Produksi Beras RI Diproyeksikan Turun 530.000 Ton Gara-gara El Nino
Kekeringan yang dipicu oleh fenomena El Nino dapat menekan produksi beras nasional. Antisipasi jangka pendek dan panjang perlu ditempuh guna memastikan ketersediaan stok pangan serta meningkatkan kemandirian pangan.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Akibat kekeringan yang dipicu oleh El Nino, produksi beras Indonesia sepanjang Januari-September 2023 diperkirakan 530.000 ton lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Guna mengatasi dampaknya, beras impor yang sudah masuk dapat diandalkan sembari memperkuat produksi dalam negeri.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, per Juli 2023, realisasi produksi beras Indonesia sepanjang Januari-Juni 2023 diperkirakan 18,4 juta ton. Sementara proyeksi produksi pada Juli-September 2023 berkisar 7,24 juta ton. Dengan demikian, produksi beras sepanjang Januari-September 2023 diproyeksikan 25,64 juta ton. Angka itu lebih rendah dibandingkan dengan produksi beras periode sama tahun lalu yang tercatat 26,17 juta ton.
Di sisi lain, konsumsi beras Indonesia meningkat. Sepanjang Januari-September 2023, angka proyeksi konsumsi beras nasional bisa mencapai 22,89 juta ton, sementara pada periode sama tahun lalu konsumsinya 22,62 juta ton.
Penurunan produksi itu berkaitan dengan fenomena iklim El Nino. Prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan, puncak El Nino diperkirakan terjadi pada Agustus-September 2023. El Nino yang mengakibatkan curah hujan rendah berpotensi menyebabkan kekeringan lahan pada tanaman pangan semusim yang membutuhkan air. Imbasnya, ada risiko gagal panen.
Guna menghadapi penurunan produksi beras tersebut, anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menilai, dalam jangka pendek, Indonesia perlu mengandalkan beras impor yang dikelola Perum Bulog. Namun, produksi dalam negeri tetap perlu diupayakan karena situasi pangan dunia tengah tertekan. ”Dalam kondisi ini, kemandirian pangan tetap perlu dijaga agar tidak terlalu bergantung pada situasi pangan di luar negeri,” katanya saat dihubungi, Rabu (2/8/2023).
Tekanan pada pasokan pangan dunia itu muncul lantaran India menghentikan ekspor beras jenis non-basmati serta keputusan Rusia tidak melanjutkan inisiatif biji-bijian Laut Hitam (Black Sea Grain Initiative). Kedua situasi itu menambah ”awan mendung” yang merundung pasokan pangan yang diperkirakan berkurang akibat El Nino.
Sementara itu, BPS mencatat, sepanjang Januari-Juni 2023, jumlah impor beras diperkirakan 1,067 juta ton. Mayoritas dari beras impor itu berasal dari Thailand dan Vietnam.
Agar produksi beras dalam negeri dapat meningkat di tengah El Nino, Yeka memaparkan, hasil pemetaan wilayah yang telah disusun pemerintah perlu ditindaklanjuti dengan memperkuat anggaran demi meningkatkan cadangan pangan pemerintah. Tindak lanjut itu bisa berupa penanaman dengan benih padi tahan kering atau padi gogo pada musim tanam terdekat. Langkah itu perlu dibarengi dengan jaminan ketersediaan benih, alat mesin pertanian, dan pupuk.
Dia juga menggarisbawahi, sumber pangan karbohidrat di Indonesia tidak hanya beras. Ada jagung, ubi jalar, ubi kayu, dan sagu. Pemerintah dapat menggencarkan diversifikasi pangan dan penanaman komoditas-komoditas tersebut dengan jaminan fasilitas yang sama.
Menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal, mengandalkan produksi dalam negeri di tengah tekanan pangan global berarti memberikan insentif kepada petani Tanah Air. Karena menghadapi ancaman kekeringan, bantuan pompa perlu diperkuat. Di sisi hilir, wilayah-wilayah yang daya produksinya dapat membuat masyarakat menjangkau bahan pangan sesuai dengan kebutuhan juga perlu dipetakan.
Sebelumnya, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menyatakan, perlu pemetaan wilayah berdasarkan ketahanan sumber daya air di tengah El Nino. Daerah yang berkategori hijau berarti sumber airnya lebih dari cukup. Daerah kuning berarti sumber air cukup serta membutuhkan intervensi berupa irigasi, mekanisasi, dan benih unggul. Kategori terendah adalah daerah merah. Selain itu, Kementerian Pertanian juga menetapkan enam provinsi sebagai penyangga utama pasokan pangan, yakni Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan Lampung.
Sementara itu, BMKG juga memperkirakan, pola curah hujan pada Oktober mendatang tergolong rendah di mayoritas wilayah Indonesia serta tanpa hari hujan di sejumlah wilayah. Oleh sebab itu, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini menilai, inflasi bahan pangan berpotensi terjadi hingga Oktober. Pada Juli 2023, inflasi kelompok pengeluaran bahan makanan, minuman, dan tembakau sebesar 0,22 persen secara bulanan dan 1,9 persen secara tahunan.