Kebijakan Baku Mutu Emisi Berisiko Finansial bagi PLN
PLN diminta mengurangi dampak emisi yang dihasilkan dari pembangkit listrik berbahan bakar batubara. Ada dampak finansial dari kebijakan ini. Sementara, pemanfaatan energi terbarukan belum optimal.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) menyampaikan risiko finansial dari penerapan kebijakan baku mutu emisi pada pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU di Indonesia. Risiko tersebut adalah kenaikan biaya pokok penyediaan dan potensi pembengkakan subsidi listrik.
Namun, PLN diminta tetap berkomitmen mendorong pemanfaatan sumber energi bersih pada pembangkit listriknya.
Hal itu mengemuka dalam rapat dengar pendapat di Komisi VII DPR yang dihadiri Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini dan jajaran direksi PLN, Selasa (25/8/2020). Rapat mengagendakan pembahasan kemajuan proyek pembangkit 35.000 megawatt, kinerja keuangan perusahaan, dan penjelasan PLN tentang kebijakan baku mutu emisi pada pembangkit listrik.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 15 Tahun 2019 tentang Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Termal mengatur batas baku mutu emisi pada sejumlah pembangkit listrik. Parameter yang digunakan antara lain kadar maksimum kandungan sulfur dioksida, nitrogen oksida, partikulat, dan kandungan merkuri. Kebijakan ini berlaku untuk sejumlah jenis pembangkit, seperti PLTU, pembangkit listrik tenaga mesin gas, pembangkit listrik tenaga gas dan uap, pembangkit listrik tenaga panas bumi, serta pembangkit listrik tenaga biomassa.
Menurut Zulkifli, kebijakan tersebut berdampak pada pembangunan PLTU yang kontraknya sudah ditandatangani sebelum Peraturan Menteri LHK Nomor 15 Tahun 2019 terbit. Ia berharap peraturan itu tidak berlaku surut. PLN perlu masa transisi secara perlahan untuk melaksanakan kebijakan pembatasan baku mutu emisi pada pembangkit listrik.
”Dengan kebijakan tersebut, harus ada investasi untuk melengkapi alat pengendali emisi pada sejumlah pembangkit yang kami operasikan. Dampaknya secara finansial akan menyebabkan biaya pokok penyediaan tenaga listrik naik Rp 104 per kWh dan berpotensi menambah beban subsidi listrik hingga Rp 10,7 triliun per tahun,” kata Zulkifli.
Kendati demikian, kata Zulkifli, PLN tetap berkomitmen mengoptimalkan penggunaan sumber energi bersih sebagai sumber energi primer pembangkit listrik. Beberapa hal yang dilakukan PLN adalah pengalihan pemakaian bahan bakar solar murni dengan biosolar (B-30), penggunaan teknologi rendah karbon pada sejumlah pembangkit, seperti teknologi supercritical dan ultra supercritical, serta metode co-firing. Metode ini dilakukan dengan mencampur material lain pada komposisi tertentu bersama batubara sebagai sumber energi PLTU. Material yang digunakan antara lain pelet kayu.
”Cara lainnya adalah dengan terus mendorong pengembangan pembangkit listrik tenaga bayu, pemanfaatan lahan bekas tambang sebagai area pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), atau membangun PLTS terapung pada waduk-waduk yang tak perlu pembebasan lahan,” ujar Zulkifli.
PLN tetap berkomitmen mengoptimalkan penggunaan sumber energi bersih sebagai sumber energi primer pembangkit listrik.
Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Gerindra Ramson Siagian menyarankan PLN berkoordinasi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian LHK terkait baku mutu emisi pada pembangkit listrik. Pasalnya, mayoritas pembangkit listrik di Indonesia saat ini menggunakan batubara sebagai sumber energi primer. Sementara, pengembangan sumber energi terbarukan di Indonesia belum optimal.
”Potensi sumber energi terbarukan di Indonesia besar, tetapi pemanfaatannya belum optimal. Untuk membangun PLTU yang murah saja mesti harus berutang ke sana-sini. Masalah ini (kebijakan baku mutu emisi) harus dipertimbangkan dan bagaimana dampaknya ke depan,” ujar Ramson.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa mengatakan, seluruh pelaku industri ketenagalistrikan di Indonesia harus mematuhi peraturan yang diterbitkan Menteri LHK. Menurut dia, PLN tidak bisa berdalih ketentuan itu menyebabkan biaya pokok penyediaan naik sehingga subsidi listrik berpotensi membengkak.
”Pengetatan baku mutu emisi tersebut tetap harus dipatuhi PLN. Dibandingkan negara lain, mereka lebih ketat dalam mengatur baku mutu emisi ketimbang di Indonesia. Sebenarnya standar baku mutu emisi kita masih lebih rendah dan ini berdampak pada biaya kesehatan publik akibat pencemaran udara,” kata Fabby.
Pengetatan baku mutu emisi tersebut tetap harus dipatuhi PLN.
Data pemerintah menunjukkan, hingga Mei 2020, bauran energi pembangkit listrik di Indonesia masih didominasi batubara sebesar 63,92 persen. Gas ada di posisi kedua sebesar 18,08 persen, energi terbarukan sebesar 14,95 persen, dan bahan bakar minyak 3,05 persen.