Terdampak Pandemi, Anak Muda Semakin Sulit Mencari Kerja
Selama pandemi, angkatan kerja usia 15-29 tahun lebih sulit mencari pekerjaan dibandingkan angkatan kerja lama, terutama mereka yang jenjang pendidikannya lebih tinggi.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama pandemi, angkatan kerja usia 15-29 tahun lebih sulit mencari pekerjaan dibandingkan angkatan kerja lama, terutama mereka yang jenjang pendidikannya lebih tinggi. Jika tidak segera ditangani, krisis yang tengah dialami kelompok angkatan kerja baru ini bisa membawa dampak negatif yang berkepanjangan.
Perbandingan data Survei Angkatan Kerja Nasional pada Februari 2020 (sebelum pandemi) dan Februari 2021 (setelah pandemi) menunjukkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada kelompok usia muda (usia 15-29 tahun) naik 2,18 persen selama pandemi. Angka kenaikan ini juga lebih tinggi daripada kenaikan TPT pada kelompok usia yang lebih tua.
Persentase angkatan kerja baru yang berhasil mendapatkan pekerjaan juga turun. Sebelum pandemi, ada 53,1 persen lulusan baru yang berhasil mendapatkan pekerjaan. Selama pandemi, jumlahnya menurun menjadi 44,5 persen.
Menurut peneliti SMERU Institute, Lia Amelia, Kamis (14/10/2021), angkatan kerja baru memang selama ini lebih sulit mencari pekerjaan dibandingkan angkatan kerja lama karena status mereka sebagai lulusan baru dengan pengalaman kerja lebih sedikit. Namun, dampak Covid-19 memberi tekanan lebih pada proses pencarian kerja itu akibat terbatasnya lowongan kerja dan lesunya aktivitas dunia usaha selama pandemi.
”Ini memprihatinkan. Kalau tidak segera ditangani, angkatan kerja baru yang terdampak krisis akibat pandemi berpotensi menanggung beban sosial ekonomi jangka panjang,” katanya dalam acara Forum Kajian Pembangunan: Bersaing di Pasar Tenaga Kerja, Angkatan Kerja Baru dan Tenaga Kerja Lulusan SMK pada Masa Pandemi Covid-19 yang diadakan secara daring.
Hasil penelitian SMERU menunjukkan, durasi yang dibutuhkan angkatan kerja baru untuk bertransisi dari fase tamat sekolah ke fase bekerja juga berubah selama pandemi. Sebelum pandemi, dibutuhkan waktu empat bulan sampai setengah dari seluruh angkatan kerja baru berhasil mendapat pekerjaan.
Setelah pandemi, waktu yang dibutuhkan lebih lama, yakni diperlukan tujuh bulan sampai setengah dari seluruh angkatan kerja baru berhasil mendapat pekerjaan. ”Masa transisi ini tahapan penting dalam kehidupan lulusan muda karena akan menentukan arah karier, penghasilan, dan kesejahteraan mereka secara umum,” kata Lia.
Tantangan bahkan lebih berat dirasakan angkatan kerja muda dengan jenjang pendidikan lebih tinggi. Sebelum pandemi, lulusan diploma IV, sarjana, pascasarjana, hingga doktoral membutuhkan waktu empat bulan sampai setengah dari angkatan kerja baru ini bisa mendapat pekerjaan.
Namun, setelah pandemi, durasi pencarian kerja itu naik tiga kali lipat. Dibutuhkan waktu 12 bulan sampai setengah dari angkatan kerja baru berpendidikan tinggi ini berhasil mendapat kerja.
Sebaliknya, angkatan kerja baru dengan pendidikan tingkat SMP dan sederajat justru lebih cepat mendapat pekerjaan selama pandemi. Sebelum pandemi, dibutuhkan waktu enam bulan untuk setengah dari angkatan kerja ini mendapat pekerjaan. Namun, selama pandemi, hanya diperlukan waktu tiga bulan untuk angkatan kerja lulusan SMP mendapat pekerjaan.
Pengalaman kerja juga ternyata tidak lagi memengaruhi durasi pencarian kerja. Riset SMERU menunjukkan, sebelum pandemi, orang yang memiliki pengalaman kerja bisa lebih cepat mendapat pekerjaan (butuh waktu dua bulan) dibandingkan yang tidak berpengalaman kerja (butuh waktu empat bulan). Namun, setelah pandemi, baik mereka yang berpengalaman maupun tidak, sama-sama butuh waktu tujuh bulan untuk mendapat pekerjaan.
Pelatihan dan pendampingan
Lia mengatakan, krisis yang dialami para pekerja muda ini perlu segera disikapi pemerintah lewat program fasilitasi pelatihan dan pendampingan pencarian kerja yang fokus pada angkatan kerja baru. Salah satunya bisa memaksimalkan implementasi program Kartu Prakerja yang fokus menyasar lulusan baru yang belum berpengalaman.
Kelas pelatihan yang ditawarkan juga perlu dibuat lebih sejalan dengan kebutuhan industri. ”Jadi bukan sekadar pelatihan tentang minat dan kesukaan, tetapi peserta ditawarkan pelatihan yang memang sesuai dengan demand yang dibutuhkan dunia industri,” katanya.
Lebih dari itu, pelatihan saja tidak cukup. Perlu ada pendampingan dan konseling dalam proses pencarian kerja. Khusus untuk alumni Kartu Prakerja yang berjiwa wiraswasta, dapat dibantu dengan bantuan modal usaha. ”Pemerintah juga dapat menggandeng universitas untuk memfasilitasi pendampingan pencarian kerja,” ujar Lia.
Direktur Ketenagakerjaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Mahatmi Parwitasari Saronto mengatakan, problem informasi pasar kerja yang tidak terpadu menyulitkan angkatan kerja dalam proses pencarian kerja.
”Terkadang mereka tidak mendapat pekerjaan karena tidak tahu lowongan apa yang ada, apa yang dibutuhkan di luar sana, lokasinya di mana. Masih sebagian kecil juga angkatan kerja kita yang mencari kerja secara online, umumnya masih mendapat kerja dari informasi mulut ke mulut atau rekomendasi teman,” ujarnya.
Ia juga menyoroti masih adanya permasalahan dalam pendidikan vokasi yang selama ini terlalu fokus pada sisi suplai. Program pendidikan dan pelatihan vokasi tidak didasari informasi permintaan dasar kerja yang akurat. Keterlibatan sektor swasta juga terbatas sehingga vokasi tidak demand-driven secara tersistem.
Pemerintah, ujarnya, sedang berencana membuat reformasi pendidikan vokasi. ”Kita memerlukan sinergitas dalam pendidikan vokasi agar berorientasi pada kebutuhan dunia kerja. Selama ini anggaran untuk program vokasi sudah cukup besar, tetapi hasilnya belum terlihat,” katanya.
Sejalan dengan itu, Kepala Pusat Pengembangan Kebijakan Ketenagakerjaan Badan Perencanaan dan Pengembangan Kementerian Ketenagakerjaan Muhyiddin mengatakan, pemerintah sedang mematangkan konsolidasi data ketenagakerjaan untuk membuat Sistem Informasi Pasar Kerja (SIPK) yang komprehensif.
SIPK diharapkan dapat memudahkan angkatan kerja baru dalam mencari kerja. ”Kalau ini sudah diterapkan, sebagaimana sistem informasi pasar kerja di banyak negara, kita punya database lengkap dari suplai angkatan kerja hingga demand dari sisi pemberi kerja,” katanya.