UMP 2021 Tidak Naik, Buruh Jawa Barat Ancam Mogok Serentak
Pemerintah Provinsi Jawa Barat menetapkan upah minimum provinsi 2021 sebesar Rp Rp 1.810.351,36 atau sama dengan UMP 2020. Sejumlah buruh kecewa dengan keputusan itu dan berencana mogok kerja di seluruh kabupaten/kota.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Jawa Barat menetapkan upah minimum provinsi 2021 sebesar Rp Rp 1.810.351,36 atau sama dengan UMP 2020. Sejumlah buruh kecewa dengan keputusan itu dan berencana mogok kerja di seluruh kabupaten/kota.
Penetapan UMP Jabar mengikuti Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2021 pada Masa Pandemi Covid-19 dan Surat Rekomendasi Dewan Pengupahan Jabar Nomor Nomor 561/51/X/Depeprov perihal Rekomendasi UMP Jabar 2021.
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jabar Roy Jinto Ferianto mengatakan, buruh sangat kecewa dengan SE Menteri Ketenagakerjaan dan keputusan Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengikuti SE itu. Menurut dia, SE bukan produk hukum yang harus dilaksanakan.
Oleh sebab itu, pihaknya menolak SE Menteri Ketenagakerjaan dan UMP Jabar 2021 serta meminta Kamil menaikkan upah minimum 2021 minimal 8,51 persen. ”Buruh akan melakukan mogok serentak di seluruh kabupaten/kota di Jabar dalam waktu dekat,” ujarnya di Bandung, Minggu (1/11/2020).
Roy mengatakan, upah minimum seharusnya ditetapkan sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Dalam PP Nomor 78 2015 disebutkan, lima tahun setelah PP itu berlaku dilakukan survei kebutuhan hidup layak (KHL) untuk menentukan upah minimum.
”Untuk menentukan upah minimum itu harus berdasarkan KHL, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi,” ucapnya.
Buruh sangat kecewa dengan Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan dan keputusan Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengikuti SE itu. SE bukan produk hukum yang harus dilaksanakan. (Roy Jinto Ferianto)
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jabar Rachmat Taufik Garsadi menuturkan, aturan penggunaan KHL sudah keluar, yaitu Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2020. Aturan ini mengharuskan Dewan Pengupahan Provinsi segera menetapkan KHL berdasarkan data-data Badan Pusat Statistik.
Namun, hingga rapat pleno Dewan Pengupahan Provinsi Jabar berlangsung pada 27 Oktober, BPS belum merilis data KHL. Selain itu, berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2015, penetapan UMP dilandasi upah minimum tahun berjalan dikali penambahan inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi.
”Sampai saat ini, kami belum menerima rilis data inflasi untuk triwulan III-2020 dari BPS. Menurut rencana, data inflasi akan dirilis 2 November 2020, sedangkan laju pertumbuhan ekonomi (LPE) pada 4 November,” katanya.
Rachmat menyebutkan, jika merujuk pada inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi triwulan II-2020, maka UMP Jabar dipastikan akan menurun. Oleh karena itu, pihaknya mengikuti SE Menteri Tenaga Kerja.
”Kalau melihat data BPS di triwulan II, LPE Jabar itu minus 5,98 persen. Jika melihat inflasi pada September itu 1,7 persen, maka UMP Jabar dipastikan turun. Jalan tengahnya, kami mengikuti SE Menteri Ketenagakerjaan untuk menetapkan UMP 2021 sama dengan UMP 2020,” katanya.
Rachmat menambahkan, dengan penetapan UMP 2021 tersebut, upah minimum kabupaten/kota (UMK) di Jabar harus lebih besar dari Rp 1.810.351,36. Penetapan UMK paling lambat pada 21 November 2020.