Permintaan Tinggi Selama Pandemi, Harga Laptop Melonjak
Pedagang ritel mengeluhkan kelangkaan laptop di tengah tingginya permintaan masyarakat untuk kebutuhan belajar dan bekerja di rumah. Terbatasnya stok laptop impor yang mengerek harga jual menambah beban pedagang.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pedagang ritel mengeluhkan kelangkaan laptop di tengah tingginya permintaan masyarakat untuk kebutuhan belajar dan bekerja di rumah. Terbatasnya stok laptop impor yang mengerek harga jual menambah beban pedagang.
Sejumlah pedagang di Pusat Komputer dan Elektronik Harco Mangga Dua, Jakarta Pusat, mengaku menerima banyak permintaan laptop dari masyarakat yang berkunjung ke toko mereka, terutama setelah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi diterapkan di Jakarta.
Abra, kepala toko laptop Klik.id, yang ditemui Jumat (13/11/2020), mengatakan, saat ini banyak pengunjung mencari laptop berspesifikasi rendah yang cukup digunakan untuk kegiatan belajar atau bekerja secara daring.
”Dibanding bulan-bulan sebelumnya, sekarang ini permintaan lebih banyak. Namun, barangnya (banyak) enggak ada dari vendornya. Ini sangat disayangkan,” katanya.
Ia juga mengaku banyak pengunjung yang datang tidak jadi membeli karena tingginya harga laptop baru, khususnya merek asal luar negeri. Hal tersebut membuat sebagian pembeli beralih ke laptop merek lokal yang hanya memenuhi 10 persen etalase penjualan mereka. Laptop lokal tidak mengalami kenaikan harga signifikan.
Steven, kepala toko Radja Laptop, juga mengeluhkan hal yang sama. Kelangkaan terjadi pada laptop baru berspesifikasi rendah yang banyak dicari. Selain langka, harga laptop, khususnya merek asing, mengalami kenaikan Rp 1 juta sampai Rp 2 juta sejak pertengahan tahun 2020.
Ia mencontohkan, laptop merek HP dan Asus dengan spesifikasi sama, yakni RAM 4 GB, hard disk 1 TB, layar 14 inci, dan prosesor Intel Celeron, Rp 5,3 juta sampai Rp 5,5 juta. Sebelumnya hanya Rp 3,9 juta sampai Rp 4,3 juta.
”Sejak bulan lalu sampai sekarang laptop low end, dari prosesor i5 ke bawah, banyak yang kosong. Sekalinya ada, kita paling cuma dapat 1-2 unit. Harganya pun enggak masuk di akal,” kata Steven.
Kenaikan harga laptop, menurut dia, juga terjadi di toko daring. Tantangan tersebut banyak membuat masyarakat yang beralih ke laptop lokal atau laptop bekas. Laptop bekas umumnya dijual dengan harga Rp 2 juta sampai Rp 5 juta.
Ferdian, penjual di salah satu toko laptop, mengungkapkan, tokonya kini menjual lebih banyak laptop bekas untuk memenuhi permintaan masyarakat. Jika sebelumnya komposisi laptop bekas hanya 20 persen, saat ini mencapai 80 persen, mengalahkan komposisi laptop baru.
”Karena harga laptop naik gila-gilaan, orang lebih banyak cari yang bekas. Kami cukup diuntungkan juga karena ada stok dari orang-orang yang jual laptopnya di awal-awal pandemi,” ucapnya.
Kelangkaan yang dikeluhkan para pedagang bisa dikaitkan dengan langkanya komponen laptop. Laporan dari dua firma riset pasar terkemuka, IDC dan Gartner, mengungkapkan, produksi komponen tidak mencukupi tingginya permintaan. Situasi tersebut juga diperparah pandemi Covid-19 yang mengacaukan rantai pasok global.
Research Manager IDC Jitesh Ubrani mengatakan, backlog atau antrean permintaan barang itu diperkirakan akan terjadi hingga 2021. ”Kalau saja tidak terjadi kekurangan komponen komputer, penjualan notebook pada kuartal tiga akan jauh lebih tinggi, minat konsumen belum terpenuhi saat ini,” kata Ubrani.
Permintaan, baik dari konsumen perseorangan maupun perusahaan, terhadap komputer dan laptop, menurut data mereka, meningkat drastis pada kuartal III-2020. IDC mencatat, nilai pasar komputer tradisional, yakni desktop, laptop, dan workstation, meningkat 14,6 persen dibanding periode yang sama pada 2019.
Adapun Direktur Riset Gartner Mikako Kitagawa mengatakan, gangguan rantai pasok akibat Covid-19 memang sudah mulai pulih. Namun, komponen kunci seperti panel layar masih menjadi barang yang langka akibat minat masyarakat yang tinggi terhadap laptop (Kompas, 12/11/2020).