Kontraksi Ekonomi Triwulan II-2020 Terdalam sejak 1999
Perekonomian pada triwulan II-2020 tumbuh negatif 5,32 persen, yang terdalam sejak krisis finansial Asia dua dekade lalu. Pemerintah harus berupaya ekstra untuk membalikkan laju perekonomian menjadi positif.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia mengalami kontraksi ekonomi terdalam sejak krisis finansial Asia dua dekade lalu. Perekonomian pada triwulan II-2020 tumbuh negatif 5,32 persen. Seluruh aktivitas penggerak ekonomi menurun tajam sebagai konsekuensi pembatasan sosial berskala besar.
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), terakhir kali Indonesia mengalami pertumbuhan negatif pada triwulan I-1999, yakni minus 6,13 persen. Kontraksi ekonomi dampak krisis finansial Asia tahun 1997-1998. Setelah masa krisis berakhir, pertumbuhan RI selalu positif, bahkan bertahan pada kisaran 5 persen dalam beberapa tahun terakhir.
Produk domestik bruto (PDB) Indonesia atas dasar harga berlaku turun dari Rp 3.963,9 triliun pada triwulan II-2019 menjadi Rp 3.922,7 triliun pada triwulan II-2020. PDB menurut lapangan usaha ataupun pengeluaran mengalami penurunan sangat tajam.
Secara tahunan, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang Januari-Juli 2020 terkontraksi 1,26 persen dibandingkan dengan periode sama tahun 2019.
”Selama triwulan II-2020, pandemi Covid-19 membawa dampak sangat buruk. Menciptakan keseimbangan antara ekonomi dan kesehatan bukan persoalan gampang,” kata Kepala BPS Suhariyanto dalam telekonferensi pers di Jakarta, Rabu (5/8/2020)
Ditilik berdasarkan lapangan usaha, 10 dari 17 sektor usaha penopang pertumbuhan ekonomi tumbuh negatif pada triwulan II-2020 secara tahunan. Enam sektor tumbuh positif kendati melambat, yaitu pertanian, jasa keuangan, jasa pendidikan, real estat, jasa kesehatan, dan pengadaan air.
Sektor usaha yang terkontraksi paling dalam adalah transportasi dan pergudangan tumbuh negatif 30,84 persen. Satu-satunya sektor yang tumbuh positif dan tidak mengalami perlambatan adalah informasi dan komunikasi sebesar 10,88 persen. Sektor lainnya tumbuh positif, tetapi melambat.
Suhariyanto mengatakan, kontraksi pertumbuhan di banyak sektor menyebabkan pergeseran struktur PDB. Misalnya, kontribusi sektor pertanian meningkat dari 13,57 persen pada triwulan II-2019 menjadi 15,46 persen pada triwulan II-2020. Sebaliknya, kontribusi transportasi dan pergudangan turun dari 5,57 persen menjadi 3,35 persen.
”Meski terjadi pergeseran, secara umum, struktur PDB tidak banyak berubah, di mana 65 persen pertumbuhan ekonomi masih ditopang industri, pertanian, perdagangan, konstruksi, dan pertambangan,” kata Suhariyanto.
Sumber pertumbuhan ekonomi dari sisi pengeluaran juga turun tajam. Pada triwulan II-2020, konsumsi rumah tangga tumbuh negatif 5,51 persen, investasi negatif 8,61 persen, ekspor negatif 11,66 persen, impor negatif 16,96 persen, konsumsi pemerintah negatif 6,9 persen, dan konsumsi lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga (LNPRT) negatif 7,76 persen.
Kontraksi pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan investasi mengerek turun pertumbuhan ekonomi. Kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap total PDB triwulan II-2020 mencapai 57,85 persen, sementara investasi 30,61 persen. Hampir semua subsektor dalam konsumsi rumah tangga dan investasi tumbuh negatif.
Triwulan III-2020
Suhariyanto mengatakan, pemerintah harus berupaya ekstra agar konsumsi rumah tangga dan investasi bergerak positif pada triwulan III-2020. Kedua komponen itu akan menentukan pertumbuhan ekonomi triwulan selanjutnya positif atau negatif. Implementasi kebijakan dan serapan anggaran krusial.
”Sesuai arahan Presiden, pencairan stimulus penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi harus dipacu untuk mendorong permintaan, penawaran, serta meningkatkan daya beli masyarakat,” kata Suhariyanto.
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan investasi utamanya perlu didorong di Jawa dan Sumatera sebagai penopang ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi Jawa pada triwulan II-2020 tercatat negatif 6,69 persen dengan kontribusi 58,55 persen, sementara pertumbuhan ekonomi di Sumatera minus 3,01 persen dengan kontribusi 21,49 persen.
Menurut Suhariyanto, beberapa indikator mulai mengalami perbaikan pada Juni 2020 meski masih jauh dari normal. Misalnya, ada pergerakan aktivitas ekonomi di sektor transportasi udara internasional ataupun domestik, angkutan kereta api, dan angkutan laut. Pemulihan ekonomi tetap ditentukan oleh kedisiplinan masyarakat mematuhi protokol kesehatan.
Dihubungi secara terpisah, ekonom PT Bank Danamon Tbk, Wisnu Wardhana, berpendapat, kinerja ekonomi triwulan III-2020 memang bergantung pada serapan belanja pemerintah. Namun, selain itu, perubahan perilaku konsumen menjadi kunci yang menentukan arah ekonomi ke depan. Selama masyarakat belum nyaman berbelanja, ukuran ekonomi akan terus mengecil secara bertahap.
”Kenyamanan masyarakat untuk membelanjakan uangnya ditentukan oleh iklim, pendapatan, dan ekspektasi terhadap kondisi di masa yang akan datang,” kata Wisnu.
Pemerintah perlu mencari titik keseimbangan antara penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi. Jangan sampai pembukaan aktivitas ekonomi dibarengi peningkatan kasus yang signifikan. Kondisi tersebut akan memengaruhi psikologis masyarakat untuk berbelanja, terutama pada kelompok kelas menengah.
Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menuturkan, pemerintah berupaya supaya ekonomi tidak tumbuh negatif pada triwulan III-2020 agar Indonesia tidak mengalami resesi. Caranya dengan mendorong stimulus belanja dan membuka ekonomi secara bertahap. Selama ini, kendala utama eksekusi kebijakan di tengah pandemi adalah data historis.
Perbaikan histori data terus dilakukan tidak hanya terkait bantuan sosial. Histori data dibutuhkan untuk memilah antara belanja yang butuh ketepatan dan kecepatan. Langkah ini penting mengingat pemulihan ekonomi akan lebih lambat dari perkiraan. Konsensus global sekitar 56 persen memproyeksikan skema pemulihan ekonomi berbentuk U.