Definisi UMKM yang Kabur Berpotensi Munculkan Perselisihan
Definisi UMKM harus dirumuskan secara jelas. Penyesuaian kriteria sesuai kondisi termutakhir dapat memperbaiki kualitas data UMKM di Indonesia.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kriteria usaha mikro, kecil, dan menengah mesti dibuat sejelas mungkin dan disesuaikan dengan kondisi terkini. Kejelasan kriteria tersebut merupakan modal penting dalam membuat kebijakan yang tepat sasaran dan tepat guna di setiap segmen.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal berpendapat, kriteria usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) jangan disusun terlalu kompleks atau rumit. Kriterianya tidak perlu muluk-muluk atau terlalu banyak.
”(Kriteria) Yang penting tajam dan memberi kejelasan. Mana yang masuk mikro, kecil, dan menengah. Kekaburan dikhawatirkan berpotensi memunculkan dispute (perselisihan),” kata Faisal ketika dihubungi, Minggu (18/10/2020).
Perdebatan akibat ketidakjelasan kriteria UMKM bisa saja terjadi ketika, misalnya, dikaitkan dengan stimulus atau kemudahan yang akan diberikan kepada segmen-segmen usaha di sektor tersebut.
Sebagai perbandingan, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM, pada Pasal 6 mengatur kriteria usaha mikro sebagai usaha yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50 juta atau hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300 juta. Kriteria usaha kecil adalah memiliki kekayaan bersih antara Rp 50 juta dan Rp 500 juta atau hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300 juta hingga Rp 2,5 miliar. Adapun kriteria usaha menengah memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500 juta hingga Rp 10 miliar atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2,5 miliar sampai paling banyak Rp 50 miliar.
Kekayaan bersih di tiap segmen (mikro, kecil, menengah) tersebut tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
Namun, RUU Cipta Kerja mengubah ketentuan kriteria UMKM. Disebutkan, kriteria UMKM dapat memuat modal usaha, omzet, indikator kekayaan bersih, hasil penjualan tahunan, atau nilai investasi, insentif dan disinsentif, penerapan teknologi ramah lingkungan, kandungan lokal, atau jumlah tenaga kerja sesuai dengan kriteria setiap sektor usaha. Ketentuan lebih lanjut mengenai UMKM diatur dengan peraturan pemerintah.
Terkait dengan isu pengupahan, UU Cipta Kerja di Bab IV Ketenagakerjaan Pasal 90B mengatur, antara lain, ketentuan upah minimum dikecualikan bagi usaha mikro dan kecil. Upah pada usaha mikro dan kecil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh di perusahaan. Ketentuan lebih lanjut mengenai upah bagi usaha mikro dan kecil diatur dalam peraturan pemerintah.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rizal Taufikurahman, mengatakan, nantinya peraturan pemerintah harus menerjemahkan definisi UMKM secara lebih mendetail.
”Kalau UMKM mau didorong, dinaikkan derajat atau skala usahanya, (definisi) ini seharusnya diterjemahkan secara detail di PP. Bahkan, di petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis setelah nanti ada PP,” ujar Rizal.
Peraturan pemerintah harus menerjemahkan definisi UMKM secara lebih mendetail.
Sebelumnya, Ketua Umum DPP Himpunan Pengusaha Mikro dan Kecil Indonesia (Hipmikindo) Syahnan Phalipi mengatakan, kebijakan pengupahan pada usaha mikro dan kecil seharusnya dibedakan dengan di perusahaan besar. Apalagi, banyak pelaku usaha mikro dan kecil yang merasa berat ketika harus memenuhi ketentuan upah minimum.
Syahnan menambahkan, pada usaha mikro kecil dapat dijumpai pekerja yang tidak mempermasalahkan ketika dibayar tidak sesuai upah minimum. Bagi pekerja ini, hal paling penting adalah tetap bisa bekerja.
Di sisi lain, pelaku usaha mikro kecil yang tidak mampu membayar pegawainya sesuai dengan UMP ada yang berupaya sedikit membantu dengan berbagai cara.
”Misalnya, pelaku usaha mikro kecil itu menanggung uang makan pekerjanya. Di beberapa kasus, ada yang memberi tumpangan tempat tinggal meskipun sederhana,” ujar Syahnan.
Demikian pula dengan pengaturan waktu kerja dan lainnya. Upaya-upaya seperti ini dapat menjadikan pekerja di usaha mikro kecil betah meskipun gaji mereka tidak sesuai dengan UMP.
Menurut Syahnan, hal-hal seperti ini perlu dijaga agar dapat berjalan baik dan, yang terpenting, harus dapat menguntungkan atau diterima kedua belah pihak.