Upah Tetap Dinilai Tidak Bijak untuk Daya Beli Masyarakat
UMP di jabar tidak bergerak dari tahun lalu, yakni Rp 1.810.351,36. Hal tersebut dinilai tidak bijak karena semakin memberatkan para buruh di tengah pandemi Covid-19.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Upah Minimum Provinsi atau UMP Jawa Barat tahun 2021 tidak dinaikkan untuk meminimalisasi kerugian perusahaan akibat biaya produksi. Keputusan tersebut dinilai tidak bijak di tengah kondisi pandemi yang memengaruhi daya beli masyarakat.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, di Bandung, Senin (2/11/2020), menyatakan, UMP yang tidak naik ini menjadi konsekuensi dari pandemi yang menghantam industri, terutama sektor jasa dan manufaktur. Apalagi, sekitar 2.000 perusahaan terdampak pandemi dan 60 persen di antaranya berasal dari manufaktur, bahkan 500 perusahaan di antaranya terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Menurut Kamil, kondisi ini menjadi alasan bagi Jabar untuk tidak menaikkan UMP. Pihaknya khawatir, kenaikan upah buruh semakin memperburuk keuangan perusahaan dan berpotensi memperbesar kerugian sehingga dapat berdampak pada PHK yang lebih luas.
”Jadi, mohon jangan samakan dengan provinsi lain yang memiliki industri sedikit. Kondisi ini menjadi semakin buruk jika sektor industri semakin terbebani oleh kenaikan upah. Karena itu, UMP tidak kami naikkan. Jadi, mohon pengertiannya, ini memang opsi yang tidak nyaman,” ujarnya.
Dengan keputusan tersebut, UMP di jabar tidak bergerak dari tahun lalu, yakni Rp 1.810.351,36. Besaran ini diputuskan dengan mengikuti Surat Edaran (SE) Menteri Tenaga Kerja Nomor M/ll/HK.04/X/2020 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2021 pada Masa Pandemi Covid-19 dan Surat Rekomendasi Dewan Pengupahan Jabar Nomor Nomor 561/51/X/Depeprov perihal Rekomendasi UMP Jabar 2021.
Ketua DPD Federasi Serikat Pekerja Logam Elektronik Mesin Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP LEM SPSI) Jabar Muhamad Sidarta menuturkan, keputusan tidak menaikkan UMP merupakan tindakan yang tidak bijak selama pandemi. Dia berujar, kondisi tersebut semakin memberatkan para buruh sehingga berdampak pada melemahnya daya beli mereka.
”Upah minimum merupakan jaring pengaman sehingga sudah sewajarnya naik setiap tahunnya karena harga-harga yang ada semakin meningkat. Karena itu, tidak bijak jika tahun ini tidak ada kenaikan. Daerah lain saja mau menaikkan karena itu demi meningkatkan daya beli masyarakat,” ujarnya.
Daya beli tersebut, tutur Sidarta, berpengaruh karena selama ini buruh berbelanja di usaha mikro, kecil, dan menengah sehingga mampu memutar perekonomian. Dia berharap pandemi tidak menjadi senjata bagi pengusaha untuk merumahkan karyawannya.
”Setiap warga negara berhak untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Jangan sampai pandemi Covid-19 menjadi alasan untuk pengurangan upah, PHK, semuanya jangan. Kalaupun tidak mampu, bisa dibicarakan, akan ada penundaan mekanisme upah,” tuturnya.
Karena itu, Sidarta berharap upah minimum kota dan kabupaten (UMK) tidak mengikuti UMP yang tetap stagnan. Hitungan upah diminta sesuai dengan formulasi rumus yang menentukan upah, seperti kebutuhan dasar yang berbeda di setiap daerah.
”Semuanya perlu masukan dari dewan pengupahan. Semua harus dibicarakan, bukan disamaratakan. Disparitas setiap daerah itu berbeda. Supaya fair (adil), kita lihat dulu kebutuhan dasar di setiap daerah,” ujarnya.