Perpres No 36/2023 Ditetapkan, Cakupan Kepesertaan Aktif Didorong Naik
Pemerintah menerbitkan regulasi baru guna mendorong cakupan kepesertaan jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan. Namun, selain sinergi kementerian/lembaga, kesadaran mengakses jaminan sosial masih jadi tantangan.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2023 tentang Peta Jalan Jaminan Sosial 2023–2024 mendorong peningkatan cakupan kepesertaan jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan. Sinergi kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan badan penyelenggara jaminan sosial diperlukan untuk mewujudkan target tersebut. Selain itu, ketentuan tentang kualifikasi kepesertaan dinilai perlu dikaji kembali.
Peraturan Presiden (Perpres) No 36/2023 itu diundangkan pada 16 Juni 2023. Dari sisi jaminan sosial ketenagakerjaan, khususnya, lampiran Perpres ini menyebut, pada tahun 2019, cakupan kepesertaan pekerja formal sudah mencapai 67,1 persen. Sementara cakupan kepesertaan untuk pekerja informal pada tahun 2015–2019 berturut-turut 0,4 persen, 2 persen, 2,5 persen, 3,4 persen, dan 3,7 persen.
Angka tersebut masih cukup jauh jika dibandingkan dengan target sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015–2019. Apabila memperhitungkan jumlah peserta nonaktif, cakupan kepesertaan pekerja formal sudah mencapai 94,2 persen, sementara cakupan pekerja informal 4,2 persen pada 2019. Data ini masih mungkin ada perhitungan ganda.
Dalam lampiran Perpres No 36/2023 dijelaskan, tujuan kepesertaan diarahkan untuk mencapai kepesertaan semesta pada tahun 2030 sesuai amanat Undang-undang (UU) No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional sebagaimana telah diubah dengan UU No 6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 2/2022 tentang Cipta Kerja Menjadi UU. Cakupan semesta yang ditetapkan sebagai acuan dalam perencanaan adalah tahun 2020.
Dengan memakai data dasar tahun 2020, tujuan kepesertaan program jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan jaminan kematian (JKM) telah mencapai 34,89 persen. Tingkat kepesertaan aktif dan total peserta program ini pada 2024 diharapkan mencapai 53,52 persen. Sementara target peserta pada tahun 2030 mencapai 100 persen dari penduduk bekerja.
Adapun untuk program jaminan hari tua (JHT), tujuan kepesertaan program ini pada tahun 2020 mencapai 18,39 persen. Tingkat peserta aktif dan total peserta program ini pada 2024 diharapkan mencapai 29,5 persen dan 53,71 persen. Target peserta pada tahun 2030 yaitu 85 persen dari penduduk bekerja.
Sementara untuk program pensiun (JP), data dasar tingkat kepesertaan pada 2020 baru mencapai 14,58 persen. Tujuan tingkat kepesertaan aktif dan total peserta pada 2024 diharapkan naik menjadi 26,5 persen dan 33 persen. Target peserta program JP pada 2030 mencapai 50 persen dari penduduk bekerja.
Adapun untuk program jaminan kehilangan pekerjaan (JKP), tingkat kepesertaan aktif dan total peserta pada 2024 mencapai 29,5 persen dan 53,71 persen. Target peserta program JKP pada 2030 mencapai 85 persen dari penduduk bekerja.
Total pekerja yang menjadi peserta aktif jaminan sosial ketenagakerjaan saat ini baru mencapai sekitar 36 juta orang. Jumlah pekerja informal atau BPU yang sudah masuk cakupan jaminan sosial ketenagakerjaan sekarang sekitar 6,5 juta orang.
Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2023, total angkatan kerja mencapai 146,62 juta orang dan penduduk yang bekerja sebanyak 138,63 juta orang. Sebanyak 83,34 juta orang atau 60,12 persen di antara penduduk bekerja itu bekerja pada kegiatan informal.
National Project Officer for Social Protection International Labour Organization (ILO) Indonesia dan Timor Leste, Christianus Pandjaitan, saat dihubungi di Jakarta, Kamis (6/7/2023), mengatakan, sesuai Konvensi ILO 102, semua program jaminan sosial harus mempunyai cakupan minimal 50 persen dari total pekerja. Di beberapa negara lain, pemerintahnya telah menciptakan sistem yang membuat cakupan kepesertaan aktif meluas.
“Untuk JP (program pensiun), misalnya, sudah ada negara menerapkan sistem agar semua penduduk memperolehnya meski metode mengiur dibuat multi-layer,” ujar dia.
Dia berpendapat, apabila Indonesia menginginkan ada percepatan peningkatan cakupan kepesertaan aktif jaminan sosial ketenagakerjaan, maka perlu perubahan kebijakan terutama menyangkut kualifikasi. Sebagai contoh, program JP sejauh ini hanya wajib bagi perusahaan menengah dan besar. Contoh lain adalah program JKP yang mensyaratkan ada batas umur pekerja dan pekerja yang mengundurkan diri tidak bisa mengaksesnya.
Christianus juga mencontohkan realitas implementasi program JKK dan JKM. Banyak pekerja formal didaftarkan oleh perusahaan mengikuti kedua program ini, tetapi tidak semua perusahaan akhirnya mau rutin membayar iuran.
“Ditambah lagi isu portabilitas program. Di lapangan masih kerap terjadi seorang pekerja pindah perusahaan, tetapi perusahaan barunya tidak mau langsung meneruskan membayar iuran JP pekerja bersangkutan,” kata dia.
Menurut dia, kesadaran mengakses jaminan sosial juga masih tetap jadi isu. Sejumlah pekerja belum melihat pentingnya jaminan sosial. Sebagai gantinya, mereka cenderung mengandalkan keluarga untuk hari tua mereka.
Politik anggaran
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar berpendapat, upaya mendorong peningkatan kepesertaan jaminan sosial terjadi setiap tahun, yang diakselerasi melalui Inpres No 2/2021 tentang Optimalisasi Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dan Inpres No 1/2022 tentang Optimalisasi Jaminan Kesehatan Nasional. Namun, kementerian/lembaga dan pemerintah daerah yang diinstruksikan seperti kurang serius melaksanakannya sehingga kepesertaan tidak naik secara signifikan.
Selain itu, sesuai Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 5 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, dan Jaminan Hari Tua, pekerja mitra perusahaan platform digital harus ikut JKK dan JKM. Akan tetapi, belum semua pekerja kemitraan ini terdaftar. Pemerintah seharusnya serius mengawasi dan mendorong perusahaan platform digital berperan serta agar pekerja mitranya terdaftar jaminan sosial.
“Sejumlah pemerintah daerah telah mendaftarkan warga rentan miskin sebagai peserta jaminan sosial ketenagakerjaan. Kami harap semakin banyak pemerintah daerah terlibat. Mereka mesti punya politik anggaran yang serius,” kata Timboel.
Secara terpisah, Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Anggoro Eko Cahyo menyampaikan, pihaknya telah meluncurkan program sosialisasi masif dengan tema Kerja Keras Bebas Cemas untuk mendorong peningkatan kepesertaan pekerja informal, terutama di ekosistem desa. Menurut dia, ekosistem desa menyimpan potensi jutaan pekerja di sektor informal atau bukan penerima upah (BPU) yang mayoritas belum memahami pentingnya perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan.
BPJS Ketenagakerjaan memberikan beragam pilihan kanal pendaftaran dan pembayaran iuran yang mudah dijangkau oleh para pekerja di desa, antara lain melalui aplikasi Jamsostek Mobile (JMO), kantor cabang BPJS Ketenagakerjaan, Agen Perisai dan Perbankan, kantor Pos, dan Pegadaian.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kemenaker Indah Anggoro Putri, saat dikonfirmasi mengenai kehadiran Perpres No 36/2023, menyatakan, seluruh program di direktorat jenderal yang dia pimpin sudah disesuaikan dengan RPJMN, rencana strategis kementerian, dan Perpres No 36/2023.