Rentan Terimbas Pandemi, Pekerja Muda Butuh Pendampingan
Satu dari lima pekerja muda di Indonesia telah berhenti bekerja sejak awal pandemi. Program pendampingan untuk pekerja muda, baik pemberdayaan untuk bekerja maupun berwirausaha, mesti diintensifkan.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anak muda menjadi salah satu kelompok yang rentan terkena imbas guncangan pandemi Covid-19. Program pendampingan untuk pekerja muda, baik pemberdayaan untuk bekerja maupun berwirausaha, harus diintensifkan.
Survei Organisasi Buruh Internasional (International Labor Organization) bertajuk ”Global Survey on Youth and Covid-19” pada Agustus 2020 menunjukkan, tenaga kerja muda menjadi kelompok pekerja yang rentan selama pandemi. Satu dari lima pekerja muda di Indonesia telah berhenti bekerja sejak awal pandemi. Alasan utamanya karena masa kontrak kerja selesai, mengundurkan diri, mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), dan perusahaan tutup.
Sebanyak 52,3 persen pemuda yang disurvei juga mengalami pengurangan jam kerja nyaris separuh dari durasi normal sehingga berimbas pada menurunnya produktivitas dan pendapatan mereka. Anak muda juga sulit mencari pekerjaan baru lagi karena dua alasan utama, yakni tidak banyak lowongan pekerjaan selama pandemi serta karena pengalamannya tidak cukup lama di dunia kerja.
National Programme Officer International Labour Organization (ILO) untuk Indonesia Tendy Gunawan, Kamis (27/8/2020), mengatakan, guncangan yang dialami anak muda juga relatif besar karena 75 persen bekerja di sektor informal tanpa standar pemasukan rutin dan perlindungan sosial. Mereka juga lebih rentan dirumahkan dan di-PHK karena baru bekerja dan masih berstatus pekerja kontrak.
Namun, perhatian pada pekerja muda secara khusus masih minim, khususnya dalam hal pemberdayaan dan pendampingan. Tendy mencontohkan, program Kartu Prakerja, yang memberikan pelatihan untuk menambah kapasitas pekerja yang terdampak Covid-19, perlu diiringi dengan program pemagangan di sektor-sektor yang tumbuh selama pandemi agar pelatihan yang didapat tidak sia-sia.
Sejauh ini, program Kartu Prakerja hanya bertujuan sebagai program semi-bantuan sosial. Selain mendapat insentif per bulan, peserta juga mendapatkan program pelatihan daring. Namun, tidak ada program lanjutan link and match yang bisa menghubungkan para pencari kerja dengan dunia industri, atau para calon wirausaha ke pasar dan program pemberdayaan UMKM.
”Perlu ada sistem pendukung untuk memberdayakan mereka menjadi wirausaha-wirusaha muda. Ini bisa dilakukan dengan berbagai program pelatihan dan pendampingan bisnis,” ujar Tendy dalam diskusi virtual ”Ketenagakerjaan Muda pada Masa dan Pasca-Pandemi Covid-19”.
Direktur Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Mahatmi Parwitasari Saronto mengatakan, sebelum Covid-19 pun tenaga kerja muda sebenarnya sudah menjadi kelompok yang kurang beruntung dibandingkan dengan pekerja di rentang usia lain.
Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2019, tingkat pengangguran terbuka pekerja usia muda (15-24 tahun) mencapai 18,62 persen atau 4 juta orang. Kesempatan kerja untuk tenaga kerja muda pada rentang 2016-2019 hanya di kisaran 1,6 juta.
Mahatmi mengatakan, pasca-pandemi, kondisi semakin rentan bagi pekerja muda. Bukan hanya mereka yang kehilangan pemasukan, melainkan juga angkatan kerja baru yang tengah berburu pekerjaan setelah lulus SMK/SMA dan perguruan tinggi.
Kendala pendataan
Pemerintah telah menyiapkan sejumlah program untuk memitigasi dampak Covid-19 pada sektor ketenagakerjaan, seperti stimulus ekonomi bagi pelaku usaha, Kartu Prakerja bagi korban PHK dan dirumahkan, program padat karya tunai, jaring pengaman sosial untuk pekerja informal miskin, dan yang terbaru subsidi gaji kepada pekerja dengan gaji di bawah Rp 5 juta.
Namun, sebagaimana dalam program lain, pemerintah menghadapi kendala krusial dari sisi pendataan. ”Terus terang saja, kami tidak memiliki data yang cukup baik untuk mendata para pekerja ini. Makanya, program subsidi gaji memanfaatkan data BP Jamsostek karena tidak ada data lain yang akurat terkait tenaga kerja kita dan bagaimana kondisi mereka sekarang di tengah Covid-19,” katanya.
Pemerintah juga belum membangun arah kebijakan dan strategi baru terkait pembangunan kepemudaan. Sampai saat ini, ujar Mahatmi, pemerintah masih mengacu pada skema Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 yang disusun sebelum era pandemi. ”Target-target ini ada kemungkinan direvisi sesuai dengan kondisi Covid-19. Beberapa indikator akan sulit dicapai karena situasi banyak berubah,” ujarnya.
Namun, secara garis besar, program pendidikan dan pelatihan vokasi menjadi kunci untuk memberdayakan angkatan kerja muda serta mendorong anak muda untuk berwirausaha.
Bentuknya melalui pelatihan teknis, bimbingan karier, dan pemagangan atau penempatan kerja untuk pekerja muda. Selain itu, pelatihan kewirausahaan, bimbingan wirausaha, serta akses pasar dan pemodalan untuk para pengusaha muda. Saat ini, ujar Mahatmi, beberapa kementerian/lembaga sudah mulai mencanangkan program pendampingan dan pemberdayaan tersebut.
”Tetapi, ini tidak bisa hanya dilakukan pemerintah; harus lintas pemangku kepentingan, termasuk dengan pengusaha, NGO, dan lembaga pendidikan,” katanya.