Selain berunjuk rasa, sejumlah kelompok masyarakat, termasuk buruh, bersiap mengajukan gugatan uji materi. Pengesahan RUU Cipta Kerja itu dinilai terburu-buru dan berpotensi mengurangi sejumlah hak buruh.
Oleh
Agnes Theodora/Karina Isna Irawan
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penolakan massa meluas menyusul pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja oleh pemerintah dan DPR, Senin (5/10/2020). Selain berunjuk rasa, sejumlah kelompok masyarakat bersiap mengajukan gugatan uji materi. Pengesahan RUU itu dinilai terburu-buru dan berpotensi mengurangi sejumlah hak buruh.
Wakil Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Jumisih, Selasa (6/10/2020), mengatakan, substansi RUU Cipta Kerja melucuti hak-hak dan perlindungan buruh secara perlahan. Dampak dari penerapan RUU itu terhadap taraf hidup masyarakat pekerja akan semakin signifikan di tengah pukulan pandemi Covid-19.
Pemerintah berdalih RUU Cipta Kerja dibuat untuk menyediakan lapangan pekerjaan lebih banyak dan memberi perlindungan bagi buruh. Namun, menurut Jumisih, setelah memperhatikan pasal demi pasal di RUU Cipta Kerja terbaru, garis besar regulasi ketenagakerjaan yang baru tetap lebih banyak mereduksi hak dan perlindungan buruh atas nama investasi.
Ketentuan krusial yang ada di UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dibuat semakin buruk dalam RUU Cipta Kerja. Beberapa di antaranya, ketidakpastian mengenai syarat dan batas waktu pekerja kontrak (perjanjian kerja dengan waktu tertentu atau PKWT) dan pekerja alih daya (outsource), kemudahan pemutusan hubungan kerja, serta standar upah minimum yang terancam lebih rendah.
”Banyak substansi yang justru melucuti kesejahteraan buruh. Bagaimana kita mau membuktikan klaim meningkatkan investasi dan kesejahteraan buruh kalau ternyata banyak hak buruh yang dirampas?” kata Jumisih.
Ketentuan RUU Cipta Kerja juga menambah waktu kerja dan mengurangi cuti buruh demi produktivitas yang lebih tinggi. Namun, tuntutan itu tidak diiringi dengan perlindungan dan jaminan atas hak buruh.
Di sisi lain, RUU tersebut justru memberi banyak keleluasaan kepada pengusaha demi menarik lebih banyak investasi. Direktur Eksekutif Center for Reform on Economics Mohammad Faisal mengatakan, dengan pendekatan itu, lapangan kerja mungkin lebih banyak tercipta. Namun, secara jangka panjang, kesejahteraan buruh yang tereduksi akan mengganggu produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
”Mungkin saja pengangguran terserap, tetapi mereka dibayar dengan standar upah lebih rendah dan tanpa kepastian kerja. Kesejahteraan buruh tidak banyak berubah, tingkat kemiskinan juga tidak akan banyak berubah. Cita-cita tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) justru semakin sulit dicapai,” kata Faisal.
Sebelumnya, pemerintah berdalih RUU Cipta Kerja tetap menguntungkan buruh. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, semangat yang dibangun adalah memperluas penyediaan lapangan kerja dan meningkatkan perlindungan bagi buruh, khususnya perlindungan untuk buruh yang mengalami PHK lewat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
”Terlalu prematur kalau kita tergesa-gesa menyimpulkan RUU Cipta Kerja akan rentan terhadap PHK pekerja,” kata Ida.
”Cek kosong”
Penyusunan rancangan peraturan pemerintah (PP) yang juga akan dikebut dalam waktu satu bulan akan menjadi pertaruhan berikutnya. Beleid itu akan mengatur sejumlah ketentuan krusial yang menentukan hak dan perlindungan pekerja dan masyarakat lainnya.
DPR dan pemerintah menyepakati, sejumlah ketentuan penting dalam RUU Cipta Kerja, khususnya terkait kluster ketenagakerjaan, diatur dalam rancangan PP.
Beberapa di antaranya adalah ketentuan syarat, batas waktu dan kompensasi untuk pekerja kontrak (perjanjian kerja dengan waktu tertentu atau PKWT) dan pekerja alih daya (outsource) serta skema Jaminan Kehilangan Pekerjaan dan patungan pesangon antara pengusaha-negara. PP juga akan mengatur tentang tata cara penghitungan upah minimum serta ketentuan waktu kerja dan lembur untuk buruh.
Ida mengatakan, pemerintah akan segera menuntaskan penyusunan peraturan pelaksana dalam bentuk PP. ”Pemerintah akan segera menyusun peraturan pelaksana dalam bentuk PP dan lainnya untuk meyakinkan buruh bahwa amanat perlindungan buruh dapat dijalankan,” ujarnya.
Namun, Jumisih mengatakan, ”cek kosong” lewat PP itu memberi ketidakpastian kerja bagi buruh. Apalagi, proses pembahasan rancangan PP umumnya secara tertutup dan sepihak di kementerian/lembaga terkait, tanpa intervensi DPR dan publik. ”Bagaimana proses demokrasi tercipta kalau tertutup seperti itu? Bagaimana kita bisa yakin bahwa isinya nanti betul-betul berpihak kepada buruh?” katanya.
Oleh karena itu, buruh akan tetap melakukan perlawanan lewat jalur ligitasi dan nonlitigasi. Jalur ligitasi dilakukan lewat persiapan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Sementara jalur nonlitigasi dilakukan dengan aksi unjuk rasa dan mogok yang sudah dilakukan buruh sejak Selasa dan rencananya hingga Kamis (8/10/2020).
”Kami menempuh semua cara. Akan tetapi, kami tetap menekankan, aspek litigasi tetap dibarengi dengan membangun kekuatan massa untuk menolak RUU ini,” kata Jumisih.
Daya tahan fiskal
Isu lain yang mengemuka terkait RUU Cipta Kerja adalah beban tambahan yang didapat negara untuk ikut membayar pesangon buruh korban PHK. Pasal 42 Ayat (2) RUU menyebutkan, modal awal untuk program Jaminan Kehilangan Pekerjaan ditetapkan paling sedikit Rp 6 triliun yang dianggarkan melalui APBN. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian pesangon akan diatur dalam aturan turunan yang berupa PP.
Peneliti senior SMERU Research Institute, Asep Suryahadi, mengatakan, program Jaminan Kehilangan Pekerjaan belum diatur secara detail dalam draf RUU Cipta Kerja. Karena itu, aturan turunan harus mampu menjawab berbagai pertanyaan tentang skema program baru itu.
”Dalam kondisi saat ini, ditambah detail aturan belum jelas, bisa saja kontribusi Pemerintah terhadap Jaminan Kehilangan Pekerjaan dihitung sebagai bagian dari bansos untuk membantu mereka yang terkena PHK karena dampak Covid-19,” kata Asep.
Menurut Sekretaris Jenderal Sekretaris Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan, regulasi pesangon dalam RUU Cipta Kerja akan membebani keuangan negara tidak hanya dalam masa Covid-19, tetapi juga jangka panjang. Terlebih, ruang fiskal pemerintah sangat ketat saat ini sampai tiga tahun ke depan.
Peraturan pemerintah dapat memuat beberapa skema pendanaan Jaminan Kehilangan Pekerjaan. Alternatif skema yang dinilai tidak terlalu membebani APBN, antara lain, adalah dana abadi dan dana asuransi yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan. Skema pendanaan sebaiknya tidak membentuk lembaga pengelola baru.