Stok garam nasional menumpuk dan harganya anjlok meski hasil panen cenderung turun tahun ini. Tanpa perlindungan harga, usaha pergaraman bakal semakin ditinggalkan dan upaya menggenjot produksi bakal sia-sia.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pemerintah mendorong usaha pergaraman rakyat belum diimbangi perlindungan harga dan pemasaran yang memadai. Akibatnya, meski hasil panen turun tahun ini, harga garam rakyat anjlok dan stoknya menumpuk karena tak terserap pasar.
Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat, per 16 Oktober 2020, sisa stok garam nasional mencapai 702.870 ton. Produksi garam rakyat tercatat 510.625 ton, sementara produksi PT Garam (Persero) mencapai 118.876 ton.
Masa panen garam mundur tahun ini. Panen biasanya dimulai Juni, tetapi tahun ini mulai Juli karena faktor cuaca. Kementerian Kelautan dan Perikanan bahkan merevisi target produksi garam nasional dari 2,5 juta ton menjadi 1,5 juta ton. Kendati produksi turun, harga garam di petambak justru anjlok, antara lain, karena stok garam sisa tahun lalu belum terserap pasar.
Penumpukan stok garam, antara lain, terjadi di Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT). Pada pertengahan Oktober 2020, stok garam mencapai 15.000 ton. Sementara 102 gudang sudah penuh terisi. Hambatan penyerapan garam dinilai berlangsung sejak tahun 2019.
Sekretaris Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sabu Raijua, Lagabus Pian, mengemukakan, pihaknya telah berulang kali menyampaikan persoalan rendahnya penyerapan garam di wilayahnya ke Kementerian Perdagangan. Namun, upaya itu belum berhasil. Oleh karena itu, pihaknya melayangkan surat ke Presiden Joko Widodo pada 19 Agustus 2020.
”Kami berharap pemerintah pusat membantu solusi mempertemukan produsen garam dengan industri pengguna garam industri sehingga hasil produksi terserap. Kalau ada industri yang tetap membeli, harga garam bisa lebih stabil,” katanya, Selasa (20/10/2020).
Selama ini, komoditas garam menjadi salah satu andalan pendapatan asli daerah (PAD) Sabu Raijua. Dalam kondisi normal, kontribusi usaha pergaraman terhadap PAD mencapai Rp 18 miliar per tahun. Namun, penyerapan garam dari wilayah itu makin minim.
Kebijakan impor garam dinilai turut menghambat penyerapan garam. Pada panen tahun 2018, harga garam berkisar Rp 1.200-Rp 1.500 per kilogram (kg), tetapi kini anjlok menjadi Rp 500-Rp 700 per kg.
Situasi itu diperparah oleh gangguan operasi kapal-kapal pengangkut garam ke Pulau Jawa di awal pandemi Covid-19. Selain itu, industri pengguna garam juga tidak beroperasi maksimal. Kini, kapal tol laut dan kapal kargo sudah kembali beroperasi, tetapi permintaan garam dari industri pengguna garam belum maksimal.
Lagabus menambahkan, garam produksi petambak di wilayahnya rata-rata memiliki kadar NaCl 96,2 persen. Artinya, garam produksi petambak setempat memenuhi standar kebutuhan garam untuk industri makanan dan minuman.
”Kita kekurangan garam industri di dalam negeri, tetapi garam di wilayah kami tidak terbeli. Kalau impor (garam) terus berlanjut, tidak tahu lagi bagaimana produksi tahun depan. Masyarakat petambak garam akan kehilangan kepercayaan ke pemerintah untuk mengelola pergaraman karena tidak bisa membantu mencari pasar,” katanya.
Pengendalian impor
Direktur Utama PT Garam Achmad Didi Ardianto menyatakan, pihaknya menargetkan produksi garam tahun ini mencapai 380.000 ton. Namun, kondisi cuaca dan badai karena faktor La Nina turut menekan produksi garam.
Di sisi lain, ada penumpukan stok. Jumlah stok garam di PT Garam saat ini sekitar 200.000 ton. Dia menilai, selain pengendalian impor, kunci penyerapan garam adalah peningkatan kualitas. ”Kami masih terus berupaya menjual ke pihak-pihak pengguna yang masih percaya garam lokal,” kata Didi.
Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Safri Burhanuddin mengemukakan, pemerintah tengah menyelesaikan rancangan peraturan pemerintah (RPP) terkait pengendalian impor gula dan garam.
Penyusunan RPP, antara lain, untuk mencegah kebocoran garam industri impor ke pasar. Impor garam tidak boleh dilakukan oleh distributor, melainkan industri pengguna.
”Kita pertegas dulu agar garam industri yang diimpor tidak bocor ke pasar. Hak kewenangan impor hanya di industri pemakai. Perusahaan yang mengimpor akan diaudit dan pelanggaran akan dikenakan sanksi administratif,” katanya.
Safri menambahkan, kebutuhan garam impor akan dievaluasi. Pemerintah mendata kebutuhan garam industri pengguna sehingga diketahui kebutuhan total impor garam.
Di sisi lain, pemerintah terus berupaya mengembangkan lahan garam industri di NTT. Terkait hambatan serapan garam di Sabu Raijua, Safri menilai, kendala utama penyerapan adalah biaya transportasi yang mahal.
Pada awal November 2020, pihaknya akan mengecek dan mencari solusi untuk membantu penyerapan garam di wilayah itu. Selama ini, sebagian besar pengguna garam industri berada di Pulau Jawa. Tingginya biaya angkut dari lokasi produksi yang terbatas sarana angkutannya jadi salah satu tantangan untuk memperbaiki harga jual garam rakyat.