Kisah Meeka, Kopi Dogiyai, dan Cerita Kopi Nusantara
Cerita kopi di Tanah Air bukan hanya tentang biji kopi yang dipetik, disangrai, digiling, lalu diseduh menjadi secangkir kopi yang nikmat. Kopi di Nusantara punya kisah perjuangan petani dan perjalanan biji kopi.
”Halo, saya Meeka, atau Meekabo! Seorang coffee nerd asli Dogiyai yang sedang mengukir mimpi untuk mengenalkan kopi Dogiyai ke mata dunia,” sapa Meeka dengan gaya riang dan ceria.
Sapaan itu ditujukan bagi tamu akun Instagram @Belift.Dogiyai. Meeka, gadis pegiat kopi berusia 26 tahun kelahiran Dogiyai, Papua, menceritakan kisah hidupnya melalui unggahan di Instagram.
”Saya punya keinginan untuk menjual 2.000 coffee bags dari Dogiyai, mengalokasikan 100 persen hasil penjualan ke petani Dogiyai, dan membawa kopi Dogiyai ke pameran di New Orleans, USA, tahun 2021,” katanya lagi.
Pada 2012, Meeka meninggalkan kampung halamannya untuk kuliah di IPB University jurusan pertanian. Ia mengikuti program pertukaran pelajar ke University of Wisconsin-Madison di Amerika Serikat. Beberapa tahun kemudian, Meeka ke Jakarta untuk menggeluti dunia penyangraian kopi dan aktif menulis tentang kopi.
Meeka kecil sudah akrab dengan dunia kopi karena tumbuh di tengah masyarakat petani kopi. Ia bercita-cita memperluas akses pasar bagi petani Dogiyai. Memutuskan pulang kampung pada Agustus 2020 setelah melanglang buana adalah keputusan berat baginya.
Namun, pesan ayahnya selalu terngiang di kepalanya. ”Meeka Wae, ko jangan lupa ko punya asal. Ko itu anak Tanah Papua,” kata ayahnya.
Berbekal pesan sang ayah, Meeka membulatkan tekad untuk kembali ke Dogiyai dan berjuang mengenalkan kopi dari kampung kelahirannya ke Indonesia, bahkan dunia.
Sepanjang bertamu ke Instagram Belift Dogiyai, unggahan Meeka terasa begitu personal dan dekat. Suara Meeka, yang ceria saat membaca cerita tentang kesehariannya, merasuk. Ada cerita tentang kopi, kehidupan sehari-hari di Dogiyai, serta renungan soal lika-liku kehidupan dan cinta. Rasanya seperti bertukar kabar dengan sahabat.
Namun, Meeka adalah ”avatar” atau karakter fiksi yang direka tim Belift Dogiyai. Tim yang berdiri pada 2019 itu terdiri dari anak-anak muda yang berupaya memberdayakan petani kopi Indonesia dengan akses pasar, sumber daya finansial, dan pengetahuan tentang proses setelah panen.
Mereka tersebar di Surabaya, Yogyakarta, hingga San Francisco, California, AS. Ada belasan orang yang terbagi menjadi tiga tim, yakni tim penyangrai kopi (roasting) di Surabaya, tim media untuk berbagi kisah di Instagram, serta tim petani lokal di daerah produsen kopi.
Tim Belift bekerja sama dengan petani lokal. Tidak hanya membeli hasil panen petani, tetapi juga menampilkan cerita interaktif dengan tokoh personal. Daerah produsen kopi yang dipilih untuk proyek pertama adalah Dogiyai, hasil kerja sama tim Belift dengan seorang petani dan aktivis lokal, Hanok Harison Pigai (36).
Dogiyai memasuki masa panen raya pada Mei-Juni dan Oktober-November dengan kapasitas 5-10 ton per tahun. Selama ini, jangkauan paling jauh kopi Dogiyai adalah sejumlah kedai kopi di Jakarta dan Surabaya. Seperti halnya kopi dari beberapa sentra produksi, kopi Dogiyai yang ditanam di ketinggian 1.200-1.600 meter di atas permukaan laut juga sulit terserap pasar selama pandemi Covid-19. Kopi hasil panen pada akhir 2019 masih tersisa, bahkan mulai tertumpuk hasil panen terbaru.
Baca juga : Stok Menumpuk, Harga Kopi di Tingkat Petani Turun
Hanok menuturkan, produksi kopi normal, tetapi makin sulit dipasarkan dan sulit diserap pasar. ”Gerakan-gerakan bersama menjadi solusi bagi petani pada saat kondisi seperti ini. Bersyukur, masih banyak orang yang mau menyuarakan kopi lokal. Tidak hanya menjual kopi petani, tapi juga mendengar dan mengangkat kisah petani,” kata Hanok.
Gerakan-gerakan bersama menjadi solusi bagi petani pada saat kondisi seperti ini.
Tim Belift membeli 500 kilogram (kg) kopi dan mengemasnya dengan strategi pemasaran daring di media sosial. ”Dogiyai dipilih bukan hanya karena permintaan yang turun di masa pandemi, melainkan pada dasarnya akses pasar mereka selama ini tertutup. Kopi Dogiyai enak, tetapi sayangnya tidak ada akses pasar,” kata salah satu inisiator Belift, Ivan Leonardo Hartanto (26).
Kopi Dogiyai adalah kopi arabika beraroma seperti tomat serta nuansa rasa seperti teh hitam dan cokelat. Tanah yang subur di Dogiyai membuat kopi ditanam tanpa pestisida dan pupuk kimia. Hasilnya, kopi specialty grada dengan skor 81,25.
Pemesan kopi Dogiyai dari Belift akan mendapat kopi dalam kemasan apik disertai ”surat” dari Meeka, pamflet berisi informasi penggunaan uang hasil penjualan untuk para petani dan biaya membangun tempat pengolahan kopi di Dogiyai. Disertai juga stiker bertuliskan ”Sa Kawan Dogiyai. Ko?” atau ”Saya Kawan Dogiyai. Kamu?”.
Suara Dogiyai
Ivan mengisahkan, kampanye Belift Dogiyai bukan sekadar menjual dan menyerap hasil kopi petani. Lebih dari itu, membagikan cerita tentang daerah itu dan orang-orangnya.
Karakter Meeka, meski rekaan, dibentuk bersama petani Dogiyai. Harapannya, kisah dan kearifan lokal masyarakat Dogiyai terjaga di balik kemasan apik serta sajian nikmat dan harum kopinya.
Cerita Meeka terinspirasi dari kisah hidup Hanok dan para petani Dogiyai. Hanok dan tim di Dogiyai mewawancarai petani di lapangan, sedangkan tim Belift membantu memasarkan dan mengemas kopi serta cerita para petani di media sosial.
”Kami ingin mengajak konsumen mendapat nilai lebih. Bukan sekadar membeli kopi, melainkan juga mendapat cerita dan budaya lokal di balik kopi itu. Hal ini yang membedakan kami dari gerakan lain,” kata Ivan.
Baca juga : Bisnis Kopi Hulu-Hilir Terimbas Pandemi
Cerita di balik kopi Dogiyai adalah kisah perjuangan petani dan perjalanan panjang biji kopi arabika menuju pasar di luar Papua, di tengah keterbatasan infrastruktur.
Hanok menuturkan, petani kopi Dogiyai harus berjalan kaki 1-3 hari dari kampung ke Moanemani, ibu kota Kabupaten Dogiyai. Ada empat distrik produsen kopi di Dogiyai, yaitu Piyaiye, Sukikai, Pona, dan Mapia Barat. Dari Moanemani, kopi dikirim ke Nabire lewat jalur darat selama 5 jam, kemudian menuju daerah-daerah lain di Indonesia lewat jalur laut dan udara.
”Cerita ini yang ingin dibagikan lewat gerakan kopi Dogiyai. Perjalanan jauh satu biji kopi menceritakan keunikan kehidupan orang Dogiyai dan kerja keras petani untuk membudidayakan kopi arabika,” tutur Hanok.
Petani kopi Dogiyai harus berjalan kaki 1-3 hari dari kampung ke Moanemani, ibu kota Kabupaten Dogiyai.
Menurut catatan, Papua sudah menjadi daerah penghasil kopi ternama sejak 1950-an. Dalam Jelajah Kopi Nusantara oleh Kompas pada 2018, kopi dibawa Pemerintah Belanda atau misionaris yang bertugas di Papua.
Dalam Gereformeerd Gezinsblad, 18 November 1960, disebutkan, Ratu Wilhelmina membahas persoalan bersama pejabat di Papua yang mewakili Gubernur Nederlands Nieuw Guinea sambil menikmati kopi. Mereka berunding di Paleis het Loo, istana kerajaan di kota Gelderland, Provinsi Apeeldoorn, Belanda.
Setelah Perang Dunia II, Belanda menggiatkan pembangunan Papua, termasuk budidaya kopi. Pusat pembibitan dan sekolah pertanian dibangun di Sentani. Penanaman kopi meluas ke sejumlah daerah. Pada 1956, produksi kopi Papua mencapai 100 ton, yang pada 1959 menjadi 970 ton.
Adapun Pater Johan Ferdinand Wijshijer yang mendalami kopi di Pegunungan Mapia, Papua, menemukan catatan yang menyebutkan kopi pernah dikembangkan P Henk Smith OFM pada 1956-1962 di Modio. Modio adalah wilayah pedalaman pertama yang dimasuki misionaris di Pegunungan Tengah. Kini, wilayah itu masuk Kabupaten Dogiyai.
Pengembangan kopi berlanjut hingga ke Lembah Kamuu dan Paniai. Di sana, warga memperoleh bantuan pangan dan bibit kopi dari kalangan misionaris. Pasar kopi terbuka karena hasil panen diangkut menggunakan pesawat yang mengantar para misionaris bertugas (Kompas, 25 April 2018).
Baca juga : Kisah Bulir Kopi dari Pedalaman Papua
Ivan mengatakan, pemilihan cara pemasaran dengan avatar masyarakat Dogiyai merupakan representasi warga Dogiyai. ”Kami tidak mau menjakartakan Meeka atau menjawakan Dogiyai. Ide yang muncul hasil diskusi bersama Pak Hanok dan tim,” tutur Ivan.
Dari 2.000 kotak kemasan kopi yang disiapkan, sudah 250 kotak yang terjual dalam waktu kurang dari dua pekan. ”Seratus persen hasil penjualan akan kembali lagi ke petani,” katanya.
Uang itu akan digunakan untuk membangun fasilitas penjemuran dan gudang penyimpanan kecil untuk hasil panen petani kopi. Kapasitasnya masih terbatas untuk 25 petani dari sekitar 1.000 petani yang ada di Dogiyai. Hanok berharap, gerakan ini bisa mendorong pemerintah daerah aktif membina petani dan memajukan kopi Dogiyai.
”Kami akan minta pemerintah untuk membangun fasilitas yang sama bagi petani lain. Semoga hasil gerakan ini bisa memancing peran pemerintah,” kata Hanok.
Harapan Hanok bukan harapan sepi dari Dogiyai. Harapan senada ditiupkan dari Bengkulu oleh Hendarman, petani kopi, agar pengelolaan kopi dibenahi hulu-hilir.
Setelah Dogiyai, Belift berencana mempromosikan kopi khas dari daerah produsen lain, di antaranya Temanggung (Jawa Tengah) dan Alam (Sumatera Selatan), dan Nusa Tenggara Timur.
”Kami sengaja tidak memilih kopi yang sudah familiar supaya mengangkat daerah produsen lain yang selama ini kurang dikenal,” ujar Ivan.
Satu demi satu, kopi di Tanah Air dikenalkan bersama kisah di baliknya. Menanti kita menghirup wangi dan menyeruput cita rasanya....