masyarakat dan pelaku bisnis, khususnya di sektor usaha mikro dan kecil. Kenyataannya, pada triwulan I-2020, konsumsi rumah tangga yang selama ini berperan 55-57 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia anjlok.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, konsumsi rumah tangga tumbuh 2,84 persen secara tahunan pada triwulan I-2020. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga ini merosot tajam dibandingkan dengan triwulan I-2019, yakni 5,02 persen secara tahunan.
Akibatnya, pertumbuhan ekonomi RI juga merosot. Pada triwulan I-2020, perekonomian Indonesia tumbuh 2,97 persen.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta Widjaja Kamdani, Minggu (26/7/2020), menyampaikan, perekonomian Indonesia dapat dipastikan tumbuh negatif pada triwulan II-2020.
Menurut dia, Indonesia sulit lolos dari ancaman resesi teknis (technical recession) seperti negara lain jika tidak ada perubahan signifikan untuk mendorong konsumsi rumah tangga secara maksimal. Oleh karena itu, ada dua hal yang harus diutamakan. Pertama, implementasi dan distribusi stimulus nonfiskal kepada masyarakat untuk mendongkrak daya beli serta stimulus kredit untuk pelaku usaha. Kedua, mengubah iklim usaha dan investasi nasional agar lebih efektif menarik investasi di tengah pandemi Covid-19, baik dari luar negeri maupun dalam negeri.
”Kalau kita hanya berjalan di tempat dengan kebijakan seperti sekarang ini, bisa dipastikan kita juga akan mengalami resesi karena pertumbuhan ekonomi yang negatif sampai triwulan III-2020,” katanya.
Peran UMKM
Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia Ikhsan Ingratubun menuturkan, sektor yang berperan besar menjaga perekonomian Indonesia dari jurang resesi adalah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Berdasarkan data Bank Indonesia, UMKM berkontribusi 64 persen terhadap PDB Indonesia.
UMKM juga memiliki rantai pasok yang berpengaruh luas pada berbagai sektor lainnya, khususnya sektor makanan dan minuman. Jenis usaha seperti warung makanan dalam proses usahanya ikut menggerakkan banyak usaha lain, mulai dari pertanian, peternakan, perikanan, dan perdagangan tradisional. Hal ini berbeda dari usaha skala besar yang rantai pasoknya tidak terlalu luas.
Ikhsan menambahkan, produk UMKM di sektor makanan juga diserap oleh mayoritas masyarakat Indonesia. ”Usaha kecil di bidang makanan tidak akan pernah kekurangan permintaan karena masyarakat terus membutuhkan makanan. Namun, mereka butuh uang untuk tambahan modal. Tanpa perhatian ke usaha kecil, jangan harap ekonomi bisa segera pulih,” katanya.
UMKM juga memiliki rantai pasok yang berpengaruh luas pada berbagai sektor lainnya.
Kendati dibayangi resesi, sejumlah kajian meyakini Indonesia akan cepat mengalami pemulihan ekonomi. Dana Moneter Internasional (IMF), misalnya, menempatkan Indonesia pada posisi delapan dari 10 negara yang akan pulih perekonomiannya pada tahun depan.
IMF memprediksi, meskipun ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh pada kisaran -0,3 persen pada 2020, tetapi kondisi ekonomi akan membaik pada 2021. Tahun depan, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan kembali pulih, yakni tumbuh positif 6,1 persen.
Menurut Shinta, untuk menjaga optimisme tersebut, pemerintah perlu segera mengubah kebijakan dan koordinasi lintas kementerian untuk memaksimalkan implementasi kebijakan. Berbagai regulasi dan stimulus yang ada saat ini belum cukup signifikan meningkatkan kegiatan ekonomi dan produktivitas nasional.
Rata-rata kebijakan terhambat pada level implementasi. Hal ini mesti dikembalikan pada kewenangan tiap kementerian teknis, lembaga terkait, dan pemerintah daerah. Dengan demikian, kebijakan yang sudah baik di atas kertas tidak terserap pelaku usaha dan masyarakat.
Berbagai regulasi dan stimulus yang ada saat ini belum cukup signifikan meningkatkan kegiatan ekonomi dan produktivitas nasional.
Di sisi lain, regulasi yang menyehatkan iklim usaha dan menarik investor juga dibutuhkan untuk mengerek perekonomian Indonesia secara signifikan. ”Jika mau lolos dari resesi atau menahan resesi agar hanya terjadi pada triwulan II dan III, hal-hal itu harus sudah bisa dilakukan sebelum pertengahan triwulan III tahun ini,” katanya.