Pemerintah kerap kali menyebutkan, penanganan Covid-19 mesti seiring dengan pemulihan ekonomi. Jangan sampai salah melangkah.
Oleh
Enny Sri Hartati-Peneliti Senior Institut for Development of Economics and Finance (Indef)
·6 menit baca
Sebelum pandemi Covid-19, kondisi perekonomian Indonesia telah menghadapi berbagai tekanan. Mulai dari stagnasi pertumbuhan ekonomi, deindustrialisasi, defisit neraca perdagangan, volatilitas nilai tukar, dan utang pemerintah yang membengkak.
Kompleksitas persoalan makroekonomi tersebut berujung pada investasi yang rendah, keterbatasan lapangan kerja, dan daya beli masyarakat yang terus merosot. Sementara BUMN strategis yang mestinya hadir sebagai penopang dan juru selamat justru terlebih dulu terlilit masalah. Setidaknya 7 BUMN yang menjalankan penugasan (public service obligation/PSO) kesulitan dana kas atau likuiditas. Salah satu penyebabnya, tagihan kepada pemerintah yang terakumulasi menjadi utang hingga lebih dari Rp 167,15 triliun. Utang ini, antara lain, adalah kompensasi subsidi bahan bakar minyak (BBM) melalui Pertamina Rp 96,5 triliun, subsidi listrik PLN Rp 48,46 triliun, BUMN Karya Rp 12,16 triliun, Pupuk Indonesia Rp 6 triliun, Perum Bulog Rp 2,6 triliun, Kimia Farma Rp 1,13 triliun, dan Kereta Api Indonesia Rp 300 miliar.
Kompleksitas persoalan makro ekonomi tersebut berujung pada investasi yang rendah, keterbatasan lapangan kerja, dan daya beli masyarakat yang terus merosot.
Dalam kondisi perekonomian yang sedang menghadapi demam, tiba-tiba Covid-19 tanpa permisi menghantam. Akibatnya, pemerintah harus menyelamatkan ekonomi sekaligus berusaha mengendalikan Covid-19. Analogi pemerintah, melalui kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), di samping dapat menekan beban fiskal, ekonomi tidak kolaps. Terbukti, pada triwulan I-2020, di tengah kondisi ekonomi banyak negara yang terkontraksi, Indonesia masih mampu tumbuh positif 2,97 persen. Selanjutnya, pada triwulan II-2020, banyak negara akhirnya masuk jurang resesi karena tumbuh negatif selama dua triwulan berturut-turut. Indonesia sudah pasti belum masuk resesi sekalipun pada triwulan II-2020 hampir dipastikan tumbuh negatif.
Persoalannya, kendati pada triwulan II-2020 banyak negara menelan pil pahit mengalami resesi, mereka rata-rata telah mampu menjinakkan sumber utama penyebab resesi. Kurva penularan Covid-19 sudah melandai sejak Juni 2020. Sembari berusaha keras menemukan vaksin, pemerintahan semua negara menggelontorkan berbagai stimulus fiskal yang efektif untuk perlindungan sosial dan pemulihan ekonomi.
Memasuki triwulan III-2020, berbekal penularan Covid-19 yang relatif terkendali, banyak negara mulai melonggarkan dan membuka kembali aktivitas ekonomi. Meskipun harus menghadapi kondisi normal baru, ekonomi mulai bergeliat dan ada kepastian potensi pemulihan ekonomi.
Sebaliknya, bagi Indonesia, dampak penerapan PSBB jelas menyebabkan perekonomian merosot. Hampir semua sektor terganggu, tingkat utilitas produksi dan omzet penjualan turun hingga 70 persen. Angka pengangguran dan kemiskinan meledak sehingga daya beli anjlok. Ekonomi mengalami kontraksi cukup dalam, hampir semua pelaku usaha dan masyarakat konsumen menjerit.
Akibatnya, pemerintah terpaksa melonggarkan dan menghentikan PSBB serta memaksakan fase normal baru. Pusat perbelanjaan, transportasi jarak jauh, dan perkantoran kembali dibuka dengan dalih agar aktivitas ekonomi kembali bergeliat dan dapur masyarakat tetap ngebul.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi mengeluarkan Surat Edaran (SE) pada 6 Juli 2020 untuk mendorong perjalanan dinas. Dengan SE itu, rapat dapat dilakukan di beberapa destinasi pariwisata, seperti Banyuwangi, Bali, Borobudur, Danau Toba, Kepulauan Riau, Labuan Bajo, Likupang, dan Mandalika.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi juga menerbitkan SE Nomor 64 Tahun 2020 tanggal 13 Juli 2020, yang mencabut larangan bepergian atau pergerakan aparatur sipil negara (ASN). Tujuannya, mempercepat penyerapan anggaran dan menggerakkan sektor transportasi, pariwisata, dan industri perdagangan.
Akibatnya, kurva penularan Covid-19 tidak kunjung terkendali, bahkan cenderung fluktuatif. Pembukaan aktivitas ekonomi, meskipun dengan tatanan normal baru, terbukti justru menjadi bumerang. Apalagi, penularan kluster perkantoran yang meningkat hampir 10 kali lipat. Sebagai perbandingan, pada masa PSBB, ada 43 kasus kluster perkantoran. Namun, setelah masa transisi pada 4 Juni-28 Juli naik 416 kasus menjadi 459 kasus. Secara nasional pada 29 Juli 2020 terjadi penambahan kasus Covid-19 mencapai 2.381 sehingga total menjadi 104.432 kasus, dengan korban meninggal 4.975 orang. Jumlah tersebut telah melampaui China sebagai asal pandemi dengan 84.165 kasus.
Artinya, pada ujungnya tetap tekor, terjadi zero sum games. Ekonomi tetap tidak selamat, sebaliknya kasus Covid-19 semakin meningkat.
Ekonomi tetap tidak selamat, sebaliknya kasus Covid-19 semakin meningkat.
Rem dan gas
Pengalaman beberapa negara menunjukkan geliat pemulihan kegiatan ekonomi seiring penyebaran virus yang terkendali. Pasalnya, kluster penularan yang masih meningkat akan memicu ketidakpastian, ekonomi berbiaya tinggi, tidak efisien, sekaligus risiko terhadap aktivitas masyarakat. Oleh karena itu, penyelamatan ekonomi tidak mungkin terjadi tanpa pengendalian krisis kesehatan secara serius. Sinergi antara rem dan gas harus proporsional dan paralel tanpa harus berpolemik untuk menentukan bagian mana yang lebih prioritas. Sebagaimana orang melangkah, agar terjadi sinergi dan harmonisasi, tetap harus mampu memutuskan kaki kanan atau kaki kiri yang lebih dulu melangkah.
Urgensi sinergi adalah efektivitas kebijakan dan program yang dapat menghasilkan solusi konkret dari masalah utama. Apalagi, terkait pandemi, sebenarnya persoalan ekonomi Indonesia lebih sederhana daripada negara lain.
Urgensi sinergi adalah efektivitas kebijakan dan program yang dapat menghasilkan solusi konkret dari masalah utama.
Setidaknya, ketergantungan dan keterikatan ekonomi Indonesia terhadap perekonomian dunia danpun rantai pasok global kurang dari 20 persen. Motor utama penopang ekonomi Indonesia adalah konsumsi rumah tangga 56-58 persen dan sekitar 34 persen investasi ditopang 99 persen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Artinya sangat jelas, cukup fokus pada dua prioritas utama, yaitu melalui efektivitas program sosial dan ekonomi. Pertama, stimulus fiskal dalam bentuk perlindungan sosial fokus menahan daya beli masyarakat yang merosot.
Kedua, upaya pemulihan ekonomi nasional fokus pada pemulihan kegiatan UMKM yang produktif, inovatif, dan adaptif terhadap kondisi pandemi. Terobosan akan efektif jika dilandasi semangat kesadaran terhadap krisis dan kesadaran mesti bekerja dalam kondisi di luar kebiasaan.
Namun, jika upaya terobosan hanya menjadi retorika, hasilnya akan berhenti pada ilusi. Contohnya, realisasi stimulus anggaran penanganan Covid-19 hingga 22 Juli 2020 baru Rp 138,28 triliun atau 19,89 persen dari komitmen pagu Rp 695,2 triliun. Angka realisasi itu terdongkrak realisasi anggaran perlindungan sosial yang mencapai Rp 78,12 triliun (38,31 persen), sedangkan realisasi stimulus program pemulihan ekonomi masih di bawah 15 persen.
Terbukti, kemampuan eksekusi yang lemah tidak mampu diselesaikan melalui jalan pintas memberikan ”kekebalan” eksekusi kebijakan melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Sebab, setiap eksekutor program tentu memahami payung hukum, tidak mungkin hanya berpatokan pada satu UU. Kuncinya adalah koordinasi yang efektif, bukan dengan membentuk komite ad hoc. Dalam kondisi luar biasa, yang penting adalah kemampuan kepemimpinan yang kuat sebagai ”panglima perang” untuk mengonsolidasikan seluruh kekuatan utama.
Percepatan eksekusi dan stimulus fiskal bukan diselesaikan melalui jalan pintas yang cenderung mengamputasi kewenangan sesama lembaga tinggi negara. Misalnya, mengurangi pembahasan bersama DPR dan peran pengawasan BPK.
Demikian juga, memacu peran pembiayaan sektor keuangan, bukan menugaskan Lembaga Penjamin Simpanan untuk mengguyurkan likuiditas dan menghilangkan independensi bank sentral melalui berbagi beban pembiayaan fiskal. Termasuk, memanfaatkan dana mitigasi Covid-19 dengan menggunakan BUMN yang berisiko pada terjadinya moral hazard.
Jika berbagai kebijakan jalan pintas tetap diteruskan, justru semakin menghilangkan kepercayaan, baik dari investor di dalam negeri maupun luar negeri. Alhasil, kinerja ekonomi teriwulan III-2020 tidak hanya berisiko kembali negatif, tetapi berpotensi terkontraksi lebih buruk dibandingkan dengan triwulan II-2020. Indonesia bisa terjebak pada risiko resesi yang berkepanjangan.