Petani mengkhawatirkan dampak kenaikan alokasi impor gula mentah untuk rafinasi di tengah potensi banjir gula tahun ini. Rembesan gula rafinasi ke pasar gula konsumsi bisa menekan harga tebu dan kesejahteraan petani.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·3 menit baca
Pasar gula konsumsi pada tahun ini diprediksi suram bagi petani. Sebab, stok gula ditaksir berlebih, sementara kuota impor gula mentah dialokasikan lebih tinggi. Rembesannya dikhawatirkan membuat pasar ”banjir” sehingga menekan harga tebu petani.
Kementerian Perdagangan menetapkan alokasi impor gula mentah (raw sugar) 3,6 juta ton untuk produksi gula tahun 2023. Angka itu lebih tinggi dari kebutuhan impor tahun 2022 yang 3,2 juta ton setara gula rafinasi atau 3,36 juta ton gula mentah.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen mengkhawatirkan kenaikan alokasi impor gula mentah untuk rafinasi. Situasi itu berpeluang meningkatkan rembesan gula rafinasi ke pasar gula konsumsi. Situasi tahun 2018 dikhawatirkan terjadi lagi. ”Petani akan babak belur karena gula impor berpotensi membanjiri pasar. Ini mimpi suram bagi kami,” ujarnya, Minggu (22/1/2023).
Sinyal banjir gula impor tahun 2023, menurut Soemitro, sudah terendus dari rencana importasi untuk konsumsi tahun lalu. Menurut dia, impor gula mentah untuk GKP pada 2022 berlebihan. Imbasnya, stok GKP awal 2023 diperkirakan mencapai 2,3 juta ton. Dengan stok sebanyak itu, apabila pemerintah ingin mengoptimalkan serapan GKP dari tebu petani dalam negeri, impor gula mentah tidak dibutuhkan tahun ini.
Kalangan petani juga skeptis dengan pertumbuhan industri makanan-minuman yang melatarbelakangi kenaikan kebutuhan impor untuk gula rafinasi. Menurut dia, pertumbuhan industri makanan-minuman pada 2023 tidak terlalu signifikan karena daya beli belum sepenuhnya pulih sehingga memengaruhi permintaan, baik di dalam negeri maupun ekspor.
Berdasarkan catatan Kompas (19/7/2018), sebanyak 500.000 ton gula hasil giling dari tebu petani menumpuk di gudang selama tiga bulan. Pada saat itu, petani mengharapkan pemerintah menyerap gula tersebut. Sekitar sebulan kemudian, rapat koordinasi di tingkat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menugasi Perum Bulog menyerap gula di tingkat petani sebanyak 500.000-600.000 ton dengan harga Rp 9.700 per kilogram (kg) hingga April 2019 (Kompas, 16/8/2018).
Kondisi itu membuat pemerintah memangkas kuota impor gula mentah untuk industri rafinasi pada 2019 dari 3,6 juta ton menjadi 2,8 juta ton pada 2018 (Kompas, 21/12/2018). Sayangnya, langkah itu terlambat karena rembesan rafinasi sudah meluber ke pasar gula konsumsi. Data APTRI pada awal 2019 menunjukkan, perkiraan rembesan rafinasi mencapai 500.000 ton yang berimbas pada tidak terserapnya gula dari petani sebanyak 1 juta ton (Kompas, 19/1/2019).
Bayang-bayang gula impor yang membanjiri pasar gula konsumsi membuat petani tebu khawatir harga gula produksi dalam negeri anjlok. Situasi itu menggerus minat petani menanam tebu. Dampaknya, penambahan lahan dalam rangka memenuhi cita-cita swasembada gula berpotensi tidak tercapai.
Oleh sebab itu, pengawasan terhadap peredaran gula perlu semakin ketat. Selain itu, perlu data neraca gula secara akurat sebagai dasar menentukan kebijakan pergulaan nasional.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menilai pengawasan terhadap peredaran gula rafinasi, utamanya di tingkat daerah, masih lemah. Pengawasan terhadap perusahaan yang terlibat dalam rantai gula rafinasi juga belum maksimal. ”Selama ada disparitas harga (antara gula rafinasi dan GKP) dan pengawasan minimal, rembesan adalah keniscayaan,” katanya saat dihubungi, Kamis (25/1/2023).
Senada dengan petani, Sekretaris Jenderal Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Aris Toharisman berpendapat, ada potensi rembesan gula rafinasi di pasar gula konsumsi. Nilai tukar rupiah yang di atas Rp 15.000 per dollar AS membuat perbedaan antara harga gula rafinasi berbasis gula mentah impor dan GKP dari tebu petani makin sempit. Dari sisi harga, potensi rembesan rafinasi dapat melemah. ”Dalam situasi normal, disparitasnya dapat mencapai minimal Rp 3.000 per kg (GKR lebih murah),” katanya, Minggu (22/1/2023).
Meski demikian, kata Aris, pengawasan terhadap peredaran gula rafinasi tak boleh kendur. Disparitas harga dapat melebar jika harga GKP di tingkat konsumen bergerak di atas acuan. Pergerakan harga tersebut dapat memicu rembesan rafinasi di pasar gula konsumsi.
Berdasarkan Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 11 Tahun 2022, harga acuan gula konsumsi di tingkat konsumen Rp 14.500 per kg di wilayah timur Indonesia dan Rp 13.500 per kg di kawasan lainnya. Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan mendata, rata-rata nasional harga gula pasir per Jumat (20/1) senilai Rp 14.400 per kg.
Menurut Aris, titik kebocoran gula rafinasi di pasar konsumsi berada di tingkat distribusi. ”Salah satunya di usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) karena (pelaku UMKM) dapat membeli GKR dari distributor berbadan koperasi,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) Gloria Guida Manalu menyebutkan, kenaikan kebutuhan impor gula mentah untuk bahan baku gula rafinasi yang lebih tinggi pada 2023 mengacu pada industri pengguna. ”Mayoritas penggunanya ialah industri makanan-minuman,” ujarnya.
Menurut Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman, pertumbuhan industri makanan-minuman tahun ini salah satunya disokong oleh permintaan selama Ramadhan-Lebaran 2023. Pelaku industri makanan-minuman juga sudah berkontrak dengan industri rafinasi terkait kebutuhan tersebut. ”Tak boleh untuk gula konsumsi,” katanya.
Peringatan dini banjir gula impor yang dapat menghantam petani tebu Tanah Air telah berdering. Kini masih ada kesempatan mencegahnya, baik dari realisasi impor maupun dalam pengawasan peredarannya. Jika peringatan tidak diindahkan dengan aksi konkret, pertanyaan soal siapa yang menikmati untung dari selisih harga akan mengemuka lagi.