Sumber tanah yang akan dikelola bank tanah nantinya tidak mengganggu agenda reforma agraria.
Oleh
Agnes Theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah membentuk bank tanah lewat RUU Cipta Kerja demi memudahkan pengadaan lahan untuk investasi dikhawatirkan mengusik agenda reforma agraria. Sejumlah fraksi di DPR mengusulkan pengelolaan bank tanah dibatasi agar tidak bertentangan dengan redistribusi tanah untuk rakyat.
Hal itu mengemuka dalam rapat Panitia Kerja RUU Cipta Kerja yang disiarkan secara virtual, Kamis (17/9/2020). Selama dua hari terakhir, pembahasan berkutat pada kluster pengadaan lahan untuk investasi dan pembangunan, khususnya isu pembentukan bank tanah dan pengembangan kawasan ekonomi khusus (KEK).
Sejumlah fraksi mengusulkan agar sumber tanah yang akan dikelola bank tanah tidak mengganggu agenda reforma agraria.
Anggota Panja RUU Cipta Kerja dari Fraksi PDI-P, Arteria Dahlan, menilai, konsep bank tanah sejatinya hanya untuk mengadakan tanah bagi kepentingan investasi dan pembangunan infrastruktur, seperti pengembangan KEK.
Oleh karena itu, sumber bank tanah seharusnya bukan tanah yang menjadi obyek reforma agraria sebagaimana sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
”Jadi, tanah-tanah telantar sekalipun atau hak guna usaha yang sudah habis izin tidak boleh menjadi obyek bank tanah,” katanya.
Dengan demikian, bank tanah tidak menjadi institusi reforma agraria. Redistribusi lahan untuk rakyat dilakukan melalui mekanisme yang terpisah agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dan misprioritas.
Sejumlah fraksi mengusulkan agar sumber tanah yang akan dikelola bank tanah tidak mengganggu agenda reforma agraria.
Ia juga menyoroti perpanjangan jangka waktu hak pengelolaan tanah alias HGU yang menjadi 90 tahun dalam RUU Cipta Kerja. Dalam UU Pokok Agraria sebelumnya, HGU paling lama diberikan 25 tahun dan maksimal 35 tahun untuk kasus tertentu.
Anggota Baleg dari Fraksi partai Nasdem, Taufik Basari, mengatakan, koridor atau pembatasan pengelolaan bank tanah harus dinormakan secara jelas dalam RUU Cipta Kerja. Pertama, obyek bank tanah tidak termasuk obyek reforma agraria. Kedua, sumber pendanaan bank tanah harus berasal dari pemerintah, bukan dari swasta dan pihak asing.
”Harus dinormakan batasan-batasan ini agar ide pembentukan bank tanah ini bisa diterima dengan hati lebih tenang,” kata Taufik.
Sekretaris Jenderal Kementerian Agraria dan Tata Ruang Himawan Arief Sugoto mengatakan, perolehan tanah di bank tanah bisa didapat dari beberapa sumber, yakni kebijakan penetapan menteri atas hak tanah yang tidak diperpanjang, tanah telantar, serta kebijakan pemerintah menetapkan suatu obyek tanah ke dalam bank tanah terlebih dulu.
”Sebagai badan yang bekerja sama dengan pihak ketiga, tentu bank tanah akan punya pendapatan. Pendapatan itu tidak ada dividennya, tetapi dikembalikan lagi untuk mengembangkan bank tanah dengan membeli tanah-tanah lagi,” katanya.
Harus dinormakan batasan-batasan ini agar ide pembentukan bank tanah ini bisa diterima dengan hati lebih tenang.
Bank tanah, ujarnya, juga bertugas menghimpun tanah dan mendistribusikan tanah kembali untuk kepentingan umum, sosial, dan reforma agraria yang terkendali, selain untuk kepentingan pembangunan dan ekonomi. Namun, pemerintah sependapat dengan DPR untuk menormakan sejumlah batasan dan koridor terkait pengelolaan bank tanah.