Relaksasi Iuran BP Jamsostek Berpotensi Salah Sasaran
Kalau seperti itu syaratnya, perusahaan yang sudah terpuruk tidak bisa ikut karena banyak perusahaan yang kesulitan melunasi iuran sejak awal pandemi.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan memberikan keringanan berupa penyesuaian iuran jaminan sosial ketenagakerjaan selama pandemi. Namun, kebijakan relaksasi itu dinilai berpotensi salah sasaran karena membantu perusahaan yang kondisi keuangannya relatif baik, bukan meringankan beban perusahaan yang sudah terpuruk akibat Covid-19.
Kebijakan relaksasi iuran BP Jamsostek itu diatur lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2020 tentang Penyesuaian Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Selama Bencana Non-Alam Penyebaran Covid-19. PP tersebut ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 31 Agustus 2020 dan diundangkan pada 1 September 2020.
Keringanan iuran akan diberikan kepada perusahaan pemberi kerja, peserta BP Jamsostek berstatus penerima upah, dan peserta bukan penerima upah tertentu. Kelonggaran batas waktu pembayaran iuran diberikan untuk program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pensiun (JP), dari awalnya tanggal 15 tiap bulan menjadi tanggal 30.
Potongan iuran juga diberikan untuk program, seperti JKM dan JKK. Keringanan untuk kedua program ini diberikan sebesar 99 persen sehingga iuran hanya 1 persen. Iuran JKM setiap bulannya adalah 0,3 persen dari upah sebulan, sementara iuran JKK berkisar dari 0,24 persen sampai 1,74 persen.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, Selasa (8/9/2020), mengatakan, relaksasi iuran itu tidak akan banyak membantu usaha yang saat ini sedang terpuruk akibat Covid-19. Bahkan, bantuan itu dinilai berpotensi salah sasaran.
Pasal 13 PP No 49/2020 mengatur, perusahaan diberi keringanan iuran setelah melunasi iuran sampai dengan Juli 2020. Saat ini, ada banyak perusahaan yang kondisi keuangannya sulit sehingga terpaksa menunggak iuran.
”Kalau seperti itu syaratnya, perusahaan yang sudah terpuruk tidak bisa ikut. Karena banyak perusahaan yang kesulitan melunasi iuran sejak awal pandemi,” kata Hariyadi saat dihubungi di Jakarta.
Relaksasi iuran itu tidak akan banyak membantu usaha yang saat ini sedang terpuruk akibat Covid-19. Bahkan, bantuan itu dinilai berpotensi salah sasaran.
Hariyadi yang juga Ketua Perkumpulan Hotel dan Restoran Indonesia itu mencontohkan sektor pariwisata yang sejak awal pandemi sudah merasakan pukulan terhadap kondisi keuangannya. ”Skema ini seperti membantu perusahaan yang masih mampu, bukan membantu perusahaan yang memang terpukul pandemi,” ujarnya.
Ia menambahkan, keringanan iuran untuk program JKM dan JKK tidak banyak memberi dampak karena premi iurannya memang rendah. Premi yang besar adalah untuk program JHT dan JP, tetapi untuk kedua program itu tidak ada relaksasi berupa potongan iuran. ”Memang membantu, tetapi pengaruhnya kecil sekali,” katanya.
Ia berharap, di tengah situasi ini, ada kelonggaran untuk menunggak iuran atau menggeser waktu pembayaran hingga tahun depan ketika ekonomi mulai pulih. Ia juga meminta keringanan berupa dibebaskan dari denda keterlambatan atau tunggakan iuran. ”Akan tetapi, perusahaan harus bisa membuktikan kalau memang dalam kondisi sulit,” katanya.
Saat dimintai keterangan terkait program relaksasi iuran ini, Kepala Seksi Pemberitaan Kementerian Ketenagakerjaan Dicky Risyana dan Deputi Direktur Bidang Humas dan Antar Lembaga BP Jamsostek Irvansyah Utoh Banja mengatakan, BP Jamsostek menolak berkomentar sebelum keterangan resmi yang akan disampaikan Kementerian Ketenagakerjaan pada Rabu (9/9/2020).
Beban iuran BP Jamsostek yang dinilai tinggi selama ini kerap dijadikan alasan perusahaan untuk tidak mendaftarkan pekerjanya ke program jaminan sosial ketenagakerjaan.
Data BP Jamsostek, sampai Juli 2020, dari total 92,4 juta tenaga kerja Indonesia yang seharusnya terdaftar di BP Jamsostek, baru 49,7 juta orang atau 52 persen yang terdaftar. Mereka terdiri dari pekerja penerima upah (39 juta orang), pekerja migran Indonesia (459.000 orang), pekerja bukan penerima upah (2,4 juta orang), dan pekerja jasa konstruksi (7,6 juta orang).
Selama pandemi, jumlah kepesertaan BP Jamsostek itu terus menurun. Hingga akhir Juli 2020, sebanyak 4,9 juta orang tenaga kerja keluar dari kepesertaan. Jumlah peserta yang keluar ini meningkat dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Jumlah kepesertaan juga menurun karena banyaknya pekerja yang mengalami PHK selama pandemi.
Direktur Utama BP Jamsostek Agus Susanto mengingatkan perusahaan akan kewajibannya mendaftarkan pekerjanya dalam BP Jamsostek. Bantuan subsidi upah yang sejauh ini sudah disalurkan tiga tahap hanya sebagai nilai tambah sebagai peserta BP Jamsostek.
Ada manfaat yang lebih fundamental lagi, yaitu perlindungan atas kecelakaan kerja, kematian, dan hari tua. ”Ini sudah menjadi perintah regulasi. Ada kewajiban perusahaan untuk mendaftarkan karyawannya ke BP Jamsostek,” katanya.
Ini sudah menjadi perintah regulasi. Ada kewajiban perusahaan untuk mendaftarkan karyawannya ke BP Jamsostek.
Adapun bantuan subsidi gaji kepada pekerja peserta BP Jamsostek dengan gaji di bawah Rp 5 juta akan diperpanjang sampai tahun 2021.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, pemerintah terus melakukan evaluasi terhadap program subsidi gaji yang sejauh ini sudah berlangsung tiga tahap. Aspek efektivitas program serta tantangan kondisi perekonomian pada 2021 menjadi pertimbangan pemerintah untuk memperpanjang program subsidi gaji itu.
Perusahaan pun diingatkan untuk proaktif menyetorkan nomor rekening pekerjanya yang memiliki gaji di bawah Rp 5 juta ke BP Jamsostek. Sampai 8 September 2020, sudah ada 11,7 juta data nomor rekening pekerja yang lolos tahap validasi berlapis di BP Jamsostek. Artinya, sisa kuota untuk mendapat subsidi gaji tahun ini tinggal 4 juta pekerja dari total target 15,7 juta orang.
Sejauh ini, bantuan sudah ditransfer ke 3,6 juta orang. Pada tahap pertama, bantuan sudah cair untuk 2,31 juta orang dari total 2,5 juta orang calon penerima (92,45 persen). Pada tahap kedua, bantuan sudah cair untuk 1,38 juta orang dari total 2,5 juta calon penerima (46,2 persen). Sementara, untuk tahap ketiga, ada 3,5 juta orang calon penerima yang saat ini baru akan diproses pencairannya.
”Kami mengimbau perusahaan untuk membangun komunikasi dan dialog terkait data rekening kepada para pekerja untuk memastikan tidak ada kesalahan dalam data rekening sehingga penyaluran tepat sasaran,” kata Ida.