Dalam situasi normal, korupsi berdampak negatif terhadap perekonomian, terlebih dalam krisis akibat pandemi saat ini. Praktik kotor pengelolaan anggaran menghambat pemulihan ekonomi.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
Pada pengujung tahun ini, publik kembali dibuat kecewa atas skandal korupsi bantuan sosial yang diduga melibatkan Menteri Sosial Juliari Batubara. Praktik korupsi di tengah pandemi tak hanya mencederai hati, tetapi juga menghambat pemulihan ekonomi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Juliari dan empat tersangka kasus dugaan suap bantuan sosial penanganan pandemi Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek, Minggu (6/12/2020). Kasus itu bermula dari pengadaan bantuan paket kebutuhan pokok di Kementerian Sosial senilai Rp 5,9 triliun dengan total 272 kontrak. KPK menduga ada kesepakatan fee dari tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan rekanan kepada kementerian.
Lima hari sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan efektivitas dan keberhasilan bantuan sosial penanganan Covid-19. Program ini dinilai mampu mengerem laju kenaikan kemiskinan tahun 2020 yang diproyeksikan 9,69 persen. Tanpa bantuan sosial, laju kemiskinan diperkirakan bisa melonjak menjadi 10,96 persen.
Pada Maret 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ada 26,42 juta orang miskin di Indonesia. Jumlah itu naik 1,28 juta orang dibandingkan Maret 2019. Sementara rasio gini yang menunjukkan ketimpangan di Indonesia per Maret 2020 mencapai 0,381. Angka ini lebih tinggi 0,001 dari September 2019. Rasio gini berkisar 0-1. Semakin mendekati 1, menandai ketimpangan makin lebar.
Praktik korupsi dalam kondisi krisis, seperti pandemi Covid-19, jelas menghambat pemulihan ekonomi. Dalam kondisi normal atau tanpa krisis saja, beberapa studi membuktikan, korupsi atau institusi yang kotor berpengaruh negatif terhadap perekonomian suatu negara.
Hasil studi ekonom Institut Penelitian Ekonomi (IFO), Klaus Gründler dan Niklas Potrafke, menunjukkan, efek kumulatif jangka panjang dari korupsi akan menurunkan sekitar 17 persen produk domestik bruto (PDB) per kapita riil. Pengaruh korupsi terhadap pertumbuhan masuk melalui pengurangan investasi dan peningkatan inflasi.
Selama ini, pemerintah berupaya mempercepat penyerapan anggaran program penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PC-PEN). Namun, nyatanya aspek akuntabilitas masih terkesampingkan. Walakin, anggaran bantuan sosial yang dipelototi ratusan juta mata dan puluhan institusi tetap luput dari korupsi.
Pemulihan ekonomi akibat pandemi tidak hanya tentang angka dan kata. Pemerintah seyogianya menyadari ada faktor-faktor di luar ekonomi yang akan menghambat pemulihan. Selain praktik korupsi, pemulihan ekonomi juga bisa terhambat oleh fenomena perubahan iklim dan stabilitas sosial.
Bank Dunia telah memperingatkan perjalanan pemulihan ekonomi Indonesia akan sangat panjang dan penuh tantangan. Pemerintah diminta tetap menempatkan kebijakan publik sebagai prioritas tertinggi. Kebijakan publik ini terkait dengan kesehatan masyarakat dan dukungan bantuan sosial bagi penduduk miskin dan rentan miskin.
Kebijakan publik
Pada 2021, pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi berada pada kisaran 4,5-5 persen dengan syarat penyebaran Covid-19 terkendali dan vaksinasi mulai dilakukan. Prioritas kebijakan tetap penyaluran bantuan sosial ke 40 persen masyarakat ekonomi terbawah dengan memperbaiki pendataan dan pelaksanaan bersih korupsi.
Salah satu yang jadi sorotan adalah alokasi anggaran PC-PEN tahun 2021 yang jauh lebih rendah dari 2020. Pemerintah mengalokasikan anggaran PC-PEN 2021 senilai Rp 356,5 triliun, sementara tahun ini Rp 695,2 triliun. Anggaran tetap dialokasikan untuk enam prioritas, yakni kesehatan, perlindungan sosial, insentif usaha, dukungan bagi usaha mikro kecil dan menengah, pembiayaan korporasi, serta bantuan sektoral untuk kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.
Realisasi anggaran PC-PEN per 14 Desember 2020 baru Rp 481,61 triliun atau 69,3 persen dari pagu. Anggaran diproyeksikan tidak terealisasi 100 persen karena berbagai kendala sehingga pemerintah berencana mengalihkan sisanya ke 2021.
Akan tetapi, permasalahan saat ini dan ke depan bukan seberapa besar dan cepat anggaran tersalurkan, melainkan sejauh mana dampaknya ke masyarakat. Ratusan triliun rupiah anggaran yang dikucurkan harus bisa membantu masyarakat bertahan, bahkan bangkit dari krisis. Ketepatan sasaran penting agar ketimpangan tidak semakin melebar.
Ekonom senior dan Menteri Keuangan periode 2012-2013 Chatib Basri mengingatkan, Indonesia berisiko mengalami tren pemulihan ekonomi menyerupai huruf K. Kelompok menengah atas akan naik kelas, sementara kelompok menengah bawah turun kelas. Akibatnya, ketimpangan semakin melebar.
Kelompok menengah atas akan selamat dari krisis Covid-19 karena memiliki tabungan yang cukup dan akses internet yang mumpuni. Mereka juga mampu mentransformasikan dirinya ke dunia digital. Kondisi sebaliknya terjadi pada kelompok menengah bawah yang serba terbatas.
Pemerintah harus mengambil peran strategis untuk meminimalkan pelebaran jurang ketimpangan. Solusinya, desain fiskal ke depan harus mempertimbangkan aspek kesenjangan jender, teknologi, inklusi keuangan, serta akses kesehatan dan pendidikan. Bukan semata-mata menyalurkan anggaran ke rakyat.
Terakhir, untuk melalui jalan pemulihan ekonomi yang panjang dan penuh tantangan, dibutuhkan kolaborasi. Peran pemerintah pusat perlu diimbangi inisiatif pemerintah daerah dan pelaku usaha. Kapasitas pemerintah pusat melalui instrumen APBN akan semakin terbatas jika pandemi berkepanjangan.