Kemendag Diduga Lakukan Lima Tindakan Malaadministrasi Izin Impor Bawang Putih
Ombudsman mendapat laporan tentang oknum yang dapat mempercepat penerbitan SPI bawang putih dengan biaya Rp 4.500-Rp 5.000 per kg. Ada juga perbedaan cukup tinggi antara harga bawang putih di ”post border” dan di pasar.
Oleh
HENDRIYO WIDI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ombudsman RI menemukan lima dugaan malaadministrasi di Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan. Ombudsman juga mengantongi kesaksian pelapor tentang oknum yang dapat mempercepat penerbitan persetujuan impor bawang putih dengan biaya Rp 4.500-Rp 5.000 per kilogram.
Hal itu mengemuka dalam konferensi pers Ombudsman RI tentang Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Malaadministrasi dalam Pelayanan Penerbitan Surat Persetujuan Impor (SPI) Bawang Putih di Kemendag yang digelar secara daring di Jakarta, Selasa (17/10/2023). Acara itu, antara lain, dihadiri Pelaksana Tugas Menteri Pertanian yang juga Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi dan Sekretaris Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Mardyana Listyowati.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, mengatakan, berdasarkan hasil pemeriksaan pada 6 September-3 Oktober 2023, Ombudsman menemukan lima dugaan malaadministrasi pelayanan penerbitan SPI yang dilakukan Direktur Jenderal (Dirjen) Perdagangan Luar Negeri Kemendag. Ombusdman membatasi terlapor hanya pada dirjen karena sudah ada pelimpahan wewenang dari Menteri Perdagangan ke dirjen.
Pertama, pengabaian kewajiban hukum dengan dasar tidak berjalannya prosedur penerbitan dan ketentuan fiktif positif lima hari kerja setelah permohonan SPI bawang putih dinyatakan lengkap sesuai persyaratan yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 25 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Permendag Nomor 20/2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
Hal itu berjanjut pada dugaan malaadministrasi kedua dan ketiga. Dugaan kedua adalah penundaan perbitan SPI semakin berlarut atau melebihi jangka waktu pelayanan lima hari kerja. Adapun dugaan ketiga adalah diskriminasi dalam penerbitan SPI bawang putih karena penerbitan tidak sesuai dengan urutan permohonan yang dinyatakan lengkap terlebih dahulu.
Ada diskriminasi dalam penerbitan SPI bawang putih karena penerbitan tidak sesuai dengan urutan permohonan yang dinyatakan lengkap terlebih dahulu.
Yeka menjelaskan, pelapor telah mengajukan permohonan SPI bawang putih sejak awal Februari 2023 secara otomatis melalui sistem Inatrade yang diteruskan ke sistem Indonesia National Single Window (INSW). Namun, hingga Ombudsman menyelesaikan pemeriksaan atas aduan importir tersebut yang diajukan pada 6 Juli 2023, Kemendag belum menerbitkan SPI itu.
Pelapor juga menunjukkan bukti SPI importir lain yang mengajukan permohonan penerbitan SPI bawang putih pada 13 Juli 2023. Kemendag telah menerbitkan SPI importir lain itu pada 27 Juli 2023.
Selain itu, lanjut Yeka, pada akun pelapor di Inatrade, permohonan izin impor itu masih berstatus ”penerimaan permohonan”. Padahal, permohonan itu sudah beberapa kali dikembalikan tanpa ada notifikasi di sistem.
”Hal itu mengindikasikan ada penundaan berlarut dan diskriminasi dalam penerbitan SPI bawang putih,” ujarnya.
Adapun dugaan keempat adalah Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag dianggap melampaui wewenang dalam hal tertahannya penerbitan SPI bawang putih. Ia sudah mendapatkan pelimpahan wewenang dari Menteri Perdagangan untuk menerbitkan SPI berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan juncto Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perdagangan juncto Permendag No 25/2022.
Namun, ia tidak segera menerbitkan permohonan SPI bawang putih pelapor dengan alasan masih menunggu persetujuan Menteri Perdagangan. Di sisi lain, justru muncul Peraturan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Nomor 31 Tahun 2023 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kebijakan dan Pengaturan Impor Bawang Putih.
Tindakan itu mengarah pada dugaan malaadministrasi berikutnya, yakni penyimpangan prosedur penerbitan SPI bawang putih, karena menambah tahapan atau prosedur penerbitan SPI bawang putih.
Aturan itu mengatur tentang proses penerbitan SPI bawang putih dapat dilaporkan terlebih dahulu kepada Menteri Perdagangan untuk mendapatkan pertimbangan lebih lanjut. Setelah mendapatkan persetujuan Menteri Perdagangan, SPI baru akan diterbitkan.
”Hal itu menyebabkan 106 permohonan SPI bawang putih yang telah diverifikasi dan dinyatakan lengkap per 15 September 2023 belum diterbitkan SPI-nya karena belum ada izin dari Menteri Perdagangan. Tindakan itu mengarah pada dugaan malaadministrasi berikutnya, yakni penyimpangan prosedur penerbitan SPI bawang putih, karena menambah tahapan atau prosedur penerbitan SPI bawang putih,” kata Yeka.
Selain itu, lanjut Yeka, dalam pemeriksaan aduan itu, Ombudsman mendapatkan kesaksian tentang oknum yang dapat mempercepat penerbitan SPI bawang putih dengan biaya Rp 4.500-Rp 5.000 per kg. Ada juga kejanggalan disparitas harga bawang putih antara di post border atau pelabuhan dan harga jual importir di pasaran. Harga bawang putih di pelabuhan Rp 18.000 per kg, sedangkan harga jual importir Rp 25.000 per kg.
”Terdapat kenaikan margin harga jual importir yang diduga diakibatkan biaya untuk membayar pungutan-pungutan tidak resmi kepada beberapa oknum,” katanya.
Terdapat kenaikan margin harga jual importir yang diduga diakibatkan biaya untuk membayar pungutan-pungutan tidak resmi kepada beberapa oknum.
Tindakan korektif
Ombudsman juga menyampaikan tindakan korektif kepada Kemendag dari hasil temuan itu. Pertama, penerbitan SPI bawang putih harus berdasarkan urutan pemohon yang dokumen permohonannya telah dinyatakan lengkap terlebih dahulu.
Kedua, mencabut Peraturan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag No 31/2023. Ketiga, menyusun dan menetapkan keputusan Menteri Perdagangan terkait penyelenggaraan sistem Inatrade guna memastikan prosedur impor bawang putih sesuai Pemerdang No 22/2022.
”Tindakan korektif tersebut harus dilaksanakan dalam tempo 30 hari kerja. Ombudsman juga akan menyerahkan laporan ini sepenuhnya kepada penegak hukum yang akan mendalami atau menyelidiki lebih lanjut temuan tersebut,” kata Yeka.
Menanggapi hal itu, Mardyana mengatakan akan melaporkan temuan Ombudsman tersebut kepada pimpinan. Kemendag juga akan mempelajari dan menindaklajut temuan Ombudsman tersebut.
Sementara itu, Arief Prasetyo Adi mengapresiasi temuan Ombudsman tersebut. Langkah itu justru akan semakin memperbaiki tata kelola impor bawang putih di Indonesia. Ia berharap Ombudsman menerapkan upaya serupa untuk komoditas impor pangan yang lain agar tata kelola impor komoditas pangan semakin adil dan transparan.
Kementan akan mempriortiaskan produksi bawang putih di dalam negeri dengan mengurangi jumlah bawang putih impor dari 1,1 juta ton tahun ini menjadi 650.000 ton tahun depan.
Hingga kini, Kementan telah menerbitkan 140 rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) bawang putih sebanyak 1,1 juta ton. Kementan juga melihat sudah mulai banyak importir bawang putih yang bersedia menanam bawang putih yang merupakan syarat penerbitan RIPH. Ada yang sudah melaksanakan tanam bawang putih sekali, bahkan hingga empat kali.
Menurut Arief, tahun depan, Kementan akan membuat sistem agar mereka yang telah mengantongi RIPH bisa dipantau masyarakat secara digital. Hal itu, antara lain, mencakup nama perusahaan, jumlah bawang putih yang akan diimpor, serta rencana dan realisasi tanam bawang putih.
Para importir yang mampu merealisasikan tanam lebih banyak akan mendapatkan izin impor bawang putih lebih banyak. ”Selain itu, Kementan akan memprioritaskan produksi bawang putih di dalam negeri dengan mengurangi jumlah bawang putih impor dari 1,1 juta ton tahun ini menjadi 650.000 ton tahun depan,” katanya.