Solusi atas Lonjakan Biaya Pengapalan Kontainer Domestik Masih Buntu
Lonjakan biaya pengapalan kontainer di dalam negeri terjadi akibat mekanisme pasar. Pemerintah tidak dapat melakukan intervensi sehingga solusi atas persoalan tersebut menemui jalan buntu.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Solusi mengatasi lonjakan biaya pengapalan kontainer domestik atau antarpulau masih buntu. Hal itu lantaran perusahaan-perusahaan pelayaran tengah menghadapi sejumlah tantangan berat dalam pemulihan bisnis. Selain itu, lonjakan tarif pelayaran logistik itu disebabkan oleh mekanisme pasar yang tidak dapat diintervensi pemerintah.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan, Jumat (22/10/2021), mengatakan, Kemendag telah bertemu dengan sejumlah asosiasi perusahaan pelayaran dan kontainer pada 21 Oktober 2021. Mereka, antara lain, adalah Indonesian National Shipowners’ Association (INSA), Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI), dan Asosiasi Depo Kontainer Indonesia (Adeki).
Dalam pertemuan itu, perusahaan-perusahaan pelayaran mau tidak mau harus menaikkan biaya pengapalan kontainer untuk mempertahankan bisnis. Selain terimbas pandemi Covid-19, perusahaan-perusahaan tersebut juga tengah menghadapi kenaikan biaya operasional dan pemeliharaan.
Beban biaya itu, lanjut Oke, semakin berat karena ada kenaikan harga bahan bakar dan suku cadang kapal yang didatangkan dari luar negeri. Jadi, lonjakan biaya pengapalan kontainer itu terjadi untuk menyeimbangkan pemasukan dan pengeluaran.
Beban biaya itu semakin berat karena ada kenaikan harga bahan bakar dan suku cadang kapal yang didatangkan dari luar negeri. Jadi, lonjakan biaya pengapalan kontainer itu terjadi untuk menyeimbangkan pemasukan dan pengeluaran.
Besaran kenaikan tarif itu berbeda-beda, tergantung rute dan kondisi perusahaan. Kenaikan biaya logistik antarpulau itu berkisar 15-40 persen.
”Untuk rute menuju wilayah Indonesia bagian timur, rata-rata kenaikan tarifnya 15 persen, Jakarta-Pekanbaru 30 persen, dan Jakarta-Medan 40 persen. Kenaikan biaya pengapalan kontainer domestik itu tidak sebesar lonjakan biaya logistik antarsamudra (ocean freight) yang mencapai 200-400 persen,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta.
Menurut Oke, untuk menjaga pendapatan, sejumlah perusahaan pelayaran itu lebih memilih melayani rute-rute pelayaran antarnegara ketimbang domestik. Hal itu berdasarkan kesepakatan bisnis untuk bisnis (B to B) sehingga pemerintah tidak berwenang untuk mencampuri bahkan meminta perusahaan pelayaran memfokuskan pelayanan di dalam negeri.
Kemendag tengah berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan untuk memecahkan persoalan ini. Kapal-kapal tol laut jelas tidak dapat digunakan karena diperuntukkan bagi barang-barang kebutuhan pokok dan menyangkut subsidi.
”Kalaupun pemerintah harus menyubsidi bahan bakar bagi pelayaran logistik swasta, tentu ini harus dibicarakan lintas kementerian terkait. Di sisi lain, kami juga tetap akan memonitor imbas kenaikan biaya logistik ini terhadap kenaikan harga barang di daerah-daerah tujuan,” kata Oke.
Sementara itu, Ketua Umum INSA Carmelia Hartoto menuturkan, kenaikan tarif pengapalan di dalam negeri beragam atau bergantung rute, yaitu berkisar 14-30 persen. Koreksi tarif itu terjadi karena mekanisme pasar, yaitu tidak berimbangnya ketersediaan ruang kapal dan peningkata permintaan.
Pelonggaran pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) turut meningkatkan produksi komoditas. Hal ini juga terjadi seiring dengan peningkatan produksi untuk memenuhi kebutuhan Natal 2021 dan Tahun Baru 2022.
”Pada saat permintaan mulai meningkat, ketersediaan ruang kapal berkurang karena banyak kapal kontainer besar yang dialihkan untuk melayani ekspor, baik sebagai pengumpan maupun disewa keluar,” ujarnya.
Menunggu keseimbangan
Di samping itu, lanjut Carmelita, permintaan pasar terhadap besi-besi kapal tua juga meningkat dan harganya pun tinggi. Hal ini membuat para pemilik kapal menjual asetnya yang sudah memakan biaya operasional tinggi sehingga turut mengurangi jumlah kapal kontainer di dalam negeri.
Biaya operasional dan pemeliharaan kapal kontainer juga semakin tinggi. Biaya itu, antara lain, mencakup biaya bahan bakar minyak (BBM) dan suku cadang kapal yang berasal dari impor. Harga BBM, misalnya, naik dari Rp 7.400 per liter menjadi Rp 12.900 per liter.
”Koreksi tarif logistik pelayaran domestik ini bukan seperti yang terjadi di tingkat internasional. Koreksi tarif ini bukan akibat dari kuncitara (lockdown), kongesti atau penimbunan, dan tersumbatnya rotasi kapal, melainkan disebabkan mekanisme pasar. Di dalam negeri juga tidak terjadi kekurangan kontainer,” katanya.
Saya belum melihat ada solusi yang tepat untuk mekanisme pasar ini. Sampai kapan hal ini terjadi? Tentunya sampai terjadi keseimbangan antara penawaran dan permintaan.
Carmelita menambahkan, dalam tiga tahun terakhir ini, ketersediaan ruang kapal lebih besar daripada permintaan. Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung lebih dari satu setengah tahun membuat permintaan terhadap ruang kapal semakin turun.
Persaingan antara perusahaan pelayaran semakin ketat dan jasa angkutan laut ini berada pada titik nadir. Dalam industri jasa pelayaran, inilah yang dinamakan fluktuasi dinamika pasar yang akan berlaku sementara.
”Saya belum melihat ada solusi yang tepat untuk mekanisme pasar ini. Sampai kapan hal ini terjadi? Tentunya sampai terjadi keseimbangan antara penawaran dan permintaan,” ujarnya.