Kebutuhan belanja pemerintah di tengah pandemi Covid-19 semakin meningkat meski di sisi lain kemampuan penerimaan pajak turut melambat. Ini jadi penyebab kebutuhan pembiayaan melalui utang bertambah signifikan.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peningkatan utang luar negeri sulit dihindari karena penerimaan negara seret, sedangkan pemerintah memerlukan dana untuk menangani pandemi Covid-19. Pelonggaran utang untuk memenuhi kebutuhan fiskal bisa menjadi bom waktu jika tidak dikalkulasi secara akurat.
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan, kebutuhan belanja pemerintah di tengah pandemi Covid-19 semakin meningkat. Di sisi lain, penerimaan pajak di masa pandemi melambat sehingga kebutuhan pembiayaan bertambah signifikan.
”Perbankan lebih selektif menyalurkan kredit sehingga swasta memilih meminjam dana dari luar. Sementara utang pemerintah tidak terlepas dari penerbitan surat utang yang gencar untuk kebutuhan belanja di tengah pandemi,” katanya saat dihubungi, Rabu (16/9/2020).
Berdasarkan data statistik utang luar negeri Indonesia yang dirilis Bank Indonesia, utang luar negeri Indonesia per Juni 2020 sebesar 408,955 miliar dollar AS. Dengan nilai tukar berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Rabu, yakni Rp 14.844 per dollar AS, utang itu setara Rp 6.070 triliun. Utang luar negeri itu terdiri dari utang pemerintah dan BI 199,286 miliar dollar AS serta utang swasta 209,669 miliar dollar AS.
Data yang sama menunjukkan rasio utang luar negeri terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 37,33 persen per akhir triwulan II-2020. Setiap tahun, rasio ini meningkat, yang terlihat dari posisi pada triwulan II-2019, yakni 36,52 persen, dan triwulan II-2018 sebesar 33,91 persen.
Menurut Yusuf, langkah pemerintah menggunakan instrumen fiskal untuk memperkuat daya beli masyarakat sudah tepat. Namun, sejak sebelum pandemi Covid-19, penerimaan negara dari pajak masih rendah sehingga pemerintah perlu melonggarkan rasio utang terhadap PDB.
Yusuf mengingatkan, peningkatan rasio utang tetap harus dikompensasi dengan kenaikan pajak yang lebih besar di kemudian hari. Hal ini menimbulkan dilema bagi pemerintah karena insentif pajak masih diperlukan untuk mendorong konsumsi rumah tangga.
Peningkatan rasio utang tetap harus dikompensasi dengan kenaikan pajak yang lebih besar di kemudian hari.
Ia menegaskan, pelonggaran rasio utang terhadap PDB harus dilakukan secara terukur. Berkaca dari krisis 2008, pelonggaran rasio utang dapat dilakukan hingga konsumsi masyarakat semakin menggeliat. Hal ini hanya bisa dilakukan jika penggunaan utang luar negeri terkonsentrasi untuk pemulihan ekonomi nasional.
”Pelonggaran rasio utang luar negeri idealnya dilakukan dua tahun karena dilihat dari perjalanan pandemi Covid-19 belum terlihat kurva melandai dalam waktu cepat,” ujarnya.
Pertumbuhan ekspor barang dan jasa tidak sepadan dengan pertumbuhan utang luar negeri. Kondisi ini, menurut Yusuf, menumpuk beban utang dari tahun ke tahun.
”Kita perlu mendorong ekspor dan mendorong investasi berorientasi ekspor supaya rasio utang luar negeri terhadap penerimaan ekspor barang dan jasa menjadi lebih baik,” kata Yusuf.
Senada dengan Yusuf, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menilai, pelonggaran rasio utang menyebabkan ketahanan fiskal semakin rentan. Kebutuhan belanja negara yang tinggi akibat wabah Covid-19 membuat pemerintah mencari pembiayaan dari utang luar negeri.
”Jika kalkulasi penerimaan utang tidak tepat, kondisi fiskal akan makin kritis di tengah penerimaan pajak diproyeksi anjlok seiring pelemahan ekonomi masyarakat,” ujarnya.
Sementara Staf Khusus Kementerian Keuangan Yustinus Prastowo menegaskan, pemerintah tetap mengelola utang dengan hati-hati. Pelonggaran utang terpaksa dilakukan karena kebutuhan belanja meningkat seiring dengan aktivitas ekonomi yang menurun akibat pandemi.
”Ekonomi turun, pajak turun di masa pandemi yang membuat kebutuhan belanja negara meningkat untuk sosial. Pajak tidak bisa diandalkan sehingga utang luar negeri menjadi longgar,” kata Yustinus.
Pajak tidak bisa diandalkan sehingga utang luar negeri menjadi longgar.
Hingga Agustus 2020, penerimaan negara Rp 1.028,02 triliun atau merosot 13,5 persen secara tahunan. Nilai itu sekitar 60,52 persen dari target penerimaan tahun ini yang sebesar Rp 1.699,9 triliun.