Ekonomi Gorengan
Mungkinkah lonjakan harga minyak goreng akan menuju titik keseimbangan baru harga keekonomiannya sehingga HET-nya perlu direvisi naik? Jika benar terjadi, gorengan, inflasi, dan pengeluaran penduduk akan beradaptasi.
Indonesia kaya dengan aneka ragam gorengan. Hampir setiap daerah di Nusantara memiliki gorengan khas. Bahkan, sebuah gorengan yang bahan dan olahannya sama memiliki nama yang berbeda di setiap daerah.
Gorengan yang paling terkenal di Banyumas, Jawa Tengah, adalah tempe mendoan dan ringket atau singkong goreng. Tegal dan Wonosobo, juga di Jawa Tengah, masing-masing punya tahu aci dan tempe kemul. Adapun Wonosobo dan Kulonprogo terkenal dengan geblek, camilan tradisional berbahan baku tepung singkong dan bawang.
Pontianak, Kalimantan Barat, tenar dengan pisang goreng pontianak. Padang Pariaman, Sumatera Barat, memiliki rakik dan sala lauak, gorengan yang terbuat dari campuran ikan, udang, kebipiting, dan tepung beras. Makassar, Sulawesi Selatan, punya jalangkote yang mirip pastel dan biasanya berisi daging, soun, telur, dan kentang.
Sementara Jawa Barat memiliki aneka gorengan, antara lain cireng, combro, gehu, tahu sumedang, cimol, dan misro. Kemudian di Maluku Utara, terdapat pisang goreng mulut bebek.
Lihat juga: Galeri Foto: Rakik dan Penganan Ikan di Ulakan
Saking beragamnya daerah di Indonesia, sebuah gorengan yang sebenarnya sama dinamai berbeda-beda. Bakwan, misalnya. Gorengan itu juga disebut bala-bala di Jawa Barat, serta weci/heci, hongkong, dan ote-ote di beberapa daerah di Jawa Timur. Bakwan juga dinamai kandoang di Kendari, Sulawesi Tenggara; dan makau atau macau di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Bahkan di Jawa Tengah, bakwan disebut juga pia-pia dan badak.
Keberagaman gorengan Nusantara itu menjadi bagian hidup masyarakat Indonesia, mulai dari skala rumah tangga, pedagang kaki lima, kafe, restoran, hotel, usaha rumahan, waralaba, hingga perajin bahan utama gorengan tersebut.
Dengan harga rata-rata paling murah Rp 1.000 per biji, gorengan menjadi penggerak ekonomi Indonesia. Taruhlah dalam sehari 191 juta orang atau sekitar 70 persen penduduk Indonesia mengonsumsi rata-rata tiga gorengan, uang yang bergulir sebesar Rp 573 miliar per hari. Sebulan, nilai ekonomi gorengan tersebut mencapai Rp 17,19 triliun.
Keberagaman gorengan Nusantara itu menjadi bagian hidup masyarakat Indonesia, mulai dari skala rumah tangga, pedagang kaki lima, kafe, restoran, hotel, usaha rumahan, waralaba, hingga perajin bahan utama gorengan tersebut.
Tak mengherankan jika bisnis gorengan ini tak lekang dimakan waktu. Selain relatif mudah dijalankan dengan modal kecil, usaha ini juga memiliki pasar yang jelas dan besar. Tak mengherankan juga jika bisnis ini menjadi salah satu pasar bisnis minyak goreng. Keduanya saling menopang satu sama lain menjadi penggerak ekonomi gorengan atau ekonomi goreng-menggoreng.
Baca juga: Pisang Goreng, Sederhana nan Melegenda
Pengeluaran penduduk
Dilihat dari skala pengeluaran masyarakat Indonesia untuk membeli minyak goreng saja sudah terlihat. Nilai pengeluaran masyarakat mengonsumsi minyak goreng meningkat dari tahun ke tahun.
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik per Maret 2021 mencatat, rata-rata pengeluaran penduduk per kapita per bulan untuk membeli minyak goreng sebesar Rp 16.111. Pengeluaran itu meningkat dari Susenas Maret 2019 dan 2020 yang masing-masing sebesar Rp 13.211 per kapita per bulan dan Rp 14.155 per kapita per bulan. Per Maret 2021, persentase pengeluaran minyak goreng sebesar 1,27 persen dari total rata-rata pengeluaran dan konsumsi penduduk Indonesia yang sebesar Rp 1.264.590 per kapita per bulan.
Saat ini, harga minyak goreng masih tinggi. Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) pada 11 November 2021, rata-rata nasional harga minyak goreng curah di pasar tradisional Rp 17.300 per liter. Adapun harga minyak goreng kemasan sederhana (bermerek 2) dan kemasan premium (bermerek 1) masing-masing Rp 18.000 per liter dan Rp 18.500 per liter.
Harga tersebut jauh di atas harga eceran tertinggi (HET), yaitu Rp 11.000 per liter, yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen. Lonjakan harga minyak goreng itu tentu saja akan menambah pengeluaran masyarakat yang saat ini kemampuan daya belinya telah dan tengah digerogoti imbas pandemi Covid-19.
Baca juga:
- Kenaikan Harga Pangan Global dan Biaya Logistik Mulai Pengaruhi Inflasi
- Menyoal Konsumsi dan ”Resesi” Ekonomi Masyarakat Bawah
Kementerian Perdagangan bekerja sama dengan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia dan Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) berupaya mengatasi lonjakan harga dan menjaga stok minyak goreng di dalam negeri. Salah satunya adalah menyediakan minyak goreng dengan harga terjangkau, Rp 14.000 per liter, di ritel-ritel modern di seluruh Indonesia.
Langkah ini sangat bagus. Namun, penyediaan minyak goreng dengan harga terjangkau itu baru sebatas di ritel modern, belum mencakup pasar-pasar tradisional. Dahulu, setiap kali ada lonjakan harga minyak goreng, pemerintah selalu menggelar operasi pasar di pasar-pasar tradisional.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menyatakan, saat ini, akselerasi penyediaan minyak goreng harga terjangkau perlu didukung dengan rantai pasok yang efisien, yaitu rantai pasok ritel modern. Kalau pasar tradisional atau rakyat belum memiliki rantai pasok yang efisien.
Masih banyak pedagang gorengan atau para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah yang terkait erat dengan goreng-menggoreng itu membeli minyak goreng di pasar tradisional. Masih banyak juga warung-warung bahan makanan kecil di permukiman-permukiman yang mengandalkan minyak goreng dari pasokan distributor. Pangsa pasar mereka adalah rumah tangga-rumah tangga di sekitarnya.
Butuh upaya dan sasaran yang lebih merata untuk menundukkan lonjakan harga minyak goreng di dalam negeri. Perusahaan-perusahaan milik negara yang memproduksi minyak goreng, seperti PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) dan PT Perkebunan Nusantara (Persero), juga bisa dilibatkan.
Mungkinkah ini akan menjadi penanda menuju titik keseimbangan baru harga keekonomian minyak goreng sehingga HET perlu direvisi naik?
Jika persoalannya adalah masih banyak produsen minyak goreng nasional yang belum sepenuhnya terintegrasi dengan produsen minyak kelapa sawit mentah (CPO), carikan solusinya. Lantaran tidak terkoneksi, mereka membeli CPO sesuai harga lelang di dalam negeri yang terkorelasi dengan pasar internasional. Hal itu menyebabkan harga lelang mengikuti harga CPO global yang saat ini di atas 1.400 dollar AS per ton.
Indonesia merupakan produsen CPO terbesar di dunia. Amat disayangkan jika harga minyak goreng, terutama yang berbahan baku CPO, melonjak lebih dari 50 persen dari HET. Atau mungkinkah ini akan menjadi penanda menuju titik keseimbangan baru harga keekonomian minyak goreng sehingga HET perlu direvisi naik?
Pastinya jika hal itu terjadi, gorengan mungkin bakal beradaptasi. Kemudian inflasi dan pengeluaran rumah tangga juga akan turut menyusul menyesuaikan diri.
Baca juga kolom penulis: