Karpet Merah Impor Pangan, Nasib Petani Jadi Taruhan
Pengesahan RUU Cipta Kerja membuka lebar impor pangan. Sebab, impor tidak lagi mensyaratkan kecukupan stok dan produksi dalam negeri. Nasib petani, peternak, dan pembudidaya jadi taruhannya.
JAKARTA, KOMPAS — Pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja membuka peluang lonjakan impor pangan. Sebab, impor tidak lagi mensyaratkan kecukupan stok dan produksi dalam negeri, impor juga menjadi sumber penyediaan pangan yang setara.
Situasi itu dikhawatirkan semakin mengimpit petani, peternak, dan pembudidaya khususnya yang berskala kecil yang sejak Indonesia merdeka masih tertatih mendongkrak kesejahteraannya. Oleh karena kalah bersaing, sementara instrumen perlindungan makin lemah, petani dengan skala usaha kecil bakal semakin terkucil.
Ketua Umum Gerbang Tani Indonesia, sekaligus Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria, Idham Arsyad, Rabu (7/10/2020), berpendapat, revisi terhadap sejumlah pasal dalam Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan jelas-jelas memberi ruang importasi pangan yang lebih luas.
Dalam ketentuan umum UU 18/2012 disebutkan bahwa ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional serta impor apabila kedua sumber utama itu tidak dapat memenuhi kebutuhan. Namun, ketentuan itu direvisi dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi, ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari produksi dalam negeri, cadangan pangan nasional, dan impor pangan.
Pasal 14 (1) UU No 18/2012 soal sumber penyediaan pangan juga direvisi di RUU Cipta Kerja dengan memasukkan pangan impor sebagai salah satu prioritas pengadaan. ”Posisinya (pangan impor) sama dengan pangan hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional,” ujarnya.
Salah satu alasan pemerintah dan DPR mengubah norma tersebut adalah karena Indonesia terikat dengan perjanjian pertanian yang merupakan bagian dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Namun, kata Idham, petani yang justru menjadi korbannya. Padahal, undang-undang semestinya hadir untuk melindungi petani.
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), Dwi Andreas Santosa menilai, perubahan sejumlah pasal UU Pangan dalam RUU Cipta Kerja membuat Indonesia semakin jauh dari cita-cita berdaulat dalam urusan pangan. RUU Cipta Kerja kental dengan konsep ketahanan pangan yang mengintegrasikan produksi dalam negeri dan dunia (importasi).
Baca juga: Kesejahteraan Petani Tertekan di Tengah Pandemi
Risikonya, jika produksi dalam negeri makin tertekan karena tidak lagi jadi prioritas, Indonesia makin bergantung pada pangan impor. Daya tahan Indonesia terhadap krisis pangan global pun melemah. Pergerakan harga pangan di dalam negeri pun semakin dipengaruhi oleh fluktuasi harga pangan di tingkat global.
Menurut Ketua Umum Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia (Intani) Guntur Subagja, pandemi Covid-19 menguji daya tahan pangannya. ”Saat ini semestinya menjadi momentum bagi Indonesia untuk membangun kedaulatan pangan. Produksi dalam negeri seharusnya menjadi prioritas,” katanya.
Nasib petani
Tanpa pelonggaran ketentuan melalui RUU Cipta Kerja, impor pangan Indonesia cenderung naik. Dwi Andreas dalam Lumbung Pangan Nasional (Kompas, 3/8/2020) menyebutkan, impor delapan komoditas—yang volume impornya di atas 300.000 ton per tahun, yaitu gandum, beras, jagung, kedelai, gula tebu, ubi kayu, bawang putih, dan kacang tanah—melonjak dari 21,9 juta ton tahun 2014 menjadi 27,6 juta ton tahun 2018 dan sedikit menurun menjadi 25,3 juta ton di 2019.
Di sisi lain, impor pangan selama ini menjadi salah satu sumber masalah yang menekan kesejahteraan petani di dalam negeri. Hari-hari ini, misalnya, harga garam produksi petambak garam rakyat turun meski produksi juga turun. Impor garam dinilai membuat penyerapan garam oleh industri seret sehingga stok garam rakyat menumpuk.
Impor gula juga berulang membuat petani tebu kesulitan menjual hasil panennya. Harga gula hasil giling tebu petani tertekan dan tak terserap karena pasar banjir gula.
Pelonggaran ketentuan importasi komoditas pangan, kata Dwi Andreas, berpotensi semakin menekan petani karena produknya kalah bersaing. ”Harga sejumlah pangan pokok impor lebih murah dibandingkan (produksi) Indonesia dengan kualitas yang lebih tinggi. Jika produk ini masuk ke pasar, harga di tingkat petani akan anjlok,” ujarnya.
Baca juga: Hak dan Perlindungan Buruh Terciderai
Oleh sebab itu, perubahan UU Pangan melalui RUU Cipta Kerja dapat bermuara pada pemiskinan petani. Hal ini patut diwaspadai pemerintah karena mayoritas penduduk miskin tinggal di perdesaan dan bergantung pada sektor pertanian.
Segenap tekanan yang terjadi di sektor pertanian membuat sebagian pelaku skala kecil bangkrut dan gulung tikar. Dalam jangka panjang, situasi ini menyurutkan peran sektor pertanian. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, peran sektor pertanian mencapai 12,72 persen dalam produk domestik bruto (PDB) tahun 2019, turun ketimbang tahun 2010 yang mencapai 13,93 persen.
Kontribusi sektor pertanian dalam lapangan kerja juga turun. Pada 2000, sektor pertanian menyerap 40,6 juta orang atau 45,2 persen penduduk berusia kerja. Namun, porsinya turun menjadi 29,4 persen dari total 129,3 juta penduduk bekerja pada 2019.
Strategi perlindungan
Terkait perubahan pasal UU Pangan dalam RUU Cipta Kerja, Kepala Biro Hukum Kementerian Pertanian Eddy Purnomo menyatakan, posisi Indonesia memiliki dua pijakan politik pangan. ”Saat berhadapan dengan luar negeri, kita menggunakan politik ketahanan pangan. Saat di dalam negeri, kita menggunakan politik kedaulatan pangan,” katanya saat dihubungi, Rabu (7/10) malam.
Keberpihakan pada produsen pangan dalam negeri itu dilandasi oleh UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Pasal 7 Ayat 2 UU 19/2013 menyatakan, strategi perlindungan petani terdiri dari prasarana dan sarana produksi pertanian, kepastian usaha, harga komoditas pertanian, penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi, ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa, sistem peringatan dini dan penanganan dampak perubahan iklim, dan asuransi.
Baca juga: Peternak Rakyat Makin Terdesak
Meskipun demikian, RUU Cipta Kerja menghapus ketentuan impor Pasal 15 Ayat 2 UU No 19/2013. RUU Cipta Kerja juga menghapus larangan setiap orang mengimpor komoditas pertanian saat ketersediaan dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan konsumsi dan atau cadangan pangan pemerintah. Sanksi terhadap larangan itu yang tertuang di UU No 19/2013 juga dihapus di RUU Cipta Kerja.
Dari segi penyerapan, Eddy menyatakan, pemerintah menjamin lewat norma, standar, prosedur, dan kriteria turunan dari RUU Cipta Kerja. Akan tetapi, Indonesia mesti memperhatikan prinsip perdagangan bebas dan ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia sehingga sejumlah kata perlu disamarkan.
Pemerintah menyusun UU Cipta kerja untuk memangkas regulasi yang terlalu gemuk dan menghambat penciptaan lapangan pekerjaan.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (7/10) sore, menyatakan, pemerintah menyusun UU Cipta kerja untuk memangkas regulasi yang terlalu gemuk dan menghambat penciptaan lapangan pekerjaan. Indonesia menghadapi tantangan untuk lepas dari jebakan negara berpenghasilan menengah.
”UU Cipta Kerja mementingkan kepentingan rakyat dan menegaskan kepastian hukum yang dibutuhkan dalam penciptaan lapangan kerja,” Airlangga.
Lahan pertanian
RUU Cipta Kerja juga merevisi beberapa pasal dalam UU No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Salah satunya Pasal 44 (2) yang memungkinkan alih fungsi lahan pertanian untuk kepentingan umum. Kini, dalam RUU Cipta Kerja, alih fungsi lahan pertanian dimungkinkan tidak hanya untuk kepentingan umum, tetapi juga untuk proyek strategis nasional.
Menurut Idham, petani tidak mungkin dipisahkan dengan tanah. Oleh karena itu, reforma agraria menjadi salah satu jalan menyejahterakan petani. Semangatnya semestinya memprioritaskan alokasi tanah untuk rumah tangga petani berlahan kecil dan bukan ke investor.